ITS News

Rabu, 02 Oktober 2024
06 Desember 2008, 13:12

Resensi Buku: Kilasan Pengalaman 44 Tahun Bersama ITS 1964-2008

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sengaja saya panggil beliau kakak angkatan. Karena memang sampai hari ini beliau masih terlihat energik dan bersemangat seperti anak muda. Lagipula wajah beliau di cover buku tidak ada perubahan signifikan dengan yang sekarang. Masih terlihat muda dengan senyum yang khas.

Di cover itu terlihat ia sedang berdiri tegak di tengah lautan manusia yang hampir semuanya mengepalkan tangannya ke atas. Tangannya menggenggam sebuah microphone. Mimik mukanya yang tenang menggambarkan kalau ia sedang menjelaskan sesuatu di hadapan orang banyak.

Di sisi kiri ada tulisan cukup besar berbunyi Selamat Jalan Pahlawan Reformasi. Di bagian atas cover buku, tertulis besar-besar kalimat Kilasan Pengalaman 44 Tahun Bersama ITS 1964-2008. Sedangkan di bawahnya ada nama pengarangnya, Soegiono. Tanpa ada gelar yang melekat pada nama tersebut. 1 Oktober 2008 lalu ia menggenapkan 44 tahun berkarya di ITS dan mencoba bercerita melalui buku. Menyimak buku ini sama seperti melihat rekaman sejarah ITS.

Cinta Soegiono pada Ilmunya
Pilihannya jatuh kepada jurusan Teknik Perkapalan. Alasannya sederhana, selain tidak mau merepotkan orang tua, ia juga melihat sarjana perkapalan masih sangat langka. Mungkin bukan hanya perkapalan saja, tapi jumlah insinyur ketika itu memang masih sangat langka.

Ia memulai studynya di tahun 1961 dan baru 8 tahun 8 bulan kemudian ia meraih gelar sarjana. Terkesan itu waktu yang lama, tapi bisa jadi itu waktu yang cepat. Karena zaman dulu tidak ada yang namanya Excel, Words, Auto CAD, Max surf dll. Bahkan kalkulator saja baru ada tahun 70-an.

Selepas lulus, ia pernah menjadi surveyor Lloyd’s Register. Di tahun 1977 ia berangkat ke Jerman untuk program training di RWTH Aachen sama seperti sekolahnya Prof BJ Habibie. Keilmuannya kemudian mengerucut. Segala ilmu di bidang kelautan coba digali lagi. Alhasil di tahun 90-an awal, Ia lebih banyak memperdalam ilmu bangunan pantai dan lepas pantai sekaligus sistem perpipaannya. Ilmu itu diperdalam di India Insitute of Technology dan Monash University. Ilmu inilah yang dibawa Soegiono ke jurusan Teknik Kelautan ITS jadi yang pertama dan yang terbaik di Indonesia.

Sudah menjadi kewajiban dosen untuk meneliti. Pun begitu dengan Soegiono yang telah menghasilkan lima judul penelitian. Rata-rata penelitian itu merupakan kerjasama ITS dengan lembaga migas. Ditambah lagi empat buku yang telah ia tulis tentang bidang keilmuannya.

Cinta Soegiono pada ITS
Ia memulai karir sejak tahun 1964 sebagai asisten dosen tidak tetap. Kalau dulu, asisten dosen bisa langsung diangkat sebagai pegawai negeri. Ia juga tak menyangka. Semua itu bermula dari ajakan kawannya Ang Tjiong Tjien (Paulus Andrianto) yang langsung ia sanggupi.

Segera setelah lulus di tahun 1970, ia malah “diikat” oleh Dekan Fakultas Teknik Perkapalan (FTP) Dipl Ing Munaf untuk menjadi dosen mata kuliah perencanaan kapal. Tak pernah terbesit mimpi untuk menjadi dekan atau rektor ketika ia menerima tawaran sebagai dosen.Yang menjadi beban pikirannya hanyalah bagaimana menghidupi anak-istri dengan gaji sebesar Rp 11.000. Ternyata Allah berkehendak lain. Man Proposes God Disposes.

Teringat perkataan Supriadi seorang pahlawan nasional yang melegenda dan misterius. ”Berjuang jangan sekali-kali mengharapkan pangkat, kedudukan, dan gaji tinggi,” teriak komandan PETA ini didepan anak buahnya sebelum pemberontakan itu. Karena ini pula Supriadi melegenda menjadi seorang Menteri Negara Urusan Pertahanan dan Panglima TKR berpangkat Jenderal yang menghilang di tengah hutan Blitar.

Skenario terus berjalan, pada tahun 1979-1983 pernah menjadi anggota tim yang mengusahakan berdirinya Laboratorium Hidrodinamika pertama di Indonesia. Tahun 1980-1983 menjadi Dekan Fakultas Teknologi Perkapalan (FTP). Tahun 1982, ia bersama pengajar yang lain mengusahakan terbentuknya dua jurusan baru yaitu Teknik Permesinan Kapal dan Teknik Kelautan.

Nama FTP pun berubah menjadi Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) dan dirinya menjadi dekan FTK sekaligus Kaprodi Teknik Kelautan sampai tahun 1990. ia pula yang mengupayakan agar Kelautan sebagai salah satu visi ITS yang bertahan sampai sekarang. Semangat menjadi seorang pionir yang mungkin bisa kita petik di sini.

Pendirian Politeknik Perkapalan ITS tak bisa dilepaskan dari andilnya. Dengan dana pinjaman dari Bank Dunia, PPNS berdiri tahun 1987. Ia menjadi Direkturnya untuk periode 1987-1995.

Kontribusinya dilanjutkan ketika ia menjadi rektor ITS dua periode (1995-2003). Pada masa ia menjadi rektor, pembangunan besar-besaran terjadi di ITS. Beberapa bangunan penting didirikan seperti Perpustakaan berlantai enam, Graha Sepuluh Nopember, Stadion, dan Gedung Pasca Sarjana. Semua didapat dari pinjaman Asian Development Bank. Terakhir, pada tahun 2002 namanya berkibar sebagai Ketua Majelis Rektor PTN se-Indonesia.

Ia termasuk manusia yang beruntung karena bisa menjadi saksi sejarah beberapa peristiwa penting di negeri ini. Ketika mahasiswa ia dihadapkan dengan pemerintahan orde lama dengan demokrasi terpimpinnya. Banyak orang tidak menyangka, ternyata ia pernah menjadi seorang Sekertaris Umum Dewan Mahasiswa (1964-1965). Kemudian karirnya sebagai aktivis berlanjut dengan menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Teknologi Perkapalan (SM FTP) periode 1966-1967.

Soegiono dan Detik-Detik Orla
Perang ideologi begitu kuat ketika itu. Soegiono termasuk aktivis intra kampus tulen. Sedangkan kebanyakan kawan-kawannya di senat ketika itu berafiliasi dengan ekstra kampus seperti GMNI, HMI, dll. Kalau dilihat dari literatur sejarah, kita akan menemukan istilah Manifesto Politik (Manipol). Pada zaman tersebut, berideologi dan berpolitik adalah sebuah kewajiban. Cukup memilih jadi golongan “Nas”, “A”, atau “Kom”. Yang tidak memilih bisa dituduh menghambat kinerja revolusi (kontrarevolusi).

Ia bercerita ketika di suatu malam menjelang G30S/PKI. Ada konspirasi untuk memasukkan organisasi ektrakampus ke dalam kampus melalui Rapat Dewan Mahasiswa. Rapat tersebut dilakukan malam hari dan tiga hari sebelum perisitiwa berdarah. Ia dan beberapa temannya tidak sepakat. Akhirnya SM FTP berkeputusan menarik dukungan dari Dewan Mahasiswa.

Ternyata keputusannya berbuah petaka. Ia dan beberapa temannya diancam untuk dilaporkan ke PBR/PYM/Pangti ABRI/Presiden Soekarno sebagai kontrarevolusioner dan reaksioner. Segera terbayang nasibnya akan seperti Prof Sumitro (Begawan Ekonomi), Syafruddin Prawiranegara (Pjs Presiden PDRI) atau HAMKA (Sastrawan) dll yang dituduh kontra pemerintah (subversif) dan di penjara tanpa persidangan.

Beruntung segera setelah itu, PKI mengalami kekalahan telak setelah coup d’etat-nya gagal. Gejolak itu ternyata berefek panjang pada negara ini. Bahkan kampus ITS hampir ditutup seperti nasib kampus lain karena gejolak ini. Para mahasiswa pun berjaga-jaga di gedung ITS Jalan Simpang Dukuh 11 termasuk fasilitas didalamnya. Kalau seandainya benar-benar jadi ditutup, Indonesia pasti akan kehilangan banyak kader teknokrat. “Peristiwa G30S/PKI dengan segala eksesnya meninggalkan kenangan mengerikan dan memilukan bagi yang mengalaminya,” ujarnya Soegiono.

Soegiono dan Gejolak Reformasi
Ketika gejolak reformasi, ia sedang menjabat sebagai seorang rektor. Tapi semangatnya masih sama seperti ketika mahasiswa dulu. Ia tetap menjalin kontak dengan mahasiswa-mahasiswa yang menghendaki reformasi. Bercerita pula ketika saat-saat genting itu banyak tokoh-tokoh pro reformasi menyambangi ITS seperti Gus Dur, Amien Rais, Sri Bintang, WS Rendra, dll.

Dalam ceritanya yang lain, ia sering kedatangan intelejen yang mencari-cari aktivis mahasiswa. Dijawabnya dengan tegas, ”Saya yang bertanggungjawab, jangan ganggu mereka!”. Dahulu lagi hits tentang penculikan aktivis atau orang-orang anti pemerintah.

Suatu saat Pangdam Jend Jaja Suparman menelponnya, ”Mas..itu tolong yah..Mahasiswanya supaya ditarik dari bunderan,”. Mungkin mereka sudah geram dengan aksi-aksi mahasiswa. Lalu Soegiono menjawab, “Saya tidak bisa melakukan hal itu,”. Suasana ketika itu sangat mencekam. ITS sudah dikepung Polisi dan Kopassus.

Berulang kali ia bersama para rektor lainnya diundang oleh pemerintah dan pihak militer. Mereka meminta untuk para rektor menenangkan gejolak ini dan tetap mendukung Soeharto. Ia dan teman-temannya tak terpengaruh dan akhirnya tertanggal 14 Mei 1998, Rapat senat ITS sepakat mendesak Soeharto turun. Ia sendiri sebagai Ketua Senat saat itu yang menandatanganinya. 21 Mei 1998, Soehato akhirnya lengser ke prabon.

Petik Hikmah Jadikan Inspirasi
Cerita bernilai ini belumlah usai. Saya hanya mengambil sesuatu yang menarik untuk diangkat. Tak ada maksud untuk mengkultuskan beliau. Bahkan ia berpesan agar para mahasiswanya bisa jauh lebih baik dan lebih berkontribusi dari pada dirinya. ”Jangan seperti saya yang belum jadi doktor,” ujar Guru Besar Ilmu Teknik Perkapalan ini.

Banyaklah contoh sosok Soegiono di sekitar kita, tapi sedikit orang yang mampu mengambil pelajaran dari sana. Cintanya dalam menimba ilmu, cintanya pada almamater atau pihak yang berjasa padanya, serta kehidupan perjuangan dan lika-likunya adalah layak untuk diteladani. Menarik juga ketika Rektor IPB bercanda dengannya, ”Tuh…alumni IPB jadi presiden (SBY, Red).” Lalu ia balas dengan canda. ”Tuh…DO-nya ITS aja bisa jadi presiden (SBY pernah kuliah di Teknik Mesin ITS, Red),” ujarnya sambil menyebutkan beberapa nama DO ITS lainnya yang sukses. Meniru prinsip orang Inggris, Right or Wrong is My Country.

Peresensi
Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan FTK

Berita Terkait