ITS News

Sabtu, 28 Desember 2024
25 Maret 2008, 11:03

Indonesia, Agraris atau Bahari?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sekali lagi! Mungkin semua itu karena akhir-akhir ini saya cukup dekat dengan FTK. Seandainya saya sering berada di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, bisa jadi saya mengopinikan bahwa robotika akan menjadi primadona Indonesia.

Namun terlepas dari semua itu, sepintas memang ada yang patut kita renungkan dari kelautan kita, Laut Indonesia. Sekitar dua dari tiga luas Indonesia adalah perairan. Berada pada iklim tropis, pertemuan dua lempeng besar, dan pergerakan arus laut yang melewati Indonesia, menjadi tidak ada keraguan bahwa berjuta potensi terdapat di dalamnya.

Ironisnya, hanya mereka yang kesehariannya bergelut dengan kelautan saja yang memahami kondisi di atas. Awam hanya pernah mendengar banyak kapal tenggelam atau ikan yang dicuri nelayan asing. Indonesia memiliki laut yang luas. Kebanyakan orang hanya mengetahui sebatas kalimat tersebut. Di lain sisi, laut pun belum mampu memberi sumbangsih yang cukup berarti bagi persoalan bangsa ini

Jika boleh mengintip ke belakang dengan bijak, tentunya kita tidak lupa dengan kalimat yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara agraris. Sedari duduk di bangku sekolah dasar pun, saya sudah diberitakan tentang Indonesia yang Agraris. Mengapa disebut demikian, saya pikir banyak alasannya. Mayoritas penduduk Indonesia adalah petani. Sebagian besar tata guna lahan pun dijadikan untuk pertanian atau perkebunan. Hebatnya lagi, swasembada beras pun pernah dicapai bangsa ini.

Benarkah demikian? Ternyata dibalik itu terdapat kenyataan yang cukup menyakitkan. Program revolusi hijau yang digalakkan pemerintah kala itu mengabaikan ketimpangan kepemilikan dan penguasaan lahan pertanian. Banyak kebijakan pemerintah yang tidak pro pada sektor pertanian, salah satunya dengan mengkonversi lahan pertanian menjadi daerah industri, real estate, pembangunan DAM, serta sektor non pertanian lainnya.

Sementara saat ini, pemerintah belum memilki agenda jelas dalam meluruskan ketimpangan tersebut. Alih-alih yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia tidak lagi mampu berswasembada beras, petani pun merana karena pemerintah lebih memilih impor karena harga yang murah. Terakhir harga kebutuhan pokok berbasis pertanian sudah didikte dunia, ketika harga kedelai dunia naik, Indonesia pun ak mampu menahan kenaikan harga di dalam negri. Lepas dari itu, kelaparan dan kekurangan gizi merebak di mana-mana. Lalu masih pantaskah Indonesia dikatakan sebagai Negara Agraris?

Kembali ke persoalan laut Indonesia. Walaupun banyak yang belum mengetahui begitu besarnya potensi laut yang ada, tidak bisa dipungkiri potensi itu memang ada. Dari bibir pantai hingga laut yang paling dalam sekalipun banyak potensi yang dapat dikeruk. Bahkan Pakar Kelautan ITS, Prof Ir Soegiono mengatakan dengan ikan saja sebenarnya Indonesia mampu hidup, bermodalkan gas dan batubara dari laut saja Indonesia tidak perlu berhutang lagi. Namun kenyatannya, laut kita memang belum terasa kiprahnya.

Dalam beberapa hal, potensi kelautan memang lebih besar dibanding pertanian Indonesia. Tidak hanya karena luas, tapi juga keanekaragaman potensinya. Saat ini kelautan Indonesia belum terlihat taringnya, tapi mereka sudah mulai dan sedang ‘unjuk gigi’. Satu hal yang saya rasakan adalah semangat dan mimpi-mimpi mereka akan kejayaan laut Indonesia akan datang.

Dari sini saya berpikir sah-sah saja jika kita menyebut Indonesia sebagai Negara Bahari. Toh sebelumnya kita juga sering mendengar bahwa "nenek moyangku seorang pelaut". Bahkan civitas kelautan pun sudah menanamkan pada diri mereka bahwa Indonesia adalah negri bahari.

Lantas bagaimana dengan Agraris? Tidaklah saya berani mengatakan Indonesia bukan Negara Agraris lagi. Kecuali jika saya mahasiswa pertanian, akan saya katakan bahwa Indonesia masih Agraris.

Emal Zain MTB
Jurnalis ITS Online
Mahasiswa Teknik Sipil ITS

Berita Terkait