ITS News

Jumat, 15 November 2024
19 April 2007, 09:04

Antara Budaya Kekerasan dan Loyalitas

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

STPDN yang berubah nama menjadi IPDN ternyata sama saja. Hanya sebatas dari nama Sekolah Tinggi yang diubah menjadi Institut. Ini karena bayang-bayang kekerasan di sana masih menjamur hingga sekarang. Ketika tahun 2003 kasus Wahyu Hidayat terkuak, publik pun bicara. Monitoring pun dijalankan. Namun, yang menjadi catatan, mengapa hingga sekarang kasus serupa dapat terulang hingga beberapa kali? Sepertinya kekerasan sudah membudidaya di sana.

Membaca dari pemerintahan saat ini, mungkin kita bisa mengangkat jempol. Ini karena sikap presiden yang langsung bertindak tegas merombak Institut yang melahirkan pejabat camat dan lurah tersebut. Mungkin, ketika dulu media sudah membukakan fakta (pada tahun 2003), tapi masih ada ’tangan-tangan’ yang melindungi kebobrokan sistem sekolah kedinasan itu.

Tak habis pikir, kekerasan fisik yang menimbulkan kematian berpuluh kali, terjadi di lembaga pendidikan, apalagi level sekolah kedinasan milik pemerintah yang mencetak ’pejabat’. Pertanyaannya, apakah memang masyarakat perlu pemimpin dan tokoh panutan yang lebih mengedepankan ketangguhan fisiknya seperti tentara, daripada kejeniusan otaknya? Sehingga mereka harus ’dikoyak’ dengan latihan tendangan bebas, atau sejenisnya?

Padahal, tentara seperti ABRI pun tidak ada perlakuan seperti yang diterapkan di IPDN. Mereka lebih kepada latihan fisik seperti lari, merayap, dan sejenisnya; bukan pengeroyokan. Artinya, yang dilakukan di IPDN bukan yang dinamakan ketahahan fisik tapi penyiksaan.

Dan seperti kebanyakan yang dipahami, kekerasan itu dilakukan senior kepada juniornya. Sehingga pada akhirnya sang junior tadi pun membalas hal serupa kepada angkatan dibawahnya. Balas dendam ini tak akan pernah berakhir. Jika, proses itu dihentikan, dari yang pernah mengalami dan belum terbalaskan, pasti tak akan merasa puas! Seperti yang dikatakan seorang teman ketika mengkader mahasiswa baru ITS, ”Lho kok enak, mereka juga harusnya merasakan juga!”.

Apalagi, loyalitas yang dianut praja, dosen, birokrat dan komponen yang ada di IPDN; dapat dikatakan kebablasan. Mengutip istilah yang diberikan Ketua tim investigasi untuk IPDN, Ryaas Rasyid, dimana di sana sudah diterapkan loyalitas buta. Hal ini karena mereka telah dicuci otaknya untuk berbohong (-ungkap Ryaas-). Nah, sekarang, apakah patut kekerasan atau tindakan yang salah diloyalitaskan??? Hingga mereka sepakat bungkam menutup kejahatan yang terjadi? Layakkah dipertahankan, Layakkah dilindungi, Layakkah dibela? Doktrin yang ditanamkan seperti apakah yang membuat mereka bersikeras mengungkap kebenaran hingga menutup nurani? Atau mungkin ada pengekangan atau intimidasi?

Mungkin, pendekatan agama yang harusnya mulai digalakkan secara intensif. Bisa jadi psikolog pun didatangkan, untuk meluruskan doktrin yang telah diterima. Sebab, harus ada upaya pemutusan mata rantai kekerasan ini. Juga tak lepas dari penghilangan rasa ’balas dendam’ yang telah menjamur. Apalagi terdengar kabar dari berbagai media bahwa di kampus tersebut juga marak perilaku seks bebas dan narkoba.

Penulis:
Thina Ardliana
Mahasiswa Mathematika angkatan 2003
Ketua Tim Media JMMI ITS
‘Barangsiapa yang melakukan kejahatan sebesar biji dzarah pun, akan diperhitungkan’
Photo: courtesy of Kompas

Berita Terkait