Seperti halnya Myanmar yang saat ini sudah sangat merah. Tidak saja merah marun seperti warna jubah para biksu, tapi juga merah tua darah segar rakyat sipil yang yang tak berdosa. Myanmar sedang bergolak. Seakan bertransformasi kepada pendewasaan berbangsa menuju bentuk yang lebih baik.
Itu semua berawal dari junta militer yang menduduki Myanmar sejak empat puluh tahun yang lalu. Hasilnya, rakyat yang kelaparan dan demokrasi yang terabaikan. Gerakan moral force yang dilakukan para biksu merupakan jawaban atas sistem pemerintahan diktator yang ditawarkan para junta militer selama ini.
Hal ini serupa dengan yang dialami Marcos saat menghadapi people power rakyat Filipina, Soeharto dengan gejolak reformasi sembilandelapan, bahkan Louis XVI dengan pemberontakan Bastille-nya. Diktator, selalu berakhir dengan sumpahserapah dan gejolak amarah rakyatnya sendiri.
Tapi jangan salah, tidak setiap diktator berakhir mengenaskan karena jejak-rekam hidupnya yang buruk. Salah satu junta yang terbilang sukses adalah Mahatir Mohammad. Selama puluhan tahun masa pemerintahan dosanya jelas; pers Malaysia dibungkam, demokrasi lumpuh, dan pelenyapan lawan politik. Tapi siapa menyangkal bahwa hadirnya Mahatir juga membawa perubahan dan revolusi pembangunan yang luar biasa untuk Malaysia.
***
Secara subyektif, menurut hemat saya kehadiran junta justru harus dirayakan dengan suka cita. Karena adanya pemerintahan ala diktator justru akan menimbulkan pergerakan rakyat yang cukup besar. Hadirnya junta seharusnya dimaknai sebagai sebuah titik balik terpenting dalam roadmap perjuangan rakyat secara makro.
Barangkali ini adalah suatu hal yang sangat manusiawi. Secara naluriah manusia membutuhkan musuh agar tetap hidup. Sejak zaman purba pun saat berburu binatang besar, ritual perburuan selalu dilakukan secara kolektif. Itu berarti manusia akan memberlakukan visi yang sama saat tercipta sebuah musuh bersama (common enemy). Pada konteks kekinian, junta lah yang dianggap sebagai common enemy yang harus digulingkan, sehingga massa pun bergerak secara masif dan kolektif. Dalam gerakan dan barisan yang sama dan sejajar. Indah bukan?
***
Namun yang terpenting justru adalah sebuah pesan kecil dari Te Za, seorang biksu yang juga pelarian politik Myanmar, yang pernah mengatakan saat wawancara dengan salah satu media lokal. Te Za mengaku bisa memahami jika ribuan biksu Myanmar kini turun ke jalan memimpin demo bersama rakyat. Sebab, menjadi religius bukan berarti lepas dari kehidupan sehari-hari. ”Apa yang dirasakan rakyat haus dirasakan oleh biksu pula. Justru biksu yang tidak tanggap dengan lingkungan sekitar bukanlah biksu yang baik,” ungkap Te Za.
Ah, saya jadi teringat sajak yang cukup fenomenal dari seorang pejuang kata, Wiji Thukul;
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversi dan mengganggu keamanan
Maka hanya satu kata: lawan!
"Peringatan" 1987
Salam,
Aklam Panyun
Mahasiswa ITS
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi