Sebuah cerita kuno yang tersohor mengisahkan tentang seseorang bernama Qorun. Awalnya Qorun ini adalah seseorang yang miskin papa. Tidak memiliki apa-apa. Tapi Tuhan menjaganya. Hingga pada suatu titik, tampaknya Qorun jenuh dengan kemiskinannya. Ia pun memohon kepada Nabi untuk melebarkan pintu langit agar rezeki dapat terjun bebas padanya. Nabi menolak, tampaknya Nabi diberikan kemampuan untuk memandang masa depan. Qorun yang sudah jenuh pun merengek, mengabaikan petanda yang diberikan Nabi. Akhirnya Nabi pun luluh, dibukakannya pintu langit untuk Qorun.
Tak perlu waktu lama bagi Qorun untuk menjadi orang paling kaya di jazirah. Langit memberikan apapun. Bahkan konon, kunci gudang hartanya hanya sanggup dipikul oleh kuda dan hanya bisa digotong oleh belasan orang. Saking banyaknya. Qorun pun lupa diri. Semakin banyak yang ia dapatkan di luar, semakin lupa ia menyelam ke kolam diri dan batinnya. Tuhan pun murka, ditenggelamkan pula harta sang saudagar. Semua nyungslep ke tanah, tak bersisa. Hingga kini harta-harta yang tak ternilai itu masih saja dicari orang, sebagai harta karun.
***
Setelah BHP, bisa saja ITS membangun prasarana dengan megahnya. Gedung rektorat akan dibuat dengan sangat megahnya, dengan pilar-pilar marmer dan lantai kualitas nomor wahid yang bisa bikin kecut hati. Tapi buat apa itu semua jika hanya membuat rektor semakin jauh dari mahasiswanya? Saking secure-nya mungkin nanti akses masuk ke rektorat harus melewati beberapa protokoler yang sama sekali tidak mudah. Setelah keplek tamu disematkan, mungkin para pengunjung dan mahasiswa harus melewati detektor logam dan pintu x-ray. Padahal hanya ingin mengajukan beasiswa.
Pun begitu dengan Medical Center. Bisa saja nanti ITS mengundang dokter-dokter ahli yang sekali suntiknya berharga jutaan. Alat-alat medis pun akan didatangkan dari negeri tirai bambu, yang paling mutakhir. Tapi untuk apa? seandainya para penduduk miskin dan mahasiswa sakit tidak dapat menikmati itu semua. Tetap saja mahasiswa penderita pusing akut hanya akan mengiranya penyakit biasa yang bisa hilang dengan Bodrex sekali telan yang dibeli di warung depan. Nanti juga sembuh sendiri.
Asrama mahasiswa pun tidak kalah, dibangun layaknya kondominium mentereng seperti yang ada di kawasan Sudirman Jakarta. Pelayanannya ala hotel, kamar mandi pun selalu resik dan tidak-bau-laut. Mungkin juga ada parkir bawah tanah untuk menampung semua mobil, karena hanya mahasiswa kaya yang bisa tinggal di asrama ITS nanti. Ngeri saya membayangkan itu semua.
Saya pasti akan merindukan kampus ITS yang bersahaja. Kampus ITS yang bisa digunakan anak kecil gembala untuk merumputkan kambing-kambingnya. Kampus yang biasa digunakan para penghobi menghabiskan waktu luangnya untuk mengail di rawa ITS samping rumah Rektor, walau becek tapi menyenangkan. Kampus yang punya kali untuk menjaring ikan, buat makan nanti malam. Kampus yang punya lahan luas dan bisa dikelola rakyat untuk nandur kangkung. Ya karena kampus ini milik bersama, karena kampus ini milik rakyat!
***
Identitas ITS yang selama ini dikenal adalah salah satu kampus teknologi terbaik yang dekat dengan rakyat, dan itu harus tetap dijaga jangan sampai hilang. Karena rakyat yang menguatkan, ilmu yang dihasilkan oleh teknokrat-teknokrat cemerlang ITS pun jangan sampai jauh dari rakyat. Untuk apa membangun menara gading di tengan masyarakat yang kelaparan? Untuk apa membangun mercusuar yang bersinar di tengah masyarakat yang buta huruf?
Bahkan ada keresahan dari seorang teman yang mengatakan jika nantinya yang dapat masuk ke ITS hanyalah orang-orang kaya saja. Eksklusif. Budaya kita pun menjadi jauh lebih apatis. Tak lagi kritis. Keresahannya itu mengingatkan saya pada adagium populer yang di-print diatas selembar kaos hitam; Orang Miskin Terakhir yang Kuliah di ITS!
Atau mungkin keresahan lain, dari person yang berbeda, mengenai tanggung jawab negara untuk mengalokasikan duapuluh persen anggarannya untuk pendidikan. BHP pun digunakan sebagai dalih untuk mengurangi subsidi. Lalu lari. Seperti dana BOS yang banyak hilang tak berbekas.
***
Saya pun terusik. Ingat dengan kata-kata penuh semangat yang (lagi-lagi) saya dapatkan dari kaos hitam yang banyak diperjual belikan;
Ilmu dan baktiku kuberikan
Adil dan makmur kuperjuangkan
Untukmu satu tanah airku
Untukmu satu keyakinanku
Menegakkan kebenaran, melawan ketidakadilan
Benar kata Umar Kayam, ternyata tidak mudah menjadi prasojo itu…
Wallahu a’lam bis shawab
Salam,
Ayos Purwoaji
Mahasiswa Despro ITS
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi