Namun saya terkejut, ketika membaca halaman depan Kompas tanggal 11 Maret 2008 yang membahas tentang pemisahan diri PTN-PTN dari panitia pusat SPMB. Disana tertulis nama Universitas Teknologi Sepuluh Nopember sebagai salah satu yang pendukung konsep itu. Padahal pada kolom tersebut, tertulis nama tempat sumber berita di Surabaya. Ironisnya berita itu sebenarnya mengacu pada pertemuan rektor dan pembantu rektor se-Indonesia yang diadakan di ITS (9/3).
“Kok, bisa salah sih?†Hati ini menggerutu, Kompas yang beroplah pada kisaran 1 juta eksemplar melakukan kesalahan fatal dan harus bertanggung jawab pada para pembacanya. Padahal Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia pasal 3 diantaranya menyebutkan bahwa Wartawan Indonesia tidak menyiarkan berita, tulisan dan gambar yang menyesatkan (tidak sesuai fakta).
UU Pers no. 40 tahun 1999 pasal 1 menyebutkan kewajiban koreksi atau ralat apabila ada data atau pemberitaan yang tidak benar. Seharusnya kalau mereka sadar (atau paling tidak, ITS menyadarkan), hal itu menjadi tekanan batin bagi insan pers itu sendiri. Silahkan tanyakan pada redaksi ITS Online, berbagai macam komentar masuk ke meja redaksi kalau mereka salah tulis berita.
Internationally Recognized?
Jadi teringat, ketika saya menyaksikan Prof Ir Arif Djunaidy MSc PhD menjelaskan Renstra ITS 2008-2011 didepan lima guru besar dari Badan Akreditasi Nasional (BAN-PT). Ia menyebutkan road map ITS yaitu menjadikan ITS internationally recognized. “Wah keren banget yah!†ucapku bangga.
Ternyata paradigma saya berubah seketika, jangankan Internasional, kenyataanya ITS belum nationally recognized. Saya ambil contoh, ketika saya pulang kampung ke daerah asal dan bertemu dengan teman lama. Ia dengan bangga memberitahu saya, kalau timnya ikut lomba KRI/KRCI 2007 di ITS. “Seru banget, tapi sayang, juaranya tetep dimonopoli Institut Teknologi Surabaya!,â€ujarnya tanpa rasa bersalah. “Gubrak!, sebenarnya kamu ikut lomba nggak sih!,†tegasku. “Pasti nggak perhatiin tulisan kepanjangan ITS yang segede gajah di deket Bundaran ITS,†lanjutku.
Rasa kaget semakin bertambah, situs United Nation in Indonesia dalam organiations profile name tertulis Institut Teknologi Surabaya (ITS). Lalu Ketika ITS bekerjasama dengan TNI dalam program pengadaan alutsista atau ketika ahli-ahli dari ITS bekerja keras memecahkan masalah Lapindo atau ketika Pak Nuh jadi menteri. Banyak media yang salah sebut kepanjangan ITS (bahkan di situs www.dephan.go.id, yang notabene situs pemerintah) .
Parahnya lagi, ada sebuah buku hasil musyawarah nasional suatu organisasi kemahasiswaan yang menyebutkan kepanjangan ITS yaitu Institut Teknologi Sebelas Maret. “Waduh, sejak kapan ITS merger dengan UNS Solo,†gumamku. “Kenapa nggak sekalian Sebelas Januari aja biar hymne ITS ganti lagunya GIGI†celotehku.
Ada anekdot yang menarik, konon kalau lulusan ITS mau melamar kerja, mereka punya aturan sendiri dalam menuliskan asal universitas (aturan terbalik).
Contoh kasus pada form lamaran pekerjaan:
Asal Universitas : Institut Teknologi Bandung (ITB)
Tapi kalau lulusan ITS menulis
Asal Universitas : ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember)
Serupa tapi tak sama, yang pertama berarti menyimpulkan dan yang kedua berarti menjelaskan (biar nggak salah). Memang bayang-bayang saudara tua kita masih mengakar di masyarakat. Banyak perusahaan menganggap ITS sebagai non-reputable university. “Oh, ternyata ITS itu swasta ya?†kata seorang HRD pada saat mewawancarai lulusan ITS.
Saran untuk ITS
Kepada seluruh civitas akademika ITS, dengan sabar dan aktif meluruskan pemahaman yang salah tentang kepanjangan ITS. Terutama jajaran rektorat, dekanat dan jurusan yang sering mengadakan kerjasama dengan institusi pemerintahan atau swasta untuk tidak segan-segan menegur instansi yang salah kaprah tentang ITS. Bahkan kalau ITS bisa tegas, ITS bisa putuskan hubungan kerja sama dengan mereka.
Khusus untuk Humas ITS untuk secara aktif mengonfirmasi pihak (terutama media yang punya pengaruh besar pada pemahaman masyarakat luas) apabila salah sebut kepanjangan ITS. Lalu promosi tentang hasil karya ITS yang bisa menaikkan citra ITS di kancah nasional agar diberitakan meluas.
Kenapa nama begitu penting? Terkadang sebagian dosen pun meminta gelarnya ditulis lengkap walaupun hanya beberapa huruf. Jadi, ITS harus bangga dengan nama yang disandangnya. Agar semangat para pendiri ITS, seperti dr Angka, untuk membangun ITS sebagai produsen insinyur yang berjiwa pahlawan dapat terwujud.
Sepuluh Nopember sudah menjadi identitas kebanggaan masyarakat Surabaya. Tapi kenapa menyebutkan kepanjangan ITS saja masih salah. Kenapa tidak UGM, padahal semua tahu, Gajah Mada kan berdomisili di Mojokerto. Jogja masih lebih dekat ke bendungan Gajah Mungkur dibanding Mojokerto. UNDIP, semua tahu, Pangeran Diponegoro orang Jogjakarta, Semarang masih lebih dekat ke Demak, dengan rajanya Dipati Unus. Hal ini membuktikan ITS memang belum dikenal masyarakat umum. Hal ini juga yang mungkin mempengaruhi webometric menempatkan ITS di peringkat 2981 World’s Top University versi Januari 2008 (dibawah UK Petra).
Dikutip dari berbagai sumber:
Lucky Ardiantika Sutanto’s blog, www.siawhietji.wordpress.com
Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi