Pernah melihat acara televisi berjudul Bocah Petualang (Bolang)? Ya, acara ini memang disuguhkan salah satu televisi swasta. Tayangan berdurasi singkat sekitar 30 menit itu menceritakan petualangan anak-anak bermain di alam bebas. Melihat aksi Bolang; berenang, memancing ataupun memainkan permainan tradisional sambil tertawa ceria, sangat memikat. Termasuk saya, berani memberi rating tinggi, secara personal, dan menempatkannya sebagai acara wajib tonton kala santap siang. Dan itu tak lain karena, Bolang membawa virus mimpi. Mimpi akan petualangan.
Memasuki hutan, menyusuri sungai dan menombak ikan memang aktivitas yang ada diangan-angan kita, yang kebanyakan hidup didunia serba modern, sibuk dengan hirukpikuk kota metropolitan. Orang seperti kita mungkin harus puas hanya dengan Bolang yang masih mengumbar mimpi dan harapan akan petualangannya.
Ya, karena manusia semakin jauh dari peradaban serba natural. Kita memang dikepung dengan modernisasi. Namun dirasa akan semakin jauh dan jauh mewujudkan mimpi itu …..
Hingga kabar yang menyedihan, buyarkan semua mimpi, dicoreng muka bangsa Indonesia. Seperti yang dilansir Jawa Pos 4 Mei 2007 lalu, berita di halaman depan yang berjudul RI Masuk Rekor Dunia Negara Perusak Hutan. Berita yang disajikan lengkap dengan grafis bar chart tingkat kerusakan hutan ini membuat miris dengan posisi pertama barchart di pegang Indonesia yang dikenal dengan negri elok nan permai.
Data yang dilansir FAO, Global Forest Resources Assestment itu menunjukkan betapa parahnya hutan di Indonesia, dengan laju penggundulan hutan 1.8 juta hektar per tahun dan tingkat kehancuran hutan 2 persen per tahun. Mengerikan!
Rencana Guiness World Record memasukkan Indonesia sebagai negara tingkat kehancuran hutan tinggi berdasarkan data temuan yang dipublikasikan FAO memang menuai protes, terutama dari instansi terkait Republik kita. Departemen Luar Negeri, seperti yang dilansir Kompas 5 Mei 2007, mempertanyakan keabsahan data FAO.
Senada dengan Deplu, Departemen Kehutanan RI yang seakan tidak rela areal kerjanya disinggung, dengan mengatakan FAO tidak adil dalam penilaian dan semata-mata ingin menjelekkan Indonesia dimata Internasional. Luar biasa protes pemerintahan RI, sampai juru bicara Deplu RI, Kristiarto Legowo berani mengkritik balik negara maju yang lebih dulu memberangus hutan melalui gempita revolusi industri.
Luar biasa berani pemerintah kita mempertahankan aib yang memang nyata ada agar tidak banyak orang tahu. Meski entah penonton (rakyat) harus berpihak pendapat yang mana. Ya, semua terkait pertentangan kepentingan, pertentangan data perhitungan tabulasi yang kebanyakan penonton awam. Meskipun sudah cukup banyak organisasi bertema Lingkungan Hidup berkoar ”Save our Forest, Save your Life”, namun tetap saja banyak penonton awam.
Tinggalkan masa lalu
Modernisasi seakan lupa asal-usulnya, membabi-buta babad moyangnya (primitif). Semua yang harus cepat, hemat dan menguntungkan tak hiraukan jerit pohon yang ditebas demi perluasan pabrik, yang katanya juga untuk kesejahteraan, kurangi pengangguran. Cukup puas juga saya terbawa mimpi oleh novel berjudul Anak Semua Bangsa karya Pramoedya Ananta Toer, dimana menyebutkan keberadaan harimau kumbang berbulu mengkilat seperti baja, di daerah Tulangan Sidoarjo.
Sayang, macan kumbang itu tak akan pernah saya jumpai. Macan Jawa tinggal sejarah. Dikisahkan Toer, zaman itu galak-galaknya sistem tanam paksa. Tebu menjadi komoditi menjanjikan, pribumi pun ditindas. Sawah ladang disulap jadi perkebunan tebu, dengan sewa rendah. Begitu pula hutan-hutan di tanah Jawa tempat tinggal raja rimba, diberangus, demi manisnya gula.
Itulah kisah-kisah peninggalan kepulan mesin uap bertajuk revolusi industri. Ekspansi besar-besaran bangsa maju (yang sudah dapat mengarungi samudra) untuk mencari bahan baku industri jugalah yang mengantarkan negeri berjulukan Zamrud Khatulistiwa ini pada kepedihan zaman kolonial.
Trend baru berlomba-lomba menjadi penemu alat-alat modern untuk memudahkan pekerjaan, semakin mempercepat hilang ingatan manusia pada sahabat karibnya alam. Memang belum ada di zaman itu penelitian berbasis ramah lingkungan. Bahkan bisa dipastikan belum terpikir kesana. Semua yang mengeluarkan asap itu modern! Itu hebat!
Memang berani sikap pemerintahan RI mengkritik FAO berdasarkan data dan sejarah (revolusi industri). Tapi hal tersebut tidaklah pantas dan emosional. Bisa jadi hanya protes segelintir saja, karena merekalah yang punya data dan hapal betul akan sejarah. Lalu mana yang lain? Pro FAO kah, supaya RI bisa menjajal indahnya memegang rekor dunia?
Tinggalkan masa lalu, anggap sejarah. Maksudnya disini, jangan biarkan hutan menunggu kesakitan melihat tiap harinya, sementara sibuk bercuap pertahankan gengsi. Konsentrasi berusaha mencari penyembuhan dan pengobatan lebih baik daripada meratap keluh bukan. Kalaupun borok tak dapat sembuh total kembali sedia awal, kiranya sudah berhasil memperlambat infeksi ke organ yang lain. Kepunahan mungkin, kepunahan umat manusia jika terlambat.
Wujudkan mimpi
Menyelamatkan hutan Indonesia dari kehancuran memang bukanlah hal yang mudah. Hutan Indonesia yang jutaan hektar telah terlanjur di-cap internasional sebagai paru-paru dunia. Jika boleh berandai mengerikan, seperti menyelamatkan raksasa baik hati yang telah digerogoti penyakit kronis. Dokter dari spesies manusia tak tahu mulai dari mana menancapkan jarum suntiknya. Jarum pun tak mampu menembus kulit raksasa yang alot karena zaman.
Kata orang, semua berawal dari mimpi. Butuh manusia-manusia yang selalu rindu akan petualangan Bolang. Dibutuhkan gelombang generasi penyelamat! -sengaja tidak disebut generasi penerus. karena penulis khawatir justru meneruskan kerusakan yang ada-, ditengah maraknya ajakan gaya hidup konsumtif yang dipaparkan media dan minimnya ajakan penuh untuk sayangi lingkungan.
Selama ini sudah banyak sekali sekolah-sekolah dasar mengajarkan muridnya untuk menyayangi alam, dengan disertai kegiatan outbond menanam bibit pohon. Tapi nyatanya tak berhasil meresap, pelajaran menanam pohon seakan hanya diperuntukkan untuk bocah SD dan hobiis tanaman. Untuk saat seperti ini, sangat butuh aksi dari pemerintah, segenap lembaga terkait dan masyarakat menampilkan ajakan secara serentak menyelamatkan hutan ini.
Masih banyak orang awam akan bencana global yang lebih parah jika kerusakan terus berlanjut. Selama ini masyarakat hanya tahu hutan gundul mengakibatkan; longsor, banjir, dan kekeringan. Lalu apa pula global warming (Pemanasan Global)? Banyak yang tak tahu.
Penyebab gundulnya hutan di negeri ini ada tiga hal utama. Yakni illegal logging, legal loging dan kebakaran hutan. Kehancuran hutan yang tinggi ini juga memberikan dampak pada sumbangan emisi gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global. Pemanasan global adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan Bumi (disadur dari Wikipedia). Salah satu efek pemanasan global, kenaikan permukaan laut, yang berarti tenggelamnya daratan.
Memang tak cukup hanya ajakan. Semua dituntut pro aktif. Terlebih pemerintah harus sangat fight. Diharapkan pemerintah tidak hanya membuat peraturan dan keputusan terkait masalah ini. Pemerintah memang saat ini telah berkomitmen memberantas ilegal logging dan melakukan gerakan rehabilitasi hutan.
Tapi hal itu belum lah nyata terbukti berhasil, masih banyak kasus ilegal logging yang terjadi dan kerusakan hutan makin bertambah. Sangat perlu saat ini pemerintah bertindak tegas terhadap perusahaan industri kayu yang sudah tidak layak operasi. Tegas dalam hal ini menutup industri yang tidak layak. Telah diketahui, laju produksi alam untuk memenuhi kebutuhan industri kayu sangatlah lambat. Tak sebanding dengan laju produksi industri kayu menghasilkan produk, sehingga masih terjadilah penebangan liar.
Ijin penebangan hutan yang diberikan pemerintah kepada Industri juga perlu dikaji ulang. Tak perlu, saat krisis hutan seperti ini, pemerintah mengeluarkan ijin baru lagi. Pemberlakuan moratorium logging (jeda penebangan hutan) yang saat ini ramai digembar-gemborkan aktifis lingkungan hidup, pemerintah harus segera melakukannya.
Peran pemerintah dalam proyek kebangkitan hutan Indonesia ini, tentunya juga harus didukung semua individu. Jika perlu buat agenda nasional dimana dimulainya langkah baru dan serius atasi masalah ini. Bisa jadi pula hari itu menjadi hari kebangkitan hutan nasional yang akan dikenang sepanjang sejarah Indonesia.
Ya, kepada semua individu mari mulailah bermimpi, lalu bangkit tanam bibit. Bayangkan penerusmu kelak riang bergelayot ala Bolang memakan buah di pohon hasil bibit itu. Sekarang, selamat merintis sebagai individu generasi penyelamat!
Penulis:
Johan Asa Agusta
Jurnalis ITS Online
Mahasiswa Program Lintas Jalur Reguler Teknik Sipil ITS
johan_asa@ce.its.ac.id
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi