ITS News

Sabtu, 28 September 2024
17 Maret 2007, 18:03

Tontowi Ismail, Raih Doktor Diusia 60 Tahun

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Pernyataan semangat ayah tiga putra dan satu cucu ini bukan keluar dari dirinya, tapi dosen pembimbing atau promotornya yang tidak lain adalah mantan mahasiswa dan koleganya di jurusan. ”Semangat Pak Ton begitu besar untuk menyelesaikan disertasi ini. Meski kami adalah kolega dan mantan mahasiswanya, beliau bisa menempatkan diri sebagai mahasiswa bimbingan kami, tanpa ada kesan canggung,” kata Prof Ir Renanto Handogo M.Sc, Ph.D yang berbicara mewakili promotor.

Karena itu, sambung Renanto, Tontowi pantas menyandang gelar doktor ini, dan berharap bisa terus mengembangkan ilmunya, baik melalui jurnal ilmiah dalam dan luar negeri mapun kegiatan-kegiatan seminar, serta pengajaran.

Bagaimana komentar Pejabat Sementara Rektor ITS? Tidak jauh berbeda. Prof Dr Ir Mohammad Nuh DEA menilai, kesungguhan untuk terus menerus belajar dan tidak mengenal usia telah dimiliki oleh Tontowi, karena itu ia berharap, apa yang telah diraihnya dapat memberikan kemanfaatan baik bagi pribadi, jurusan maupun ITS. ”Hari ini saya melihat kesungguhan dan semangat untuk terus belajar dari Pak Ton telah membuahkan hasil. Usia memang tidak harus menjadi penghalang untuk terus menambah pengetahuan,” kata Nuh.

Apa komentar master lulusan dari Colorado State University, Fort Collins, AS, tahun 1983 ini? “Memang dibutuhkan kemauan yang kuat untuk bisa menyelesaikan doktor diusia yang sudah tidak terbilang muda lagi. Soal menghadapi pembimbing yang mantan mahasiswa juga dibutuhkan kemauan kuat. Untungnya saya cukup banyak berpengalaman di industri, sehingga tidak ada penghalang untuk berhubungan sekali pun dengan mantan mahasiswa saya yang kemudian jadi promotor,” jelas pria kelahiran kelahiran Kudus, 26 Oktober 1947 ini.

Selain itu, katanya menjelaskan, iklim akademik di perguruan tinggi, khususnya di ITS, sangat mendukung terhadap jenjang seseorang yang berkait dengan kemampuan ilmu yang dimilikinya. “Sehingga saya pun tidak perlu sungkan untuk menghadapi mantan mahasiswa saya yang kemudian jadi pembimbing, karena memang pengatahuan dan akademiknya mewajibkan untuk membimbing saya,” jelasnya.

Itu juga, ungkap Tontowi menjelaskan, berlaku di kalangan industri, yang dalam hal-hal tertentu seseorang tidak dilihat dari senioritasnya, tapi lebih pada pengetahuan yang dimiliki. “Artinya, yang tua bisa belajar kepada yang muda jika memang pengetahuan dari yang tua terbatas. Itulah yang saya lakukan, dan pengalaman di beberapa industri telah menjiwai saya,” jelas Tontowi.

Dikatakan Tontowi, disertasinya berkait erat dengan keinginannya untuk memperhatikan bahan-bahan dasar yang dibutuhkan banyak industri kimia yang hingga kini masih tetap impor. ”Sesungguhnya apa yang saya kerjakan ini untuk menunjukkan bahwa kita mampu memproduksi bahan-bahan dasar untuk industri kimia, sehingga kebijakan untuk impor bahan baku, sudah seharusnya dikurangi,” terangnya.

Dikatakannya, dalam iklim persaingan global saat ini, hendaknya paradigma untuk terus-menerus melakukan impor bahan baku harus dikurangi, meski harga itu relatif murah. Kenapa? ”Awalnya murah, tapi setelah ada ketergantungan dan kita tidak bisa memenuhi kebutuhan itu, perlahan tapi pasti, harga itu akan merangkak naik. Kita dipermainkan dengan harga mereka. Paradigma inilah yang harus diubah,” kata Tontowi.

Karena itu, Tontowi menyarankan, meski apa yang dilakukannya dalam sintesa natrium sianat dari urea dan natrium karbonat dengan pelarut triklorobenze, amat berisiko, teknologinya tetap harus dikuasai dan dicoba untuk diproduksi, karena jika terus menerus kita ketakutan untuk mengolahnya, maka kita tidak akan mampu, dan harga bahan dasar itu akan terus mengalami kenaikan. ”Padahal banyak industri kimia kita membuthkannya. Inilah yang harus dipikirkan ke depannya,” pungkasnya. (Humas/jie)

Berita Terkait