ITS News

Jumat, 15 November 2024
11 Maret 2009, 10:03

Perhatikanlah Kami di Perbatasan!

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Saat itu saya tengah melakukan perjalanan ke Pos Lintas Batas (PLB) Entikong. Ya, saat itu adalah tour sekolah SMA Negeri 1 Ngabang, sekolah dimana saya menimba ilmu. Jarak dari kotaku ke Pontianak, Ibu kota Propinsi Kalimantan Barat,  sejauh 177 km sedangkan jarak kotaku ke perbatasan Entikong Indonesia – Tebedu Sarawak Malaysia kurang dari itu, hanya 140 km. Perjalanan ini begitu berkesan. Dari perjalanan ini saya  belajar perbedaan kedua Negara dari cara mereka mengelola perbatasannya. Indonesia negaraku dan Malaysia Negeri jiran.

Realita yang kulihat di perbatasan membuat dada saya perih. Indonesia yang kubanggakan rasanya hancur berkeping-keping saat itu. Realita apakah yang kulihat? akan saya paparkan. Melihat areal perbatasan di wilayah Indonesia, berjejalan pedagang kaki lima yang tidak teratur dipasar yang dekat sekali dengan kantor imigrasi Indonesia, tidak jauh dari itu terdapat tempat prostitusi bahkan di pinggir-pinggir jalan raya utama banyak terdapat warung makan kaki lima yang tidak layak, sampah berserakan dipinggir-pinggir jalan, para calo valas (valuta asing) yang berkeliaran menawarkan penukaran uang dari Rupiah ke Ringgit Malaysia ataupun sebaliknya, parkir kendaraan yang sangat tidak mengindahkan estetika, begitu kompleks sekali rasanya apa yang kulihat saat itu.

Ketika saya melangkah masuk ke wilayah Malaysia, yaitu Tebedu setelah melewati kantor Imigresyen Malaysia (logat melayu untuk pengucapan kata immigration). Masuk tanpa paspor ketika itu dibolehkan bagi pelajar Indonesia yang berseragam, waktu itu kami cuma ijin masuk melihat wilayah Malaysia, pemandangannya sangat jauh berbeda. Jalan raya yang bersih dan mulus, banyak pepohonan disekitar jalan raya, tidak ada sampah yang berserakan dijalanan, tidak ada pedagang kaki lima yang semrawut, parkir yang tampak rapi bahkan para calo valas tidak kelihatan di Wilayah Malaysia. Sungguh inilah yang membuat mataku berbinar, perbedaan pemandangan ini sungguh tragis. Akhirnya saat itu kusempatkan berfoto di wilayah Malaysia dengan rekan-rekanku di plang besar bertuliskan TEBEDU karena aku yakin suatu saat nanti kita mampu mengelola perbatasan Negara kita jauh lebih baik dari Malaysia.

Lebaran 2008 kemaren ketika pulang kampung ada hal yang membuatku terkejut, biasanya snack dan minuman kaleng berkarbonat saja yang kutemukan dirumah adalah produk SDN BHD (perusahaan-perusahaan Malaysia), tetapi ketika itu aku temukan tabung gas dirumah adalah punya PETRONAS. Lha, apa yang sebenarnya terjadi ??? 17 tahun hidup di pedalaman Kalimantan Barat aku merasakan sepertinya kami yang hidup jauh dari pulau jawa ini, bukan bangsa Indonesia. Kenapa ??? karena seperti di anak tirikan, pembangunan di pulau Jawa begitu pesat, tingkat kualitas pendidikan di Jawa jauh lebih baik dibandingkan ditempatku begitu yang kulihat di televisi waktu itu.

Untuk menonton channel televisi Indonesia saja kami harus membeli perangkat parabola lengkap dengan receivernya itupun kadang gambarnya belum tentu bagus sedangkan untuk menonton televisi Malaysia cuma butuh antenna setinggi 4-5 meter sudah bisa ditonton dengan kualitas gambar yang bagus tanpa perlu membeli perangkat parabola dan receiver yang waktu itu cukup mahal harganya.

Produk-produk makanan dan minuman Malaysia lebih mudah didapatkan dan harganya lebih murah dibandingkan dengan produk Indonesia. Begitu juga kasusnya kenapa dirumahku menggunakan gas dari PETRONAS karena gas dari PERTAMINA stock di kotaku habis dan yang adapun harganya mahal sekali, salahkah kami yang membeli produk Negara lain dan banyak diantara kami yang rasa Nasionalisme nya mulai meluntur ???

Walau sekarang sudah masa otonomi daerah tapi kondisi berubah maju dengan lambat, bahkan sudah jadi rahasia umum di Kalimantan Barat bahwa PLB Entikong adalah salah satu gerbang human trafficking atau perdagangan manusia. Penyelundupan-penyelundupan barang pun banyak sekali yang dilakukan oleh “preman” yang berseragam dan mereka juga sering melakukan pungutan liar (pungli) pada TKI illegal yang melintas atau orang-orang Malaysia yang masuk bahkan dari pungli itu mereka bisa mendapatkan 3 juta rupiah setiap orang dalam satu hari ketika lagi ramai, informasi ini kuketahui langsung dari temanku yang sering melakukan penyelundupan peralatan elektronik dari Malaysia yang harganya jauh lebih murah di bandingkan dengan harga pasar di Indonesia dan aparat yang bertugas dilapangan, chaos sekali kondisinya. Inilah kebiasaan yang mulai membudaya dan sudah jadi rahasia umum, tentunya praktek illegal seperti ini harus dihapuskan ! Kita memang masih payah mengelola wilayah perbatasan.

Dari berita yang kubaca, kondisi pulau Sebatik, propinsi Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Sabah Malaysia tidak jauh berbeda. Kondisi jalan di pulau ini berupa jalan yang tidak beraspal, jika hujan mengguyur maka akan susah melintasi jalanan daerah ini karena becek dan licin. Di Kotanya, kondisinya relatif lebih ramai, ada berbagai jenis kendaraan dan listrik, namun listrik yang ada di pulau ini sangat minim, sehingga sangat sulit memperoleh fasilitas listrik yang bisa digunakan untuk mendukung industri menengah apalagi untuk industri besar, tentunya ini salah satu penghambat kemajuan.

Dari pulau sebatik, jika kita memandang ke arah utara, maka akan terlihat dengan jelas kota Tawau Malaysia, jika melihat pemandangan kota Tawau dan kemudian membandingkan dengan kondisi Sebatik saat ini sungguh bagaikan bumi dan langit. kota Tawau begitu maju dan berkembang pesat secara ekonomi, sementara Sebatik, masih saja diam di tempat dan tidak beranjak. Inilah gambaran nyata dari kondisi daerah perbatasan di Negara kita, mungkin kondisi ini tidak jauh berbeda dengan perbatasan dengan Papua Nugini maupun Timor Leste. Banyak hal tentunya yang masih bisa kita lakukan untuk memperbaiki kondisi ini, karena wilayah perbatasan sangat rentan.

Menurut saya, pembangunan infrastruktur yang berkesinambungan dan peningkatan kualitas pendidikan harus jadi prioritas sehingga rasa nasionalisme yang luntur itu dapat terobati dengan kepedulian Negara yang tidak mendiskriminasikan daerah tertentu dalam pembangunan. Pemerintah daerah, pemerintah pusat, pihak swasta dan masyarakat setempat harus bekerja sama untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di perbatasan sehingga tidak terulang lagi kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan maupun Timor-timur, tentunya ini menjadi tugas rumah kita semua dan butuh kerja keras semua pihak untuk mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berdaulat.

Ya’Asurandi
Mahasiswa Fisika ITS

Berita Terkait