Tanpa perlu memberikan jampi-jampi bahkan hanya mencelupkan batu itu kedalam air mineral, banyak pasien yang sembuh sehingga Ponari dianggap sebagai “Dewa Penyembuhâ€. Maka itu orang berduyun-duyun datang dari berbagai daerah menuju tempat praktik dukun cilik itu dengan maksud agar bisa disembuhkan penyakit yang mereka derita.
Yang menarik Ponari tidak memasang tarif, sehingga banyak pasien yang sembuh justru memberi imbalan materi yang lebih. Penyakit yang dapat disembuhkan pun beragam, mulai dari penyakit dalam, bisu hingga tuli. Jelas ini mengundang perhatian orang banyak. Praktik dukun cilik ini tidak bertahan lama karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk dibuka lagi, begitu banyak orang yang berdesak-desakkan antri untuk bisa berobat, menonton bahkan berjualan sehingga ada pasien yang pingsan ketika mengantri bahkan meninggal ditambah lagi kondisi kesehatan dukun cilik yang mulai melemah akibat kelelahan dan tentunya dengan umur yang masih 10 tahun keluarganya pun harus memikirkan kelanjutan sekolah Ponari, demi masa depan sehingga semakin kuatlah alasan untuk ditutupnya praktik dukun cilik ini. Sehari sebelum Ponari sakit, dia harus melayani sekitar 6.500 pasien dalam waktu hanya 2,5 jam, dokter sehebat apapun tidak mungkin melakukan ini.
Inilah fenomena yang terjadi, tapi bukan pada keunikan Ponari atau berapa banyak pasien yang dapat dia sembuhkan selama membuka praktek pengobatan tradisional yang ingin saya bahas disini. Hal ini harusnya jadi tamparan keras bagi para pekerja dibidang kesehatan umunya dan pemerintah khususnya, kenapa banyak sekali orang yang menderita penyakit yang beragam datang di praktek pengobatan Ponari? Mari kaji lebih dalam terkait masalah kesehatan dinegeri ribuan pulau ini.
Kesehatan rakyat adalah salah satu tugas pokok pemerintah di suatu Negara. Kita ketahui bersama bahwa banyak sekali permasalahan kesehatan di negeri ini. Mulai dari mahalnya biaya berobat, fasilitas yang minim, sumber daya manusia dibidang kesehatan yang sangat kurang jumlahnya jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang hampir 220 juta jiwa bahkan dipelayananya pun kurang memuaskan. Ini terlihat jelas ketika saya membandingkan berobat dirumah sakit pemerintah dan dirumah sakit swasta.
Rumah sakit pemerintah terkesan asalan dan kurang menghargai pasien, sedangkan rumah sakit swasta dengan fasilitas yang lumayan, pelayanannya membuat pasien nyaman tapi biaya mahal,walau mungkin tidak semua rumah sakit pemerintah ataupun swasta seperti itu tapi hal ini membuat saya berpikir sepertinya Negara memang membenarkan judul sebuah buku yang ditulis Eko Prasetyo “Orang Miskin Dilarang Sakit†di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini, ironis.
Memang pemerintah melalui Departemen Sosial dan Departemen Kesehatan mengadakan banyak program untuk memperhatikan warga miskin, khususnya di bidang kesehatan, tapi prosedur untuk mendapatkan surat keterangan miskin agar bisa berobat sangat berbelit-belit dan tentunya disana-sini ada pungutan liar, sehingga akhirnya orang yang sakit jadi malas mengurusi hal seperti ini. Bagi orang-orang dengan tingkat ekonomi bawah, sakit adalah suatu bencana bahkan ketika sakitnya sudah parah mereka hanya bias bermimpi untuk sembuh karena untuk berobat lebih lanjut mereka harus menjual harta benda mereka bahkan utang sana-sini, sungguh inilah gambaran negeri dengan 35 juta orang miskin.
Untuk mengeluarkan biaya jasa dokter khususnya dokter spesialis masih belum terjangkau oleh sebagian masyarakat. Belum lagi harga obat yang cukup mahal dan harganya pasti akan semakin menggila. Ditambah lagi dengan beban biaya pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologis, pemeriksaan patologis dan pemeriksaan penunjang lainnya akan semakin tidak terjangkau. Biaya akan semakin melangit bila pasien divonis rawat inap atau operasi.Ditambah lagi dengan beragam kecurangan dari pihak rumah sakit terkait klaim Askes dan banyak rumah sakit yang tidak mau melayani pasien miskin, betapa mulai hilangnya hati nurani kita, kompleks sekali permasalahanya. Wajar warga ramai yang mendatangi praktek dukun cilik, karena sudah jenuh dengan segala permasalahan dibidang kesehatan negeri ini, mereka ingin sembuh tapi tidak membuat mereka semakin melarat secara ekonomi.
Ada hal mendasar menurut saya yang menjadi penyebab mahalnya biaya kesehatan. Ini terkait sumber daya manusia, kita ketahui bersama bahwa untuk masuk di sebuah Fakultas Kedokteran suatu kampus berapa banyak uang yang dikeluarkan? ratusan juta! itu untuk masuk saja, belum untuk biaya hidup selama kuliah, biaya praktek, biaya ambil profesi dan lain-lain. Tentunya secara logika sederhana, pastinya ada motif ekonomi ketika para sarjana fakultas kedokteran itu lulus. Mereka harus berpikir bagaimana untuk mengembalikan modal yang mereka keluarkan selam kuliah, tentunya cara yang termudah adalah dengan menjual jasa mereka mahal sekali, obat yang harganya murah pun bisa jadi mahal.
Kuliah dibidang kesehatan seperti farmasi, keperawatan dan kebidanan, sungguh mahal. Pendidikan yang baik memang mahal, tapi pertanyaanya; siapakah yang harusnya membiayai pendidikan itu?? Agar lingkaran setan masalah kesehatan dinegeri ini bisa terselesaikan. Harusnya kita belajar dari Venezuela negeri yang luas wilayahnya lebih kecil dari Indonesia dan sumber daya alamnya lebih sedikit dari Indonesia, Fakultas kedokteran disana murah sehingga para lulusanya pun dapat mengabdi untuk memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik untuk rakyatnya dengan harga terjangkau.
Apakah ramainya pasien dukun cilik, sebagai pertanda ketidakpercayaan rakyat pada dokter yang hanya menetapkan tarif tinggi tapi tidak dapat menyembuhkan pasienya?? Para dokter, apoteker, perawat, produsen obat, dinas kesehatan, dan pekerja medis lainnya sebaiknya menyimak tulisan ini. Saatnya mengingat kembali nasib kaum ekonomi lemah. Perlakukan mereka dengan layak dan jangan persalahkan mereka dengan mengatakan bodoh mempercayai “keajaiban†dukun kecil ketika mereka berduyun-duyun untuk berobat ke Ponari.
Kondisi ekonomi yang tidak menentu ditambah pemerintah yang sedang sibuk mempertahankan kekuasaanya ketika mendekati PEMILU mulai semakin lupa dengan tugasnya mengurusi kesehatan dan pendidikan rakyatnya. Harusnya kita semua dapat disadarkan dengan fenomena dukun cilik ini, malu sebagai orang yang diamanahi untuk mengurus negeri ini. Semoga intelektual dan hati kita masih bekerja dengan baik untuk sama-sama mensejahterakan rakyat negeri ini.
Ya’ Asurandi
Mahasiswa Fisika ITS
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi