ITS News

Kamis, 14 November 2024
27 Juni 2008, 10:06

Kita Kenal, Kita Paham, Kita Selamat dari Bencana

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Seperti kita ketahui akhir-akhir ini bangsa Indonesia disibukkan oleh bencana yang datang beruntun, yang menimbulkan korban, kerusakan dan kerugian yang sangat banyak. Akibatnya terjadi pengalihan dana yang semestinya untuk program pembangunan dialihkan untuk penanganan bencana. Dimulai dari Aceh diikuti gempa Nias, Yogyakarta, Bengkulu dan kecelakaan transportasi yang menyebabkan korban jiwa cukup banyak.

Kemajuan teknologi memungkinkan merekam kejadian tsunami dan rekaman ini sangat penting untuk pembelajaran.

Kenapa kita rentan terkena bencana?
Sebuah kenyataan yang harus diingat dan harus diterima oleh seluruh rakyat Indonesia bahwa secara geologis dan klimatologis Indonesia rawan bencana. Sebagian wilayah Indonesia rawan gempa, dan sebagian wilayah pantainya rawan tsunami. Peristiwa itu terus berlangsung dan terus berulang dengan periode tertentu.

Manusia diciptakan dan secara almiah membutuhkan papan, sandang dan pangan. Pertumbuhan penduduk meningkat tajam sehingga kebutuhan ini pun semakin meningkat pula. Kebutuhan papan yang semakin luas mengakibatkan terjadinya perambahan kawasan yang mestinya tidak boleh dihuni. Perambahan kawasan rawan ini terjadi karena masyarakat tidak mengetahui (karena tidak diberitahu) atau karena terpaksa menempati atau karena memang nekat, siap menanggung risiko. Karena sudah bersentuhan dengan manusia maka peristiwa alam tersebut berubah menjadi bencana.

Oleh karenanya waktunya kita harus mengubah sikap yang selama ini kita kerjakan. Selama ini kita masih menganggap bencana sebagai sesuatu musibah yang harus dan layak diterima oleh masyarakat. Usulan upaya penanganan/pencegahan sebelum tejadi bencana masih dianggap suatu upaya yang mengada-ada. Bahkan ada beberapa daerah masih tabu membicarakan bencana takut kuwalat (terjadi sungguhan). Kita harus bersama-sama menyingkirkan pandangan lama kita tentang bencana menuju ke paradigma baru yang lebih ke arah pengurangan risiko. Korban, kerusakan dan kerugian sudah cukup, sehingga harus dilakukan tindakan antisipasi untuk mengurangi.

Sebagai Negara beragama kita mempercayai bahwa manusia diciptakan dan didatangkan di muka bumi mempunyai tugas untuk membaca, melihat, mengamati, mengukur, meneliti dan memahami perilaku semua peristiwa alam tersebut. Artinya manusia diwajibkan untuk mempelajari petunjuk Allah agar bisa menyimpulkan dan diharapkan bisa melakukan tindakan yang arif dalam menyikapi peristiwa alam tersebut.

Budaya dan pengetahuan lokal yang menyelamatkan
Budaya lokal masyarakat Pulau Simelue telah belajar dari kejadian gempa dan tsunami yang pernah terjadi sejak tahun 1900 dan mengembangkan budaya keselamatan dengan istilah semong yang berarti air laut surut dan segera lari menuju kebukit. Istilah ini sudah melekat dan membudaya dihati setiap penduduk Simelue, sehingga saat terjadi tsunami, hanya beberapa penduduk yang menjadi korban, padahal secara geografis letaknya sangat dekat dengan pusat gempa

Kearifan lokal KH Muzammil Hasan Basuni, pimpinan Pondok Pesantren Al Hasan Panti, Jember telah menyelamatkan 400 santrinya saat terjadi banjir bandang pada 2 Januari 2006 lalu. Padahal bangunan gedung ponpes yang diasuhnya porak-poranda. Beliau bisa mempunyai intuisi demikian karena belajar dan peduli terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya.

Tilli Smith seorang anak perempuan kecil berasal dari Inggris telah menyelamatkan banyak orang saat terjadi tsunami tahun 2004 lalu, saat itu dia dan keluarganya sedang berlibur di pantai di Thailand. Waktu air laut surut dia langsung teriak ada tsunami. Pada awalnya tidak ada yang memperdulikan, tetapi karena salah satu juru masak hotel tersebut dari Jepang yang sudah berpengalaman dengan tsunami keluar dan mengajak semua orang untuk ke luar menuju ke daerah yang lebih tinggi. Setelah semuanya selamat dan tsunami sudah selesai banyak orang merasa berterima kasih dengan Tilli Smith, termasuk badan dunia PBB. Saat ditanya darimana dia mendapatkan pengetahuan tentang tsunami, dia bilang dari gurunya yang telah menerangkan tanda-tanda tsunami dengan jelas.

Waktunya berubah
Kekacauan dalam menanganani berbagai bencana di Tanah Air selama ini memunculkan tanda tanya besar, ini menunjukkan bahwa kita bukan bangsa yang suka mencatat, suka membaca, dan mempelajari untuk antisipasi di masa depan tapi seperti kata banyak orang kita ini memang bangsa pelupa atau telmi (telat mikir). Bencana Aceh mestinya memberi pelajaran sangat penting untuk bangsa kita bagaimana menangani bencana dan entah karena apa kita tidak belajar dari bencana Aceh tersebut sehingga saat terjadi bencana gempa di Yogya dan Jawa Tengah terjadi kekacauan dalam penanganannya.

Masihkah kita bersikap seperti gambar ini? Menunggu setelah terjadi bencana baru menolong?

Kita yang selama ini awalnya bertumpu pada sektor sektor rescue dan bantuan darurat berubah menjadi mengerahkan semua sector untuk penangana bencana. Waktunya berubah dari kondisi darurat ke pengurangan risiko, yang awalnya bekerja hanya pada saat terjadi keadaan darurat berubah menjadi bekerja setiap waktu terutama pada saat tidak terjadi bencana,

Penanganan bencana yang selama ini menjadi tanggung jawab pemerintah saja sementara pihak lain adalah penerima, harus berubah menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan partisipasi semua pihak. Dari awalnya tidak ada pengaturan tentang partisipasi berubah menjadi ada perangkat hukum tentang partisipasi. Dan dari tidak ada hak dan kewajiban resiprokal antara pemerintah dan komponen masyarakat berubah menjadi hak dan kewajiban resiprokal antara pemerintah dan komponen masyarakat diatur oleh hukum.

Semoga bermanfaat.

Ir Amien Widodo MSi
Mantan Ketua Pusat Studi Bencana ITS dan Dosen Teknik Sipil ITS

Berita Terkait