Mudik lebaran itu bisa jadi sebuah hal yang multitafsir. Ada yang pulang karena kangen rumah, ada juga yang pulang karena mau sungkem pada orang tua, bisa jadi pulang juga ke kampung untuk sekedar nostalgia, atau hanya ingin bagi-bagi angpao setelah sukses di kota, namun ada juga yang pulang mudik untuk kembali ke titik nol.
Pulang ke rumah bisa jadi adalah sebuah perjuangan tentang eksistensi diri. Pulang dari kota atau negeri jiran dengan membawa kantung penuh uang adalah sebuah kebanggaan yang susah dilukiskan. Jika berhasil membangun rumah dan membeli motor saja istilahnya sudah naik kasta. Menjadi lebih priyayi dan menjadi rujukan anak kecil sekampung untuk bancakan. Untuk angpao, uangnya juga beda. Biru-biru kinclong kempling baru keluar dari bank. Harum.
Merujuk pada Jean Paul Sartre, mereka ini kaum eksistensialis murni. Jika bekerja di kota adalah kurva bagian menanjak, maka pulang ke rumah adalah puncaknya. Kerja setahun untuk lebaran seminggu. Setelahnya, kembali ke kota untuk giat bekerja, menabung untuk lebaran lagi tahun depan. Bagai gelombang longitudinal yang tidak ada habisnya.
***
Ada juga yang menafsirkan pulang ke rumah sebagai usaha untuk kembali ke titik nol. Untuk sungkem dan sembah sujud di depan orang tua, ini dilakukan sebagai sebuah usaha kontemplatif seorang anak manusia akan eksistensi dirinya. Mereka yang pulang untuk sekedar sungkem ini berpikir lebaran seminggu adalah lebih tinggi maknanya tinimbang kerja setahun. Mudik bagi mereka adalah sebuah usaha untuk menyeimbangkan garis equilibrium hidup.
Istilahnya, bekerja setahun adalah sebuah aktivitas makrokosmos. Usaha untuk meraih dunia dan seisinya, termasuk keinginan-keinginan untuk membeli mobil dengan kelas A-plus, membeli sebuah hunian di cluster paling mahal, dan meningkatkan usaha ekspor-impor keluarga dengan ekspansi yang lebih luas. Sedangkan lebaran seminggu adalah sebuah usaha untuk menggali mikrokosmos dalam diri manusia, salah satunya dengan merendahkan kepala mohon ridho dari orangtua.
Apa yang ada dalam semesta besar (makrokosmos) sebetulnya telah hadir dalam semesta kecil (mikrokosmos) yang ada dalam diri manusia. Bahkan seringkali apa yang tidak kita dapatkan di alam makro, justru dengan mudah kita temukan dalam semesta mikro yang ada dalam diri manusia itu sendiri. Seperti halnya kebahagiaan. Namun justru perjalanan menuju ke dalam hati ini seringkali kita abaikan. Karena jujur saja, alam makro menawarkan sesuatu yang lebih menggiurkan. Kita pun jadi lupa.
Paulo Coelho dalam The Alchemist pun mengatakan hal yang sama. Apa yang kita cari dalam perjalanan panjang di alam makro terkadang malah mengaburkan pandangan dan tujuan sejati yang ingin kita capai. Atau malah tujuan yang dicari itu sebenarnya sudah ada dalam diri manusia sendiri.
Maka dari itu, maka mudik sejatinya adalah usaha untuk kembali menyelam ke kedalaman jiwa. Menggali kembali semesta mikro yang luar biasa makro, menyeimbangkan kembali garis equlibrium hidup. Maka pulang adalah sebuah perjalanan hati.
***
Rasanya lagu Home dari Michael Buble dan tembang lawas Aku Ingin Pulang dari Ebiet kembali saya gemari akhir-akhir ini. Entah mengapa. Rasanya seperti ingin cepat pulang saja. Pulang untuk sungkem minta ridho sekaligus pamer baju koko baru yang membuat saya semakin mirip Baim Wong. Lho!
Wallahua’alam bisshowab.
Ayos Purwoaji
Mahasiswa Despro ITS
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi