ITS News

Kamis, 14 November 2024
03 Februari 2009, 09:02

Area Tanpa Kekerasan dan Pornografi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Hingga tahun 2008, kehidupan akademik di ITS telah beberapa kali ternoda oleh ulah kekerasan dan pornografi yang dilakukan oleh mahasiswa. Kekerasan marak dalam kegiatan-kegiatan penyambutan mahasiswa baru (maba), sementara beberapa insiden pornografi dan pornoaksi mewarnai penutupan tahun. Sejumlah mahasiswa telah menerima berbagai sanksi dari Rektor, berupa peringatan tertulis hingga pencabutan status secara sementara dan permanen sebagai mahasiswa.

Tindak kekerasan yang selalu berulang, khususnya di sela-sela kegiatan penerimaan mahasiswa baru, merupakan indikasi utama bahwa penerapan sanksi memiliki efektifitas yang rendah. Perlu pendekatan lain yang bersifat preventif untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa dalam perilaku berhukum, sebuah perilaku yang selalu mendasarkan kepada nilai-nilai hukum, baik yang telah diformalisasikan ke dalam peraturan maupun yang masih merupakan norma-norma hukum dalam masyarakat.

Kekerasan, Pornografi dan Kejahatan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mendefinisikan kejahatan namun mengatur keduanya secara berbeda. Juga tidak ada kesatuan pendapat di kalangan para sarjana mengenai kejahatan. Edwin H Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology yang menyebutkan bahwa suatu perbuatan dapat disebut kejahatan apabila memenuhi tujuh unsur yang saling bergantung dan mempengaruhi, yaitu:

  • Harus terdapat kerugian yang nyata.
  • Kerugian tersebut harus benar-benar merupakan hal yang dilarang oleh undang-undang.
  • Harus ada perbuatan atau membiarkan perbuatan yang disengaja menimbulkan kerugian.
  • Harus ada maksud jahat.
  • harus ada kesesuaian antara maksud jahat dengan perbuatan.
  • Harus ada hubungan sebab akibat antara kerugian yang diatur undang-undang dengan perbuatan yang dilakukan.
  • Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.

JE Sahetapy dan B Marjono Reksodiputro dalam bukunya Paradoks Dalam Kriminologi menyatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan anti sosial yang memperkosa nilai-nilai sosial serta perasaan hukum yang bersemayam dalam masyarakat.

Mengacu pada kedua pendapat tersebut di atas, kejahatan adalah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, melainkan juga tidak sesuai dengan nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam hati nurani masyarakat.

Tindakan kekerasan dapat diartikan sebagai sebuah perbuatan yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum, menimbulkan kerugian secara fisik dan psikis serta berlawanan dengan nilai-nilai keadilan. Pada KUHP, tindakan kekerasan diatur di bagian kejahatan. Misalnya pasal 170 ayat 1 menyatakan bahwa barangsiapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

Letak pengaturan tindakan kekerasan pada KUHP telah jelas menunjukkan bahwa kekerasan merupakan salah satu bentuk kejahatan yang diancam dengan pidana penjara.

Pornografi dan pornoaksi juga tergolong sebagai kejahatan karena mengganggu ketertiban umum dan bertentangan dengan nilai-nilai hukum yang hidup dalam nurani masyarakat. Masalah pornografi dan pornoaksi, dikenal sebagai perbuatan cabul, di dalam KUHP juga diatur di bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Pemerintah sangat perhatian dengan masalah pornografi dan pornoaksi, ditandai dengan disahkannya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi walau masih diwarnai pro dan kontra dari masyarakat.

Penanggulangan Kejahatan
Menurut GP Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:

  1. penerapan hukum pidana.
  2. pencegahan tanpa pidana.
  3. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media.

Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur ‘penal’ (hukum pidana) dan lewat jalur ‘non penal’ (di luar hukum pidana). Dalam pembagian GP Hoefnagels tersebut di atas upaya-upaya yang disebut dalam (2) dan (3) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya non penal. Jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi.

Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat preventif, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi lingkungan sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.

Beberapa aspek sosial yang oleh Kongres ke-8 PBB tahun 1990 di Havana, Cuba, diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, antara lain:

  • Sistem pendidikan serta latihan yang tidak menyeimbangkan antara kebutuhan jasmani dan rohani;
  • Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak disertai meluasnya kesempatan kerja sehingga memperlebar kesenjangan sosial;
  • Mengendurnya ikatan sosial dan keluarga;
  • Penyalahgunaan alkohol dan narkotika;
  • Dorongan-dorongan (khususnya oleh mass media) mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap-sikap tidak toleransi.

Faktor-faktor kondusif di atas sudah tentu merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan "penal’. Disinilah keterbatasan jalur penal clan oleh karena ltu harus ditunjang oleh jalur non-penal. Salah satu jalur non-penal untuk mengatasi masalah-masalah seperti yang dikemukakan di atas adalah lewat jalur kebijakan di bidang pendidikan.

Salah satu aspek kebijakan tersebut yang kiranya patut mendapat perhatian ialah penanganan masalah perkembangan jiwa. Prof Soedarto pernah mengemukakan bahwa kegiatan Pramuka dan olahraga serta pendidikan agama dan hukum merupakan upaya-upaya non-penal dalam mencegah dan menanggulangi kejahatan.

Intensitas kegiatan olahraga di ITS dapat dilakukan dengan melibatkan berbagai organisasi keolahragaan sebagai pembina. Sedangkan penyuluhan agama dan hukum dilakukan secara terintegrasi dengan memanfaatkan teknologi (techno-prevention). Misalnya siraman rohani secara rutin melalui website ITS. Penyuluhan keagamaan juga dapat dilakukan secara tertutup dengan bekerjasama dengan layanan psikologi konseling di UPT SAC. Dapat pula membuka klinik hukum interaktif dan pengaduan on-line di website ITS. Selain itu perlu juga dipikirkan untuk menyelenggarakan penyuluhan hukum dalam rangkaian kegiatan penyambutan mahasiswa baru.

Melalui kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat memperkuat kembali keyakinan dan kemampuan manusia untuk mengikuti jalan kebenaran dan kebaikan sehingga pada gilirannya akan menciptakan suasana yang kondusif diantara civitas academika dalam mengusung ITS menjadi research university.

Jalur penal, jika terpaksa digunakan, harus dijauhkan dari nuansa pembalasan. Hukuman, selain bersifat represif, juga mempunyai dua sifat, yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum, artinya orang akan menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan, sedangkan prevensi khusus menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah terhukum agar tidak mengulangi lagi perbuatannya. Dengan demikian pemberian hukuman harus kental dengan nuansa pembinaan dan dipandang sebagai cara untuk mencapai tujuan yang jauh lebih besar, yaitu menegakkan ketertiban dan melindungi masyarakat.

Penutup
Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.

Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau mengurangi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik. Disitulah peran pendidikan, menciptakan warga masyarakat yang baik melalui penciptaan lingkungan belajar yang kondusif.

Riza Meiyanto, S.H M.Kn
Staf Administrasi ITS

Berita Terkait