ITS News

Jumat, 15 November 2024
15 Juni 2007, 20:06

Wisanggeni

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kegelisahan bukan perkara yang dengan mudah mbrojol keluar. Kegelisahan sendiri hadir dari sebuah pemikiran yang panjang, dia hadir dari remah nurani yang mengkristal. Kegelisahan tidak hadir dari orang-orang yang memandang dunia dengan subyektif, tentu saja pandangan sempit yang sangat dipenuhi oleh kepentingan.

Menjadi orang yang gelisah juga tidak mudah, kadangkala seorang itu harus berdiri diatas dua kaki kepentingan yang sama sekali berbeda; idealisme sebagai perwujudan manusia seutuhnya, serta realitas sosial yang bisa jadi sudah tidak butuh lagi dengan apa yang dinamakan nurani.

Bagi saya pribadi, kegelisahan sendiri adalah sesuatu yang menggerakan. Perasaan gelisahlah yang mendorong Muhammad untuk menyeru kebenaran, Marx untuk menuliskan Das Kapital, Ahmadinejad untuk melawan Amerika, ribuan pemuda Cina yang berkumpul di Tiananmen –walau akhirnya terbunuh, serta warga Alastlogo dalam menghadapi bedil aparat. Tentu saja gelisah menjadi sangat nikmat bagi seorang yang mau berubah, dan tentu saja menyukai perubahan.

Dalam epos pewayangan sendiri muncul nama Wisanggeni, sosok pemuda ingusan yang dengan kebersahajaannya melawan titah para dewa. Bila dibayangkan pada kehidupan saat ini, sosok Wisanggeni adalah sosok pemuda dengan Levi’s belel dan sepatu Converse lusuh yang melawan –katakanlah- pimpinan korporat yang rapijali dalam balutan jas keluaran Versace di tubuhnya. Seno Gumira Ajidarma dalam novelnya, dengan apik menggambarkan bahwa Wisanggeni adalah sosok pemuda idealis yang tidak membutuhkan pembenaran dari orang lain, yang dia inginkan hanya pencarian kebenaran yang sesungguhnya, dengan caranya sendiri.

Bisa jadi Wisanggeni benar, baginya kebenaran bukan datang dari moncong bedil aparat, atau ratusan dokumen-dokumen palsu korporat, atau puluhan sheet data statistik akademisi, atau petuah seorang agamawan populer. Bisa jadi kebenaran adalah perut bolong warga Alastlogo, atau ratapan pengungsi Perum TAS Sidoarjo, atau warga miskin penghuni TPA Keputih. Yah, bukankah benar tidak selalu kuat. Tentu saja David tidak pernah seperkasa Goliath, tapi yakinlah satu hal; kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.

Malam itu tidak seperti biasanya, panas secangkir kopi tampak menguap lebih lambat, bincang singkat dengan Tomy –salah seorang mahasiswa ITS yang terkena sanksi skorsing— membuat suasana lebih hangat. Akhirnya saya beranikan diri untuk bertanya, ”Mas apa ndak takut ajukan PTUN ke ITS, lha wong kita ini juga bukan siapa-siapa kok!”, sembari tersenyum renyah Tomy berkata dengan singkat: ”Ndak dik, bagaimanapun juga kita akan terus melawan…”

Ayos Purwoaji
Mahasiswa Desain Produk ITS

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Wisanggeni