ITS News

Selasa, 03 September 2024
19 Agustus 2008, 15:08

Malu yang Kian Berlalu

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Lihat saja! Jaksa-jaksa kita yang banyak main mata dengan pengusaha. Anggota dewan yang keluar aturan untuk menjadi hartawan. Sampai pada oknum yang rame-rame menyelewengkan dana buku sekolah. Mereka tidak malu. Mereka orang terhormat dan tetap terhormat sekalipun telah menjadi terdakwa. Lihat saja! Bagaimana cengar-cengir mereka di persidangan. Jas hitam plus dasi yang menambah apik kehormatan. Belum lagi tampilan klimis dandanan modis ala selebritis. Soal fasilitas, tahu-lah kita semua.

Tidak ada rasa malu. Tidak pula mereka akan langsung mengaku. Selagi masih ada kehormatan, segala cara akan dilakukan oleh si pesakitan. Ada sebuah cerita dari tokoh Syiah, Ali Shariati dalam sebuah bukunya. Terlepas dari kontroversi sebagian pemikirannya, menarik rasanya menampilkan cerita tersebut di sini. Ali menceritakan seorang teman yang suatu ketika mengunjungi seorang hakim pada suatu pengadilan.

Hakim ini, katanya adalah seorang yang memiliki integritas moral, saleh, penuh martabat dan sangat mantap wataknya. Kemudian ada seorang (tertuduh) yang bukan bertampang kriminal dibawa masuk ke ruangan. Penampilan yang mantap dan gaya yang gagah dari orang ini mengesankan bahwa ia seorang yang berkedudukan dan dihormati di masyarakatnya. Ia (tertuduh) melepas topinya dan meminta pada hakim agar diperbolehkan duduk dengan cara demikian sopan dan hormatnya sehingga seolah-olah seluruh hadirin merasa harus berdiri dan membungkuk menghormatinya.

Akan tetapi, sang hakim yang berpembawaan sangat baik dan berhati lunak, mulai memperlakukan orang itu dengan penghinaan dan maki-makian yang kasar, berteriak kepadanya “Kamu tikus kotor! Kamu ingin duduk, hah! Kamu tidak pantas duduk di sini! Bagaimana mungkin kamu berani duduk di depan saya! Kamu anak haram! Jahanam, keluar dari sini! Tempatmu dekat pintu sana! Berdiri di sana!” Bahkan sang hakim memberondongnya dengan tambahan penghinaan dan caci maki ketika pesakitan yang malang itu meminta supaya kata-katanya didengar lebih dulu. “Persetan dengan kata-katamu! Saya tidak ingin mendengar omong kosongmu! Kamu tidak pantas di dengar, kamu keranjang kotoran! Dan semua orang-orangmu, kamu dan orang-orangmu keranjang kotoran!” Sang hakim terus menerus menghina dan mengancamnya dengan kemarahan dan penasaran yang meningkat. Akhirnya ia berdiri dan mengusirnya dari kantornya.

Sang hakim beralasan bahwa si tertuduh tidak akan mengakui kesalahannya kecuali kalau ia dihina di depan umum. Masalahnya, kata sang hakim, orang tersebut tidak akan bersedia mengakui kejahatannya karena ia memandang dirinya orang penting dan dari keluarga yang cukup terkenal, karena dengan pengakuan itu ia akan menodai prestisenya di tengah-tengah masyarakat. Ia tidak akan mengatakan bahwa ia telah melakukan kejahatan karena ia mempunyai suatu kepribadian yang harus dilindungi dengan segala macam cara. Tidak ada hukuman yang lebih baik daripada merendahkan kepribadiannya dan menanggalkan martabatnya di depan publik dengan cara yang sama.

Hakim itu menyatakan bahwa ia harus menanggalkan kepribadian individual maupun kepribadian publik si pesakitan, yang merupakan halangan satu-satunya ke arah pengakuannya di depan publik, sehingga ia menemukan dirinya tanpa kepribadian lagi, dan tidak ada lagi sesuatu yang harus dipegangi. Jika tidak, maka si pesakitan tidak akan bersedia jatuh, mengaku bersalah, dan mengakui kejahatannya. Setelah dilenyapkan kepribadiannya, ia tidak akan ragu-ragu lagi untuk membuka sesuatu yang mungkin melukai kepribadiannya, karena ia memang sudah tidak punya kepribadian lagi.

Kisah sang hakim di atas sepertinya layak untuk ditiru pada bangsa ini. Apalagi dengan kabar akan dibuatnya baju khusus untuk koruptor. Dengan diborgol dan memakai baju koruptor, tidak hanya akan membuat efek jera pada koruptor. Tapi juga timbul hukuman moral dan sosial berupa malu. Malu yang akan menanggalkan kepribadiannya. Mereka yang akan korupsi tentunya juga akan berpikir ulang. Contoh sederhana, siapa sih yang mau jatuh terpeleset di mall. Sakitnya tidak seberapa. Malunya itu loh.

Emal Zain MTB
Mahasiswa Teknik Sipil ITS

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Malu yang Kian Berlalu