ITS News

Jumat, 15 November 2024
01 Oktober 2007, 13:10

Fenomena Ramadhan, Sarana Intropeksi Diri

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Marhaban Yaa Ramadhan…..
Marhaban Yaa Ramadhan…..
Taqaballalahu minnaa wa minkum….
 
Ramadhan telah tiba. Beribu-ribu umat muslim di seluruh jagad raya ini berlomba-lomba melakukan amal kebajikan untuk memperoleh pahala. Di bulan penuh rahmat ini, segala amal kebajikan yang telah dilakukan dengan hati ikhlas akan dilipatgandakan pahalanya oleh Sang Khaliq. Satu bulan lamanya kita akan menahan diri untuk tidak makan, tidak minum dan tentunya mengendalikan hawa nafsu.

Fenomena-fenomena unik pun bermunculan, sebut saja mesjid dan langgar yang sesak dipenuhi jemaah untuk berbondong-bondong melakukan shalat tarawih. Padahal di hari-hari biasa mesjid dan langgar sepi hanya dipadati oleh satu atau dua shaf jamaah. Selain itu juga, gemuruh suara tadarusan terdengar bersahut-sahutan. Sayang, fenomena religi semacam ini selalu timbul tenggelam setiap tahunnya. Setelah Ramadhan, nuansa religi pun akan memudar secara perlahan terkikis oleh aktivitas dunia.

Fenomena yang tak kalah menariknya, stasiun, terminal dan pasar pun juga ramai  dikerumuni orang. Di pasar, orang-orang berbondong-bondong untuk membeli perlengkapan ibadah hingga membeli penganan untuk teman pendamping berbuka di waktu adzan maghrib berkumandang. Sedangkan stasiun dan terminal yang tak kalah ramainya, dikerumuni oleh para pemudik yang rela mengantri untuk membeli tiket pulang ke kampung halaman tercinta.

Ramadhan baru saja dimulai, akan tetapi tiket kereta api di salah satu stasiun Ibukota telah habis terjual hingga H-1 menjelang hari Raya. Dan tak salah, jika bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Karena di bulan ini tak hanya penjual tiket dan pedagang di pasar yang kecipratan rezeki, saudara-saudara kita yang tidak berkecukupan pun terkena imbasnya, karena mereka akan menerima haknya sebesar 2.5% dari saudara-saudara yang mampu. Mungkin tepatnya, pembagian zakat mal untuk kaum dhuafa yang lebih familiar di telinga kita.

Namun ada yang berbeda tahun ini, karena Ramadhan kali ini lagi-lagi Indonesia berduka. Sang Rabb –untuk yang kesekian kalinya— menguji bangsa ini. Masih segar dalam ingatan, dua hari sebelum Ramadhan menyapa kita Situbondo diguncang musibah. Gempa bumi yang berkekuatan 4.9 SR telah memporak-porandakan kota pesisir ini. Tidak cukup sampai di situ, hari pertama pelaksaan shalat tarawih, saudara-saudara kita di Bengkulu mengalami hal yang serupa yakni gempa bumi berskala besar juga meluluhlantahkan daratannya. Melihat hal ini, patut sekiranya jika kita semua untuk merenung dan intropeksi diri di bulan suci ini. Lagi-lagi Sang Rabb sedang menguji bangsa ini.

Tentu saja hal ini kembali kepada konsep diri mengenai kesalehan sosial kita. Apakah selama ini dimensi saleh yang kita bangun terus-menerus hanya untuk kepuasan diri semata? Ataukah kita sudah membangun kesalehan kita hingga tataran sosial? Tentu ini merupakan pertanyaan berat yang harus kita jawab. Jangan sampai Ramadhan kali ini berlalu begitu saja tanpa meninggalkan rekam-jejak sedikitpun dalam hati kita, sebagai manusia. Saya yakin, saat kita sudah mampu menyentuh esensi terpenting dalam diri manusia: hati, maka dalam pusaran quantum yang mempesona kita akan berevolusi ruhani menjadi manusia seutuhnya. 

Teringat dengan perkataan seseorang “orang yang kuat adalah orang yang lulus ujian”. Karena sejatinya, ujian yang terberat adalah menemukan diri kita sendiri, melengkapi puzzle ilahi untuk membentuk manusia fitri seutuhnya. Dan penting kiranya bagi kita semua untuk memanfaatkan nuansa Ramadhan ini, untuk mengintropeksi diri supaya menjadi pribadi yang dapat mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang tangguh dan madani. Wallahu a’lam bisshawab.

Siti Makkatur Rohmah
Penulis adalah mahasiswi Fisika ITS
 

Berita Terkait