ITS News

Selasa, 03 September 2024
19 Agustus 2008, 09:08

Nenek Moyangku Orang Pelaut

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sejak kecil kita dijejali pemikiran bahwa nenek moyang kita adalah pelaut. Arkipelago kita juga membuktikan bahwa garis pantai kita adalah yang terpanjang di dunia. Dari berbagai daerah pun banyak mewariskan folklore kuno yang menceritakan kedigdayaan para pelaut kita. Bahkan desain kapal Phinisi yang melegenda itu pun menjadi bukti bahwa pelaut kita memang jempolan!

Membaca novel Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik, juga dikatakan bahwa bangsa ini besar dari lautan. Pusat-pusat peradaban awal di Indonesia terbentuk dari kerajaan-kerajaan pesisir, masyarakatnya pun memiliki watak bahari; tegas, terbuka, kosmopolit, dan menggelora. Saat kolonialisme hadir, mereka menggempur pusat-pusat budaya pesisir sehingga masyarakat pun berduyun-duyun menuju pedalaman, dan membangun peradaban daratan. Kolonialisme merubah peradaban bangsa ini yang semula berorientasi kelautan (maritime orientation) menjadi berorientasi daratan (continental orientation). Bangsa ini pun menjadi kerdil.

Sayangnya, cerita mengenai kehebatan pelaut bangsa ini juga belum banyak didengar. The Genographic Project -sebuah proyek yang memetakan persebaran manusia, dibuat oleh National Geographic- juga belum menjelaskan bagaimana pelaut bangsa ini menjelajah India hingga Afrika. Bahkan materi Journey of Mankind dari Bradshaw Foundation tidak menerangkan bagaimana persebaran manusia melewati laut dalam Wallacea yang memisahkan dua benua besar, Asia dan Australia.

***
Salah satu yang mengupas dengan kritis kebesaran budaya bahari bangsa Indonesia adalah sebuah penelitian histori-antropologis milik Robert Dick-Read yang berjudul The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times. Buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Penjelajah Bahari ini merupakan referensi tentang pelaut-pelaut Indonesia pada awal sejarah yang komperehensif.

Dalam buku ini mengalirlah cerita-cerita bahari yang heroik. Disebutkan bahwa desain kapal para pelaut Indonesia mempengaruhi desain kapal di seluruh dunia. Bahkan, teknologi cadik yang asli Indonesia itu diadaptasi pada kapal-kapal di India dan Hawaii selama ribuan tahun. Perahu Cheops Mesir dan kapal Jung China juga terbukti terpengaruh dari desain-desain kapal Indonesia. Salah satu yang menarik adalah cerita tentang pertempuran laut antara kapal Portugis dengan perahu pedagang Bugis yang terkenal gagah. Bertempur berhari-hari, meriam-meriam Portugis bahkan tidak mampu menjebol lambung kapal yang katanya memiliki tebal enam lapis kayu tersebut. Luar biasa.

Peradaban Afrika Kuno juga tidak lepas dari campur tangan para penjelajah Indonesia. Bagaimana ubi jalar dan pisang raja yang endemik Indonesia itu bisa menjelajah hampir separuh bumi hingga Afrika jika tanpa keberanian pelaut ulung Indonesia menaklukan Samudera Hindia. Kemajuan pesat peradaban Madagaskar dan semenanjung Afrika juga merupakan cipta jenius pelaut Bajo. Bahkan persediaan emas di Sriwijaya -yang dijuluki Svarnadvipa (negeri emas), El Dorado dalam bahasa lain- tidak lain berasal dari pertambangan emas kuno di Zimbabwe yang dihuni oleh bangsa Indonesia.

Kesenian juga merupakan bukti penting peninggalan nenek moyang bangsa ini di daratan raksasa Afrika. Penemuan antropologis menemukan bahwa gamelan, angklung, dan kenthongan Afrika adalah sebuah bentuk evolusi dari alat musik yang ada di Indonesia yang dibawa pelaut Sriwijaya dan mengalami asimilasi bentuk, meski tetap meninggalkan langgam desain yang sebentuk.

Ah, alangkah besar negeri ini dahulu. Hingga dominasi perdangangan dunia dikuasai oleh pelaut Indonesia, jauh sebelun Cheng Ho, jauh sebelum Colombus, jauh sebelum para Merkantilis.

***
Saya masih ingat betul bait-bait lagu "Nenek Moyang" karya Ibu Sud:

…nenek moyangku orang pelaut
gemar mengarung luas samudra
menerjang ombak tiada takut
menempuh badai sudah biasa

angin bertiup layar terkembang
ombak berdebur di tepi pantai
pemuda b’rani bangkit sekarang
ke laut kita beramai-ramai…

Entah mengapa saat ini lagu itu menemukan maknanya kembali, jadi bergetar hati saya dibuatnya. Wallahua’lam bis shawab.

Ayos Purwoaji
Mahasiswa Desain Produk ITS

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Nenek Moyangku Orang Pelaut