ITS News

Senin, 11 Agustus 2025
12 Desember 2007, 16:12

Otonomi PTN Model BHP atau BLU ?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Pentingnya Otonomi PTN
Pentingnya otonomi PT telah diintrodusir oleh Dirjen DIKTI, Prof. Satrio Sumantri.B, sejak tahun 2003 dalam konsep HELT. Otonomi tersebut harus dilandasi dengan tata kelola institusi yang berlandaskan prinsip–prinsip governance, seperti fairness, akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. Bila kedua landasan dasar tersebut telah mampu dicapai, maka diharapkan daya saing PT akan meningkat.

Munculnya konsep otonomi PTN ini banyak disikapi masyarakat dari sisi mahalnya biaya pendidikan tinggi yang akan ditanggung mereka. PTN yang dulunya menjadi idaman (termasuk bagi orang kaya) untuk kuliah murah dengan kualitas baik sekarang bisa jadi telah berubah. Perubahan tersebut diakibatkan adanya proporsi SPMB (masuk PTN dengan biaya murah) menjadi menurun dengan adanya program PMDK kemitraan dan mandiri (masuk PTN dengan biaya mahal). Sebagai contoh, ITB mempunyai rasio proporsi SPMB dengan PMDK sebesar 60%:40%. ITS proporsinya 46,61% untuk SPMB, dan sisanya untuk PMDK dengan proporsi PMDK mandiri dan kemitraannya sebesar 22,54%.

Adanya dua jalur penerimaan ini bagi PTN sebenarnya mempunyai dua tujuan utama. Pertama, untuk menutupi biaya pendidikan yang harus ditanggungnya. Sebagai contoh: biaya ideal untuk pendidikan tinggi teknik seperti ITS adalah sekitar 18 juta per mahasiswa per tahunnya (estimasi 2006), dari pendapatan hingga tahun ini hanya sekitar 11 juta per mahasiswa per tahun. Kedua, sebagai pemerataan kesempatan bagi masyarakat dalam berkontribusi pada pendidikan. Sebagai contoh, ternyata yang mahasiswa yang diterima pada SPMB PTN favorit 75 % berasal dari orang tua dengan penghasilan diatas menengah atas.

Selain masalah dana, sebenarnya hal yang paling penting dari semangat mengotonomkan PTN adalah masalah pengelolaan Intelectual Capital. Pengelolaan intelektual capital pada dosen dengan status PNS telah menjadi masalah yang sulit dipecahkan oleh pemerintah. Kita bisa amati bahwa banyak dosen yang telah disekolahkan ke Luar Negeri hingga Doktor ternyata banyak yang mroyek diluar, dan hanya memberikan kontribusi kepada lembaganya dalam bentuk persentase ”pinjam” bendera. Padahal biaya yang diserap untuk menjadikan Doktor di Luar Negeri adalah sekitar 3 (tiga) Milyar Rupiah. Oleh karena itu, mantan Mendiknas Nugroho Susanto pernah mengatakan ketika disambati civitas academika UI tentang hal tersebut dengan mengatakan : ” yah … yang penting mereka masih bekerja di Indonesia ”.

Dengan model otonomi, maka hal tersebut akan mampu memaksa institusi untuk secara ”sistemik” dalam mengatur sumber dayanya, khususnya modal inelektualnya sebagai sumber daya saing bangsa. Mengapa demikian? Kita melihat bahwa draft RUU BHP pada Akhir Agustus 2007 (Pasal 23 ayat 4) yang menunjukkan bahwa kontribusi pemerintah sebesar 60%, dana SPP yang boleh dipungut sebesar 20%, dan sisanya 20% diusahakan oleh institusi itu sendiri. Penetapan bahwa 20% anggaran institusi ini yang harus diusahakan sendiri akan berimplikasi pada 2 (dua) hal. Pertama, PTN akan berusaha melakukan efisiensi biaya yang diluar model PHK maupun peningkatan uilisasi assetnya. Kedua, PTN akan mengatur intelektual capitalnya agar mampu menghasilkan revenue yang lebih signifikan. Dengan demikian, maka PTN akan ”dipaksa” mengintensifkan UUB (Unit–Unit Bisnis) dengan basis modal intelektualnya dengan PTN sebagai perusahaan holdingnya. Model ”pinjam” bendera tadi tentunya dengan sendirinya akan berubah menjadi model ”sharing” bendera. Pengalaman ITB sebagai PT BHMN menunjukkan bahwa dengan aturan yang ”sistemik” tapi transparan, maka ”perusahaan di dalam perusahaan” yang berbasis model intelektual di ITB telah mampu direduksi dan bertransformasi menjadi UUB dengan model sharing modal antara para dosen dengan ITB.

Model otonomi PTN ini juga bertujuan untuk mentrasformasikan PTN agar naik kelas dari ”teaching university” menjadi ”research university”. Research university dari sisi komposisi mahasiswa mensyaratkan jumlah mahasiswa Pascasarjana (S2 + S3) harus mencapai 70% dengan kualifikasi output – output riset yang sesuai dengan kriteria World Class University. Dengan demikian, maka model otonomi PTN secara sistemik akan mampu mengefisiensikan ”pola pikir” PTN tentang mana seharusnya core bisnis yang akan dipilihnya. Misalnya, PTN akan memilih untuk menjadikan program–program S1, S2, dan S3 sebagai fokus kegiatan utamanya. Sedangkan program–program diluar 3 (tiga) strata tersebut , misalnya D1, D3, Poltek, akan ”dipisahkan” secara administratif sebagai perusahaan UUB yang dimiliki PTN.

Permasalahan Antara Model BHP versus BLU
Pemisahan secara adminstratif inilah yang akan menjadi ”kendala” bagi status dosen dan karyawan dalam hal pemilihan model badan hukum, apakah yang dipilih BHP atau BLU. BHP adalah model yang cenderung dipilih oleh DIKTI dibawah komando ”mantan” Dirjen DIKTI Satrio Sumantri.B, sedangkan BLU adalah model otonomi yang disarankan DEPKEU karena sesuai dengan UU keuangan negara.

Model BHP secara badan  hukum akan membuat para PNS, baik dosen maupun mahasiswa, menjadi pegawai PTN bersangkutan. Model perubahan status kepegawaian ini dimasa mendatang akan berimplikasi luas dalam hal apabila pencapaian kinerja khususnya keuangan tidak tercapai.

Sedangkan model BLU lebih membuat ”nyaman” karena status PNS mereka tetap, dengan tambahan pendapatan yang bisa disesuaikan pencapaian kinerja. Rektor UNDIP sebagai penganut aliran BLU mengatakan bahwa model ini dipilih UNDIP karena bagi banyak orang menjadi PNS itu kebanggaan, meskipun gajinya tidak banyak.

Adapun dari sisi tarif, maka model BLU akan membuat nyaman masyarakat karena tarif SPP mahasiswa akan ditentukan batas atasnya oleh pemerintah. Dengan cara demikian, maka BLU sepertinya sekarang ini menjadi benteng terakhir bagi PTN agar mampu menjadi benteng terakhir bagi mahasiswa kurang mampu tapi pandai untuk menikmati pendidikan tinggi. Sebagai contoh, persentase mengakomodasi mahasiswa melalui SPMB sebanyak 60% sebagaimana yang dilakukan ITB ternyata berimplikasi pada sangat tingginya SPP ”PMDK kelas bisnis”.
 
Penutup
Bila kita menengok pengalaman negara maju yang menjadi negara tetangga, yaitu Singapura, maka pencapaian menuju research university adalah merupakan jembatan penting ke arah enterpreneur university, yaitu universitas yang mampu ”menjual” hasil risetnya untuk diaplikasikan industri dalam menghasilkan ekonomi berbasis pengetahuan (KBE).

Dengan demikian, maka model apapun yang dipilih (apakah itu BHP rasa BLU, atau BHP/BLU murni),maka semangat otonomi ini harus mampu digunakan sebagai sarana penataan dan peningkatkan peran modal intelektual untuk meningkatkan peran PTN dalam pencapaian daya saing bangsa, khususnya dalam kontribusinya pada sebagian parameter HDI (Human Devepment Index) dan GCI (Global Competitiveness Index) pada sub index Efficiency Enhancers yang salah satu faktornya mengukur kualitas pendidikan tinggi suatu negara.

Ir Arman Hakim Nasution MEng
Dosen Teknik Industri dan MMT di ITS
Counterpart Pengembangan Teknopeneurship DIKTI

Berita Terkait