ITS News

Sabtu, 28 September 2024
18 September 2007, 12:09

Mahasiswi ITS Berbagi Ide di Jerman

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Yang lebih membanggakan lagi, karena mahasiswi yang akrab disapa Una ini merupakan satu-satunya mahasiswa dari Indonesia yang bisa mengikuti kegiatan bergengsi tingkat internasional itu. Di ajang yang bertema Techniques and Technologies for Sustainability itu pun, hanya ada empat peserta yang berstatus mahasiswa. Yakni dari Indonesia, Ethiopia, dan dua orang dari Afghanistan.

Perhelatan kelima yang rutin digelar tiap tahun itu diikuti peserta dari 15 negara, masing-masing negara mengirimkan tiga orang peserta. Dari Indonesia, Una berangkat bersama Asnawi Manaf dan Imam Buchori yang keduanya merupakan dosen dari Universitas Diponegoro (Undip), Semarang.

Untuk bisa mengikuti kegiatan tersebut, semua peserta harus mengikuti proses seleksi jarak jauh terlebih dulu dari proposal yang diajukan sebelumnya. Tak terkecuali Una yang telah mengirimkan proposal sekitar dua bulan sebelumnya.

Gadis berjilbab kelahiran Aceh, 29 Maret 1988, pertama kali mengetahui kegiatan ini saat megikuti Kongres Ikatan Mahasiswa Perencanaan Indonesia (IMPI). Karena tertarik, Una pun langsung berpikir membuat proposal dengan menuangkan ide-ide yang selama ini ada di kepalanya.

Dalam proposalnya, sulung tiga bersaudara dari pasangan Anwar dan Ruaida ini mengangkat tema Learning from vernacular architecture in Indonesia. Dalam ajang yang dihelat di gedung European Academy Berlin tersebut, Una harus mempresentasikan proposalnya di hadapan seluruh peserta dari berbagai negara yang sebagian besar merupakan para pakar serta guru besar universitas-universitas ternama.

Una membahas tentang arsitektur tradisional Indonesia yang bisa tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di masyarakat tanpa adanya seorang arsitek tertentu. ”Jadi bisa dikatakan ini adalah arsitektur tanpa arsitek, melainkan arsitektur yang belajar dari alam yang ada,” tutur mahasiswi angkatan 2006 ini.

Menurut Una, arsitektur tradisional justru lebih bagus karena memberikan kekhasan tersendiri dan benar-benar dibangun dengan menyesuaikan kondisi alam yang ada. Sehingga benar-benar merupakan bangunan yang memberikan kenyamanan bagi penghuninya.

”Tidak seperti bangunan modern saat ini, kebanyakan tidak punya kekhasan dan kurang memperhatikan kondisi alam di sekitarnya. Semuanya terlihat hampir sama di manapun tempatnya, sehingga orang tidak lagi bisa membedakan di mana bangunan itu berada,” paparnya mengingatkan.

Karena itu, pada proposalnya Una mencoba menampilkan ide bangunan rumah modern yang masih memberikan ciri khas Indonesia dan sesuai dengan iklim maupun kondisi alam di Indonesia. Antara lain masih berbentuk rumah panggung (seperti kebanyakan rumah di luar Pulau Jawa untuk menghindari binatang buas dan air pasang, Red), beratap rumbia dan berdinding kayu agar tetap memberikan kesejukan bagi penghuninya. ”Semua bahan dan bentuk arsitektur tradisional biasanya memang memiliki maksud tertentu disesuaikan kondisi alam yang ada,” imbuhnya.

Ia berharap ke depan, idenya tersebut benar-benar bisa direalisasikan di seluruh masyarakat modern di Indonesia. Sehingga masyarakat Indonesia bisa tetap mempertahankan kekhasan arsitekturnya tanpa menghindari gaya modern yang berkembang.

Una pun mengaku sangat bersyukur bisa terpilih mengikuti ajang berskala dunia ini. Sebab selain bisa berbagi ide dengan dunia luar, gadis yang fasih berbahasa Inggris ini juga bisa menyerap sejumlah ilmu dari para pakar dari berbagai negara. ”Banyak sekali yang bisa saya pelajari dari pemikiran mereka, mulai dari dunia transportasi sampai bangunan dengan teknologi-teknologi mutakhirnya,” ucapnya tersenyum bangga. (humas/ftr)

Berita Terkait