ITS News

Jumat, 27 September 2024
01 November 2007, 22:11

Tiga Tokoh Berkumpul Dalam Sarasehan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Emha Ainun Nadjib yang akrab disapa Cak Nun mengungkapkan kondisi sebenarnya yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini secara gamblang. Dengan gaya bahasa yang ringan disertai dialek Jawa yang kental, Cak Nun berhasil membuat suasana sarasehan menjadi gayeng dan akrab.

Pria asli Jawa Timur ini memberi informasi tentang keadaan bangsa sekarang. Saat ini, menurutnya, aksi intelegen yang dikirim dan disebarkan negara adikuasa sudah semakin luas. "Dulu intelegen hanya mencari informasi melalui research dan mapping saja, tapi kini mereka menambah strategi lewat human penetration," ungkapnya.

Cak Nun mengatakan bangsa ini telah lama dijajah melalui kurikulum, media massa, dan buku. Bahkan ia khawatir pada tahun 2020 mendatang, Indonesia akan diprogram untuk terpecah belah melalui one good government yang dicanangkan negara adikuasa.

Padahal, menurut cak Nun, Indonesia seharusnya tidak bisa dikalahkan. "Dilihat dari sudut budaya, segi emosional atau apapun, tak ada yang kalahkan Indonesia, karena mayoritas kita adalah cumlaude dan juara," tukasnya.

Lalu, kata cak Nun, bila ditilik dari spiritualitas, masyarakat Indonesia juga tidak kalah dan termasuk ranking teratas. "Lha wong Gusti Allah bisa dijadikan satu dengan dukun. Korupsi juga bisa dijadikan satu dengan ibadah. Ini ajaran adaptif," guyon cak Nun disambut tawa peserta. Cak Nun menganggap orang Indonesia luar biasa. "Lha kita gerak aja bisa jadi tari, suara bisa jadi lagu dan diam bisa jadi puisi," komentar Cak Nun. Beberapa kalimat yang terlontar dari Suami Novia Kolopaking memancing keriuhan tawa dari peserta.

Sarasehan yang merupakan rangkaian kegiatan Dies Natalis ITS ke-47 ini mengambil tema bersama ITS menuju Indonesia Emas. Selain cak Nun, hadir pula Rektor ITS Prof Ir Priyo Suprobo MS PhD, Ary Ginanjar Agustian, serta Daniel M Rosyid MRina

Kontribusi maksimal
Dalam sarasehan ini, Rektor ITS, Prof Ir Priyo Suprobo MS PhD juga menyatakan keyakinannya bahwa ITS dapat memberikan konstribusi maksimal dalam menyongsong Indonesia Emas 2020 ini. Sebagai bukti, satu dekade lalu, jumlah lulusan sarjana di Indonesia hanya berkisar 15 ribu orang saja. Namun, sekarang jumlah itu sudah meningkat pesat menjadi sekitar 500 ribu sarjana pertahun. "ITS per tahun rata-rata berhasil mencetak 4000 sarjana, memang jumlahnya sedikit, tapi yakin dapat memberikan kontribusi," ujarnya.

ITS saat ini memantapkan diri sebagai Perguruan Tinggi yang mumpuni di tiga bidang, yaitu Energi, Permukiman, dan Kelautan. "Energi di wilayah Indonesia Timur itu memang sudah menjadi bagian kami,"lanjutnya. Sedangkan di bidang Permukiman, lanjutnya, ITS sudah dikenal sebagai pusat studi masalah perkampungan, bukan hanya mahasiswa dari Indonesia saja, tapi menjadi bahan rujukan mahasiswa asing.

Bagian yang ketiga adalah Teknik Kelautan. Probo mengungkapkan, Sarjana kelautan ITS memiliki masa tunggu pendek untuk mendapatkan pekerjaan. "Bahkan sampai minus karena belum lulus sudah dipesan," imbuhnya.

Lebih lanjut, kata Probo, demand kebutuhan kapal tanker di dunia saat ini juga semakin naik. Sementara, tidak ada satu galangan kapal di dunia yang masih mau menerima order kapal. "Kita satu-satunya yang punya pusat desain kapal nasional," lanjutnya. Dengan tiga andalan ilmunya ini, Probo yakin ITS dapat memberikan kontribusi maksimal untuk Indonesia 2020 nanti.

Sementara itu, Indonesia Emas di tahun 2020 dipandang berbeda oleh Ary Ginanjar Agustiar, pencipta ESQ 165 (Emotional Spiritual Question). Ary tetap menekankan pentingnya kajian spiritual di atas kajian inteletualitas. Menurutnya, selama ini faktor intelektual masih menjadi tujuan akhir. Padahal tanpa diimbangi faktor spiritual, kecerdasan intelektual ini akan menjadi barang yang tidak berguna. "Harusnya ahli dan mahasiswa di ITS ini sudah harus mulai berpikir, untuk apa ilmu yang dimiliki saat ini,"sambungnya.(th@/asa)

Berita Terkait