ITS News

Jumat, 15 November 2024
28 Juli 2007, 15:07

Anti-Tren

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Saat menyempatkan diri surfing dari satu blog ke blog yang lain beberapa waktu yang lalu, saya juga mendapati sebuah statemen menarik dari seorang pemilik blog yang mengatakan dalam sebuah postingannya bahwa ia adalah sosok pemuda yang anti-tren. Dia mendeskripsikannya pilihannya ini sebagai sebuah keinginan untuk bertolak dari tren yang digariskan oleh para korporat yang produk-produknya selalu menggiurkan untuk dikenakan. Baginya lebih baik menciptakan sebuah tren sendiri sebagai sebuah antidot dan cara melawan tren kapital yang cukup ampuh.

Pemikiran anti-tren ini nampaknya sejalan dengan pemikiran beberapa teman yang mengungkapkan kegelisahannya mengenai pola hidup remaja Indonesia saat ini. Sebagai penggemar gending dan langgam Jawa ia mengatakan bahwa hegemoni budaya barat saat ini sudah cukup meresahkan, apalagi saat produk budaya Barat itu diberi label modern, maka di sanalah jutaan anak muda negeri ini akan membebek.

***
Tren, pastinya ada karena sebuah kebutuhan. Tapi sesungguhnya para korporat sadar bahwa kebutuhan itu dapat diciptakan, komunikasi visual pun tercipta sebagai ujung tombak kapitalis untuk menciptakan rasa ’aku-harus-beli’ itu. Bagi Milan Kundera, inilah yang ia sebut dengan imagology, sebuah pencitraan; cantik itu mesti putih pucat, rambut yang bagus itu haruslah yang brunette, mata yang menggoda itu pastilah yang biru seperti londo. Anak negeri pun berlomba-lomba untuk mencitrakan dirinya sendiri, mengkopi, memperbanyak diri. Konstruksi akan konsep ayu pun berubah, kulit sawo matang, rambut digelung, dan mata coklat-hitam itu haramjadah. Beberapa orang menyebut gejala itu sebagai poskolonialisme, kondisi masyarakat yang mabuk berat karena nilai-nilai.

Ujung-ujungnya, kita lupa diri, lupa siapa kita sebenarnya. Citra diri pun menjadi kabur, bertumpuk antara realitas dan bayang-bayang. Meminjam istilah Ben Andersen, kita pun menjadi sebuah masyarakat yang terbayang (imagined communities). Kita hidup diantara awang-awang, memproyeksi diri kita dari satu brand ke brand yang lain. Tanpa sadar kita sudah menerima hegemoni budaya ini dengan separuh tak sadar. Akhirnya kita menjadi orang lain, linglung.

Ini semua menyangkut identitas diri kita sebagai sebuah bangsa, sebagai sebuah pewaris kebudayaan tinggi yang diciptakan oleh jenius lokal beberapa abad yang lalu. Pewaris peradaban tua yang penuh dengan kearifan dan nilai yang transenden, sebuah citra anggun yang tidak akan kita temui pada budaya pop yang ditawarkan oleh media mainstream. Bisa jadi, anak muda bangsa bangsa ini lebih familiar dengan logat british dari Arctic Monkey, dan pakaian readytowear dari Zara, dan tidak pernah tau kebesaran kisah langgam Jawa dan kekuatan Batik.

Jarang yang tahu kalau langgam Ketawang Puspawarna ciptaan Mangkunegara IV adalah lagu yang dipilih oleh NASA (Badan Antariksa Amerika Serikat) untuk dikirim ke angkasa luar, untuk memancing suara ke Planet Neptunus. Ketawang Puspawarna dinilai sebagai sebuah lagu dengan harmonisasi terbaik yang diciptakan manusia dan salah satu capaian tertinggi dalam sejarah musik manusia. Batik pun tidak kalah hebatnya, kain tulis lokal asli Jawa ini hampir diadopsi sebagai kain adati di seluruh dunia, tak terkecuali Malaysia, Thailand, India, sampai beberapa negara di Afrika. Bahkan batik pun telah dijadikan sebagai term internasional yang dapat ditemui di Oxford Dictionary dan dijadikan sebagai kain nasional Afrika Selatan, karena Nelson Mandela sangat bangga memakai batik buatan Indonesia.

Belum lagi mengenai kisah kain songket yang dicipta dengan kesungguhan atau bahkan kisah para pengrajin kain di NTT yang harus membuat satu lembar kain selama tiga tahun. Masih banyak lagi sebenarnya kisah di balik produk budaya Nusantara bernilai tinggi yang kita miliki. Itu pun jika generasi muda kita masih bernyawa.

***
Seandainya bukan kita sebagai generasi muda yang memulai untuk mempertahankan dan melestarikan budaya bangsa ini lalu siapa lagi? Mungkin kita bisa bergerak sedikit-demi sedikit. Mencoba untuk memahami budaya yang kita warisi. Kalau begitu; kenapa kita harus malu untuk mendengarkan musik tradisional? Mengapa kita harus malu jika memakai batik ke kampus? Mari kita mulai bersama-sama mencari identitas kita yang hilang.

Ayos Purwoaji
Mahasiswa Desain Produk Industri ITS

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Anti-Tren