ITS News

Kamis, 14 November 2024
02 Agustus 2008, 22:08

Dicari : Kurikulum Berbasis Anti Korupsi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Kita ambil kasus skandal BLBI yang merugikan negara 650 Trilyun (kalau dihitung dengan kurs mata uang saat ini, baca Antaranews). Jumlah yang sanggup memiskinkan rakyat Indonesia yang sudah miskin. Kalau begini, sama saja rakyat sedang dicekik perlahan-lahan sampai akhirnya mati.

Mulai terbongkarlah aib-aib para pejabat tinggi negeri ini. Legislatif, Eksekutif, bahkan Yudikatif kena getahnya. Jaksa Agung Hendarman harus mencak-mencak melihat anak buahnya bermain api dengan kaki-tangan konglomerat Syamsul Nur Salim (coba perhatikan candaan via telepon di penjara antara tersangka AS dan UTG).

Kemudian Gayuus Lumbuun, Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR, menyatakan telah menyiapkan “cambuk” untuk menindak anggota DPR yang terlibat. Dan baru-baru ini giliran Presiden SBY yang berkesempatan "menjewer" dua menterinya, Paskah Suzzeta dan MS Ka’ban.

Sarjana Korupsi Berpredikat Memuaskan
Masih ingat ketika gembar-gembor di DPR kalau pejabat eselon seperti anggota MPR/DPR tingkat daerah, pusat bahkan presiden harus sarjana. Lalu sarjana macam apa yang bangsa ini butuhkan. Apakah sarjana korupsi berpredikat memuaskan? (memuaskan penguasa daerah, pemenang tender, pengusaha licin, pengambil jalan pintas dll).

Masih ingatkah dengan sosok Prof. Nazarudin Syamsudin, ketua KPU kita dulu. Beliau kan guru besar FISIP pada salah satu Universitas di Depok yang katanya terbaik se-Indonesia. Lalu Mulyana W Kusumah, Dosen FISIP (satu gedung dengan nama sebelumnya), yang mengaku aktivis anti korupsi, eh pas ketahuan langsung diam seribu bahasa.

Masih ada lagi, Prof Said Agil Munawar, mantan Menag yang juga terlibat korupsi ratusan milyar. Belum lagi “Guru Besar” di jajaran aparat penegak hukum yang ikutan korupsi, seperti Komjen Suyitno Landung dan Jend. Rusdihardjo (mantan Kapolri).

Kalau dari legislatif, data menyebutkan bahwa anggota DPR RI hasil pemilu 2004 terdiri dari 26,7 % tamat pendidikan strata dua, 7% punya titel doktor dan selebihnya tamatan pendidikan sarjana (sumber Litbang Kompas). Para pembaca bisa mengestimasi sendiri berapa kaum terdidik yang korupsi di tubuh DPR.

ITS Harus Cetak Clean Technopreneur
Virus technopreneurship akan “ditularkan” pada seluruh mahasiswa ITS. ITS berencana akan merombak kurikulum pembelajarannya dengan memasukkan unsur-unsur technopreneurship. Menkominfo M Nuh menyatakan bahwa istilah baru itu ditujukan untuk mendorong perlombaan inovasi teknologi yang diarahkan menuju peningkatan ekonomi (baca Surya).

Dengan kata lain, teknokrat muda sekarang harus punya jiwa inovatif dan kewirausahaan yang baik (walaupun mata kuliah kewiraushaan sebenarnya sudah ada). Tapi apakah hukum kapitalistik tidak bermain disini, ketika pemilik modal punya super power.

Akankah muncul teknokrat yang sikut sana-sini atau sogok sana-sini untuk memenangkan tender dan memajukan bisnisnya. Ataukah teknokrat yang menerobos batasan toleransi rule sehingga melalaikan keselamatan.

“Cukup lobbying dengan inspektor atau surveyor, maka sertifikat bisa diapprove,” pkiran yang cepat dan menguntungkan tapi tak bermoral.

Apakah ITS sudah siap untuk mencetak teknokrat-teknokrat yang berkode etik?. Teknokrat yang mendalami makna dan fungsi sosial kemasyarakatannya. Bukan hanya menjadi teknokrat yang rindu akan kekayaan dan popularitas dari karya inovasinya. Butuh kurikulum pengajaran yang sistematis dalam mencetak seorang tauladan.

Belajar dari profesi jurnalis yang memiliki UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Sekarang hampir tak ada lagi yang membatasi kebebasan pers. Apa pemerintah berkuasa atau polisi masih berani membredel?.

Media bisa saja sesuka hati menciptakan image buruk bagi orang-orang yang tidak disenanginya. Tapi jurnalis memiliki kode etik yang harus dipegang teguh. Memang polisi tidak bisa menindak, tapi jurnalis punya pengadilan ombudsman sendiri yang majelis hakimnya terdiri dari redaktur-redaktur senior.

Dari sanalah nama baik profesi jurnalis dipertaruhkan. Mereka muncul dengan membawa pencerahan bagi masyarakat. Begitu juga teknokrat yang harus mengedepankan kode etik (moral) untuk menjaga kepercayaan masyarakat.

Dikutip dari berbagai sumber
Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan

Berita Terkait