ITS News

Jumat, 27 September 2024
27 Mei 2008, 15:05

Sosialisasikan Kasus BLBI, Anggota Dewan Kunjungi ITS

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sebagai pembicara pertama pada acara ini, Marwan menjelaskan bahwa kasus ini sendiri bermula ketika krisis moneter mulai menerpa Indonesia. “Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI, red) dikucurkan ke 90% bank di Indoneisa untuk menghadapi pernarikan serentak dari nasabah ketika itu,” ujar pria yang rela mengundurkan diri dari kursi General Manager Indosat karena penolakannya atas privatisasi Indosat ini.

Kemudian muncul campur tangan asing melalui International Monetary Fund (IMF) yang menekan pemerintah agar menjual dengan murah saham-saham pemerintah yang ada di berbagai bank. “50 % saham dari BCA hanya dihargai Rp 5 trilyun ketika itu dan lima tahun kemudian saham itu sudah bernilai Rp 90 Trilyun, padahal syarat bank dapat dijual, kalau bank itu sudah sehat,” jelas alumnus Monash University ini. Dan akhirnya kasus BLBI mulai terungkap ketika adanya audit Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2000 yang melaporkan bahwa BLBI berpotensi merugikan negara sebesar Rp 144 trilyun.

“Sehingga Kwik Kian Gie memperkirakan bahwa APBN akan menangung hal ini sampai tahun 2033 dengan total kerugian negara sampai Rp 2000 trilyun,” jelas pendiri Serikat Pekerja Indosat ini.

Ia juga sangat menyayangkan lepasnya beberapa konglomerat yang tersandung kasus ini seperti Anthoni Salim dan Syamsul Nursalim. Bahkan menurutnya, beberapa obligor yang dulu turut menerima BLBI, sekarang telah menjadi konglomerat dengan kekayan berlipat tiap tahunnya.

“Indonesia masuk tiga besar negara di dunia dengan tingkat pertumbuhan orang kaya yang mencapai 18%, namun kontrasnya tingkat pertumbuhan orang miskin juga sangat besar,” tuturnya.

Menanggapi adanya kaitan tentang kenaikan harga BBM dan penyelesaian kasus BLBI sebagai solusi menyelamatkan APBN, Soeripto menjelaskan bahwa di DPR mendukung penyelesaian kasus BLBI secara tuntas. Ia pun mengungkapkan bahwa kenaikan BBM hanya semakin menyengsarakan rakyat. “Kami dan fraksi kami (FPKS, red) sedang mengusahakan hak angket untuk meninjau kembali kebijakan strategis pemerintah,” ungkap alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjajaran ini.

Sementara itu, dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga Agus Widyantoro SH MH sebagai peninjau dari sisi hukum menekankan agar pemerintah memiliki ketegasan dalam menindak kasus ini. Karena menurutnya, kasus ini sudah terlalu berlarut-larut dan melibatkan banyak pejabat negara. “Pemerintah harus segera mengevaluasi policy yang dikeluarkan terutama ketegasan dalam jangka waktu penyelesaian kasus ini,” tegasnya.(bah/rif)

Berita Terkait