ITS News

Selasa, 03 September 2024
31 Januari 2008, 08:01

Hidup Berdampingan dengan Risiko

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Masing-masing di bumi ini mempunyai manfaat terhadap satu dengan lainnya untuk menjaga keseimbangan bumi-atmosfer bahkan mungkin juga untuk menjaga keseimbangan alam. Apa manfaat gempa, tsunami, gunung meletus, longsor dan lain sebagainya terhadap alam, suatu penelitian yang menarik untuk diungkap dengan seksama.

Untuk apa Allah SWT menciptakan peristiwa yang membawa bencana tersebut? Apakah Allah sudah tidak suka dengan makhluk ciptaanya sehingga harus dimusnahkan? Apakah untuk menunjukkan kekuasaan Allah? Apakah hanya untuk menakuti-nakuti manusia? Apakah untuk menghukum umat manusia? Apakah untuk memperingatkan manusia? Atau apakah ini merupakan ayat Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia?. Manusia diciptakan dan didatangkan di muka bumi untuk membaca, melihat, mengamati, mengukur, meneliti dan memahami perilaku semua peristiwa alam tersebut. Artinya manusia diwajibkan untuk mempelajari petunjuk Allah agar bisa menyimpulkan dan diharapkan bisa melakukan tindakan yang arif dalam menyikapi peristiwa alam tersebut.

Sebuah kenyataan yang harus diingat dan harus diterima oleh seluruh rakyat Indonesia bahwa secara geologis dan klimatologis Indonesia banyak kejadian alam seperti tersebut diatas dan kejadian itu sudah berlangsung jutaan tahun yang lalu sebelum manusia ada. Sebagian wilayah Indonesia rawan gempa, sebagian besar wilayah pantainya rawan tsunami, rawan gunung meletus, rawan longsor, rawan banjir, rawan angin puyuh, rawan penyakit dan lain sebagainya Peristiwa itu terus berlangsung dan terus berulang dengan periode tertentu. Ada yang berperiode tahunan, puluhan tahun, bahkan ada yang ratusan tahun. Manusia diciptakan dan secara almiah membutuhkan papan, sandang dan pangan serta bereproduksi. Pertumbuhan penduduk meningkat tajam sehingga kebutuhan papan, sandang dan pangan semakin meningkat pula. Seiring pertumbuhan penduduk terjadi peningkatan kemampuan akal manusia sehingga kebutuhan menjadi meningkat berlipat-lipat.

Kebutuhan papan yang semakin luas sehingga merambah mendekati di kawasan yang rawan kejadian alam tersebut, atau tidak mengetahui (karena tidak diberitahu) atau karena terpaksa menempati atau karena memang nekat siap menanggung rsiko. Karena sudah bersentuhan dengan manusia dan aktivitasnya maka peristiwa alam tersebut berubah menjadi bencana. Sebuah contoh yang jelas adalah banyaknya permukiman di kawasan pegunungan (rawan longsor), kawasan gunung api, kawasan pantai, dataran banjir, dan tempat lainnya. Kemajuan teknologi mengurangi risiko mulai diterapkan dengan kondisi terburuk periode tertentu saja, pada kenyataannya peristiwa alam yang dating lebih besar dari yang direncanakan sehingga kehancuran dan karena waktu ternyata rekayasa teknologi mulai tidak berfungsi dengan baik sehingga bencana menjadi tambah besar dengan kerusakan yang luas, seperti yang saat terjadi badai Katrina di Florida Amerika Serikat atau saat terjadi banjir di Jawa Timur.

Ada suatu contoh yang menarik tentang kebutuhan papan karena ada perbedaan yang sangat menyolok antara masyarakat pantai di pantai barat Aceh dengan masyarakat di Pualau Simelue (pulau terletak di sebelah barat Aceh). Saat tsunami 26 Desember 2004 menerjang Aceh, ratusan ribu korban jiwa melayang di Aceh akan tetapi di P Simelue tidak ada sama sekali. Ternyata masyarakat Pulau Simelue telah belajar dari kejadian gempa dan tsunami yang terjadi pada beberapa puluh tahun yang lalu (th 1900) dan mengembangkan sistem peringatan dini dengan teriakan semong yang berarti air laut surut dan segera lari meninggalkan pantai secepatnya menuju kebukit. Istilah ini selalu disosialisasikan dengan cara menjadi dongeng legenda oleh tokoh masyarakat setempat sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya dihati setiap penduduk P Simelue.

Kalau kita melihat keadaan banyaknya peritiwa alam di Indonesia yang telah menelan banyak korban jiwa, kerusakan dan kerugian ekonomi yang sangat besar selama 5 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum kita tidak pernah belajar dan mempelajari serta memahami kejadian tersebut, kita lebih banyak menghindar dan atau menganggap peristiwa itu sebagai musibah dan atau azab dari Allah Yang Maha Kuasa yang harus kita terima apa adanya. Sebagai contoh bukti kalau kita hanya menghindari saja antara lain (1) terpendamnya Candi Sari dan candi-candi lainnya akibat letusan G Merapi Jawa Tengah, (2) hancurnya kerajaan Doho Kediri akibat letusan G Kelud, (3) hancurnya kerajaan Majapahit di Trowulan karena kebanjiran K Brantas, dan lain sebagaianya. Semuanya hanya menghindar dan eksodus keluar menjauh dari peristiwa tersebut tanpa upaya antisipasi menghadapi. Dengan kata lain kita kurang dalam melakukan penelitian untuk menghadapi dan berupaya untuk mengurangi risiko yang akan terjadi.

Beberapa ahli sudah mengungkapkan bahwa Indonesia rawan peritiwa alam tersebut diatas akan tetapi sikap pemerintah dan masyarakat tidak melakukan sesuatu antisipasi untuk mengenal, mewaspadai dan menyiapkan segala kemungkinan kejadian tersebut. Salah satu contohnya selama ini kurikulum kita atau leluhur kita belum pernah mengajari menghadapi gempa, tsunami dan peritiwa lainnya. Sehingga saat Indonesia didera gempa, tsunami, longsor, banjir, angina puting beliung, penyakit dll banyak korban dan penanganannya amburadul.

Ada suatu contoh bagus yang bisa kita teladani yaitu upaya yang dilakuakan bangsa Jepang dan beberapa negara lainnya. Apa yang dilakukan bangsa jepang jelas telah teruji hasilnya dari berbagai bencana yang telah menimpa negara ini, misalnya peristiwa gempa tahun 2007 dengan skala 6,9 korban meninggal hanya 1, jumlah yang luka-luka dan rumah rusak hanya beberapa saja. Bandingkan dengan gempa Yogya jawa tengah dengan skala 5,9 korban meninggal lebih dari 6000 orang, luka-luka ribuan orang dan rumah rusak lebih dari 300 ribu rumah. Jepang sudah melakukan banyak penelitian tentang bencana baik sebelum, saat maupun sesudah terjadi sehingga bisa mengurangi risiko sekecil mungkin, diantaranya dibuat berbagai alat peringatan dini dan mewajibkan rakyat Jepang belajar mengenal, memahami dan mengetahui tata cara menghadapi bencana. Jepang memasukkan bencana dalam kurikulum sehingga rakyatnya sudah sadar sejak belajar di taman kanak-kanak. Sebuah ungkapan dari Salvano Briceño Director, UN/ISDR Secretariat yang perlu disimak "Children will be one day the mayors, the architects and the decision makers of the world of tomorrow. If we teach them what they can do from the early age they will build a safer world.".

Sebuah literatur kuno yang sangat dipercayai kebenarannya oleh umat Islam menyebutkan bahwa “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (Al Qur’an, Surat Ali Imron, 190-191). Seandainya kita umat manusia, khususnya umat Islam membaca, melihat, mengamati, mengukur, meneliti, dan mencatat setiap aktivitas atau perubahan peritiwa alam siang malam sejak dulu maka kita bisa memahami dan bisa menciptakan kearifan yang akan melindungi umat Islam dari bencana.

Kalau kita melihat peta-peta bencana yang dibuat oleh PU, BMG, ESDM, LAPAN, dan departemen lainnya maka kita akan disuguhi informasi banyak bencana di Indonesia yang harus kita sadari, kita antisipasi, dan kita hadapi. Bencana yang melanda Indonesia sudah menghilangan nyawa ratusan ribu orang dan ratusan ribu rumah dan sembilan puluh persen umat Islam, harusnya bisa dijadikan suatu pelajaran berharga agar kita bisa lebih antisipatif sehingga korban bisa dikurangi. Saatnya membiasakan diri hidup berdampingan dengan risiko.

Oleh Ir. Amien Widodo M.Si
(amien@ce.its.ac.id)

Berita Terkait