ITS News

Selasa, 03 September 2024
01 Juni 2008, 10:06

Kebangkitan Nasional Melalui Energi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Secara logis, semakin tinggi tingkat hidup dan kelas sosial seseorang, ia akan menyerap energi semakin banyak. Artinya, dibandingkan rakyat kebanyakan, maka para pejabat dan kelas menengah keatas relatif lebih boros dalam mengkonsumsi energi. Sebagai contoh, pekerja kantoran mengkonsumsi banyak energi listrik dari AC dan peralatan elektronik lainnya. Semakin tinggi eselon pejabat, kapasitas mobil dinasnya semakin besar dan boros energi.

Bila ada pernyataan bahwa rakyat kita boros energi, dari mana logikanya? Boros energi yang dinyatakan oleh Presiden tampaknya mengacu pada data elastisitas energi dari BPPT. Elastisitas energi tersebut didefinisikan sebagai perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi (sebagai pembilang) dengan pertumbuhan ekonomi (sebagai penyebut). Semakin tinggi nilainya bisa disimpulkan semakin boros suatu negara. Data survey 2004 menunjukkan bahwa elastisitas energi Indonesia menempati nilai terboros, yaitu 1,84, Malaysia dengan 1,69, Singapura 0,73, Amerika Serikat 0,26, sedangkan Jepang terendah dengan 0,10.

Bila menggunakan nilai indeks ini sebagai logika tingkat keborosan, maka data tersebut bisa menyesatkan. Nilai indeks elastisitas ini akan membaik bila penyebut lebih kecil dari pembilangnya. Dengan kata lain, bahwa bila tingkat pertumbuhan ekonomi kita rendah, dan pertumbuhan konsumsi energi ternyata hanya dipicu oleh sektor konsumsi barang elektronik hingga otomotif import, maka indeks elastisitas ini akan menjadi buruk.

Semangat Hemat Energi
Bila mengacu pada Kepres 43/1991 tentang konservasi energi, maka sebenarnya kesadaran tentang pentingnya menghemat energi, mencari energi alternatif terbaharukan, hingga audit energi telah disadari dalam Kepres sejak 17 tahun yang lalu, saat harga BBM Premium masih dalam kisaran Rp 900-an.

Begitu lambatnya gerak mesin birokrasi pemerintahan, sehingga Kepres 1991 ini tak kunjung terwujud hasilnya hingga gonjang–ganjing BBM dunia yang mencapai lebih dari USD 125 per barrel pada Mei 2008. Baru pada tahun 2005 Kepres ini dikongkritkan integrasi pelaksanaannya pada RIKEN (Rencana Induk Konservasi Energi Nasional) 2005-2025.

Kelambanan dan ketidaksinkronan program antar Departemen dalam pemerintahan ini menyebabkan kinerja indeks efisiensi elastisitas yang digunakan sebagai indikator keborosan penggunaan energi menjadi buruk. Penghematan energi yang tidak berjalan mulus, meningkatkan konsumsi energi yang didominasi pertumbuhan pembangunan pusat-pusat perbelanjaan yang tidak menggunakan konsep eco-building, dan menjadikan Indonesia sebagai pasar otomotif pribadi dengan kelas second technology. Tidak dibangunnya transportasi massal dengan perencanaan yang matang juga memperparah pemborosan akibat kemacetan di dalam kota, mengingat bahwa sektor transportasi mendominasi konsumsi BBM nasional antara 45-49 % (MTI, 2005)

Pemilihan energi alternatif terbaharukan yang tidak sesuai dengan potensi lokal, mengakibatkan kita terjebak pada pengembangan biofuel berbasis nabati yang akan menimbulkan konflik dengan kebutuhan pangan dikemudian hari. Mengapa demikian? Karena pengembangan biofuel nabati ini tidak diimbangi dengan riset rekayasa genetik pangan sebagaimana yang dilakukan AS. Malahan ada ahli yang memperkirakan, bahwa pemopuleran biofuel oleh AS dalam mendukung Brazil sebagai produsen biofuel terbesar bertujuan membuat ketergantungan pada teknologi pangan AS di masa mendatang.

Audit energi sebagai bagian dari Kepres 1991 pun juga tidak berjalan dengan mulus. Sebagai contoh, Dinas Perindag Jatim sebagai pionir di Indonesia menggembar-gemborkan audit energi bagi pabrik-pabrik, baru pada tahun 2008.

Solusi Alternatif
Kebangkitan suatu bangsa yang dijargonkan sebagai “Bersama Kita Bisa” membutuhkan komitmen bersama rakyat yang tumbuh dari kepemimpinan yang kuat. Dari sisi makro ekonomi, diperlukan pertumbuhan ekonomi yang berbasis daya saing potensi lokal, pemerataan ekonomi dengan insentif bagi sektor riil (manufaktur), serta penerapan logika ekonomi yang tepat.

Contohnya, pemerintah sejak Orde Baru hingga Reformasi sekarang ini menjual minyak maupun gas dengan sistem kontrak jangka panjang, ataupun dimodifikasi sedikit dengan model kontrak progressif. Padahal teori ekonomi manajerial sejak dahulu mengajarkan para Sarjana hingga Doktor bahwa komoditas minyak sebagai bagian dari struktur pasar oligopoli seharusnya dijual ke pasar spot, sehingga diperoleh harga terkini. Adanya common enemy bagi semua negara saat harga BBM tinggi akan memudahkan pemerintah membentuk aliansi bersama melawan kartel BBM.

Dari sisi teknis, maka dibutuhkan peran Perguruan Tinggi, yang perlu segera mempercepat skala penelitian dari tingkat laboratorium menjadi terimplementasi di masyarakat. Ada lima jenis klaster riset utama yang bisa ditawarkan kepada pemerintah, yaitu efisiensi energi, fuel cell, energi terbaharukan, konservasi energi, dan diversifikasi energi.

Energi terbaharukan meliputi pemakaian energi alternatif dengan memanfaatan limbah menjadi biogas, biodiesel, biomass, pengembangan energi angin, energi panas bumi (geothermal), dan pembangkit micro dan picohidro. Fuel cell meliputi pengembangan hidrogen dari air maupun air laut sebagai bahan bakar alternatif. Efisiensi energi meliputi desain maupun desain kantor pemerintahan sesuai konsep green building dan penataan ulang transportasi massal yang nyaman, terjangkau, dan efisien. Konservasi energi meliputi audit energi untuk gedung, industri, hingga pembangkit energi yang ada. Diversifikasi energi meliputi optimalisasi penggunaan batubara dan gas alam, agar mampu disesuaikan dengan kebutuhan mesin industri yang ada.

Dengan mempercepat implementasi klaster riset-riset tersebut yang diintegrasikan dengan riset-riset ditingkat Kementrian Ristek dan Departemen terkait, maka diharapkan ada solusi yang lebih baik dalam menghadapi kenaikan harga BBM Internasional. Kita tidak perlu menunggu harga BBM mencapai USD 200 per barrel dalam hal menggunakan energi alternatif, karena bisa jadi semuanya sudah akan terlambat dilakukan

Prof Ir Priyo Suprobo Msc PhD
Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya

Berita Terkait