ITS News

Kamis, 14 November 2024
10 September 2008, 09:09

Hilangnya Kekuatan Antaeus

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sewaktu Orde Baru, berbicara tidak sebebas sekarang. Bertingkah sedikit saja, bisa-bisa nyawa jadi taruhannya. Tidak ada oposisi pada masa itu, cendekiawan pun terpaksa menjadi kaki tangan penguasa. Rakyat juga sudah cukup hidup aman dan sentosa. Bagi yang coba bersuara akan dibungkam, diculik, diasingkan, atau setidaknya merasakan dinginnya tahanan. Media-media yang vokal mengkritik juga tak lepas dari pembekuan.

Siapa sangka, justru tekanan-tekanan tersebut yang akhirnya menggulingkan rezim orde baru. Puncaknya tentu saja tahun 1998, di mana rasa muak sudah mencapai titik tertinggi. Perilaku pemerintah selama 32 tahun yang bisa dibilang sesuka hati tak urung telah menyemai kekuatan-kekuatan baru. Perlawanan pemerintah terhadap kevokalan dan kekritisan malah membuat sang pengkritik menjadi semakin kuat dan meluas. Semakin dimusuhi seseorang oleh sistem, semakin tumguh ia menjadi semacam sistem tandingan.

Fenomena seperti inilah yang ada pada diri seorang Antaeus. Salah satu tokoh mitologi Yunani yang dikenal sebagai pegulat dan sering disamakan dengan Hercules. Ayahnya adalah dewa air Poseidon. Sedangkan Ibunya adalah Gaia, penguasa bumi. Tersebutlah bahwa Antaeus akan semakin kuat dengan banyaknya kekalahan yang dideritanya. Semakin ia dilawan, bertambahlah kekuatannya. Bisa diibaratkan, “musuh-musuh” pemerintah saat itu adalah sosok Antaeus. Semakin dilawan, semakin besar pula kekuatannya untuk menjatuhkan rezim.

Setelah reformasi bergulir situasi menjadi sedikit berbeda. Seperti diungkapkan sebelumnya, semua orang sudah berani bicara. Pemerintah salah langsung ditegur. Melenceng sedikit sudah ada pula yang berkoar-koar. Terasa timpang membuat kebijakan, massa pun siap dikerahkan. Namun di lain sisi, pemerintah pasca reformasi seperti ogah-ogahan menanggapi. Ada yang menegur, silakan! Dikritik sana-sini, ngeh monggo! Berjuta orang aksi, boleh-boleh saja. Seperti mendengarkan dari telinga kanan lalu keluar lagi dari telinga kiri. Teguran, kritikan, tuntutan, bahkan hujatan sering terdengar, tapi khafilah tetap berlalu.

Baiklah kita ambil sedikit contoh. Baru-baru ini Amin Rais menerbitkan sebuah buku terkait tekanan-tekanan korporasi asing pada bangsa Indonesia. Mantan Ketua MPR ini menyatakan bangsa Indonesia masih memiliki jiwa-jiwa inlander, bermental terjajah dengan menjatuhkan diri di bawah bayang-bayang korporatokrasi internasional seolah-olah mustahil bangsa ini maju tanpa mengikuti jalan yang ditunjukkan negara-negara maju (barat). Secara gamblang, Amin menujukan kritikannya terhadap pemerintahan Yudhoyono yang tidak menunjukkan keberanian mengatakan tidak pada tekanan korporasi asing.

Hingga kini, saya pun tidak dan mungkin belum mengetahui adanya respon serius dari pemerintah atas buku yang ditulis Amin. Seolah tak pernah terbit saja buku tersebut. Bagi Amin yang telah berkoar-koar terkait Freeport sejak 1997, perjuangan harus jalan terus seperti pernah diajarkan Bung Karno, for a fighting nation, there is no journey’s end. Masalahnya, pemerintah tidak berkata tidak, tapi diam. Mungkin sengaja mendiamkan.

Begitu pula dengan aksi-aksi demonstrasi. Begitu banyak aksi dilakukan, tapi tuntutan hanya sampai di meja, tak pernah terbaca. Silakan saja menggelar aksi, asal jangan anarkis. Begitulah kira-kira tanggapan singkat yang didapat. Selebihnya, tau sendiri lah.

Seolah belajar pada masa lalu, pemerintah saat ini seakan mengerti akan Antaeus-antaeus yang mengancam. Tidak ada perlawanan karena tak perlu dilawan. Tidak pula dijawab tidak, karena yang penting mereka boleh bertanya, dijawab atau tidak bukanlah urusan. Semakin dilawan maka akan semakin kuat. Biarkan saja! Diamkan saja! Maka Antaeus pun akan melemah.

Mungkin juga pemerintah saat ini belajar pada pepatah Persia, jangan menginjak-injak permadani atau sarang mullah, ia akan naik harganya. Khomeini pernah membuktikan hal ini, ia dihantam bekas Syah Iran dan malah tambah berwibawa. Akhirnya, ocehan Amin pun dibiarkan saja.

Jumat, 5 September 2008 yang lalu, secara mencengangkan Ichsanuddin Noorsy menunjukkan dokumen-dokumen yang menguatkan adanya intervensi asing dalam pengelolaan energi nasional. Sebagai saksi ahli di Panitia Angket DPR, Noorsy membawa bukti-bukti naskah dari Washington terkait UU minyak dan migas yang diharapkan dikaji ulang. Hal ini mengindikasikan, pembuatan UU migas sarat intervensi asing. Lalu bagaimana tanggapan pihak terkait (Pemerintah, Mentri ESDM, Bappenas)? Ah, beritanya saja sudah tenggelam.

Emal Zain MTB
Mahasiswa Teknik Sipil ITS
Jurnalis ITS Online

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Hilangnya Kekuatan Antaeus