ITS News

Selasa, 03 September 2024
29 Maret 2009, 05:03

Bah…

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Stasiun televisi ramai-ramai menyiarkan video amatir. Rekaman itu mengingatkan saya pada video amatir Cut Putri ketika Tsunami Aceh. Luar biasa dahsyatnya aliran air itu. Kali ini, penduduk yang tinggal persis dibawah situ (danau) disiram 1,5 juta kubik air. Dengan postur 2-3 meter, Air Bah menghantam apapun tanpa pilih kasih.

Tepat habis shubuh, mereka didatangi suara gemuruh. Beruntung bagi mereka yang bisa bangun sholat shubuh di awal waktu dan selepas sholat tidak tidur lagi. Karena dalam sekejap semuanya runtuh. Tidak memberi kesempatan sedikitpun untuk melarikan diri. Kemungkinan hanya bisa siap-siap tahan nafas ketika air itu datang.

Akhirnya, mereka tidak perlu bingung-bingung untuk ”merayakan” earth hour di hari Sabtu kemarin. Jelas, listrik disana sudah putus semua. Terus, mereka akan tinggal dimanapun juga tidak ada yang tahu. Ratusan rumah luluh lantak. Bencana itu hanya menjadi kesulitan. Ada yang bilang ini ulah manusia. Ada juga yang bilang ini bencana alam. Kalau saya lebih sepakat opsi pertama.

Namanya Juga Orang Indonesia

Huh! dasar orang Indonesia, senang kalau melihat orang susah. Nggak mau rugi kalau ada kesempatan walau secuil. Sambil menyelam minum air. Sambil menolong sekaligus tebar pesona alias TP-TP. Tidak tanggung-tanggung, Wagub Banten langsung sindir para pelaku politisasi bencana. Ya…berprasangka baik saja, semoga mereka membantu dengan keikhlasan bukan karena bulan April.

Saya juga hanya lempar senyum pahit-pahit mengkudu, melihat flash news yang biasa berjalan di layar bawah televisi. Menteri PU panggil ahli dari Jepang untuk memperbaiki bendungan itu. Aduh, cuma masalah begini saja langsung merengek ke tetangga. “Pak Menteri…memang orang Indonesia tidak ada yang bisa membuat tanggul ta?”.

Ya, it’s okay lah kalau kita mau membangun bendungan sebesar bendungan Dan Jiang Kou. Bendungan yang menahan sungai Yangtse, China, dengan kapasitas tampung 39,3 Milyar meter kubik. Kalau ukuran situ (daya tampung 21 juta kubik air),  i think lulusan ITS juga bisa mengerjakannya bahkan sambil tutup mata.

Terus, itu bendungan kan punya meneer-meneer Belanda. Kalau Bung Syahrir masih hidup, mungkin beliau akan menangis. Bangsa yang didirikannya ternyata masih cinta dan mengandalkan produk peninggalan kolonialisme (Belanda). Beliau memang terkenal anti Belanda. Jangankan produk Belanda, Bahasa Belanda pun ia segan memakainya walaupun ia sangat fasih.

Kembali ke masalah bendungan kuno ini. Meskipun umur efektif  bendungan bisa sampai 100 tahun, tapi jangan juga dibiarkan hancur dengan sendirinya tanpa perawatan. Walikotanya sendiri mengakui kalau Situ Gintung tak pernah direnovasi sejak berdiri tahun 1933 (Poskota). Konstruksi kan juga capek kalau menahan beban terus menerus. Perlu refreshing. Warga situ sudah tahu hal itu. Tapi pemerintah daerahnya yang tidak tanggap.

Padahal sebenarnya ada Komisi Keamanan Bendungan sesuai Kepmen PU no. 98 tahun 1993.  Mereka berhak melakukan pengawasan dari awal rencana teknis, pelaksanaan konstruksi, sampai pemeliharaan. Seharusnya ada pemeriksaan berkala. Tapi saya tidak tahu, lembaga ini masih ada atau tidak.

Menurut saya, ini bukan hanya masalah teknis. Bahkan tata ruang yang sifatnya agak sosio-ekonomi juga diperhatikan. Dengan dibangunnya pusat-pusat rekreasi di pinggiran situ, rentan menyebabkan erosi atau bisa jadi pergeseran tanah. Hutan-hutan penyangga juga dibabat untuk memuhi kebutuhan permukiman. Seharusnya badan perencana pembangunan daerah bisa memperhitungkan dan memberi ketegasan.

Bendungan termasuk heavy construction. Resiko bencananya juga besar. Biasanya stakeholder tidak mau susah-susah berpikir. Hasrat membangun tidak diimbangi dengan memelihara apa yang telah dibangun. Alasannya, biayanya tinggi sekaligus prosesnya juga lama.

Musibah Air Bah yang Membahayakan…
Bahaya, bah ditambah aya yang dalam bahasa sunda berarti ada. Berarti kalau ada Bah, sangatlah berbahaya. Jadi ingat sahabat saya yang asalnya dari Medan. Kalau sedang geram biasanya berteriak,“Macam mana pula ini bah!”. Yah…Si Bah lagi yang disalahkan. Bah..bah… kamu itu memang banyak menyusahkan orang yah.

Dasar orang Indonesia…Saya sendiri cuma bisa merengek, mengejek, menggurui dan tidak solutif blas!. Maafkan saya karena saya memang bukan orang sipil. Yah…tapi minimal saya bisa menyenggol sedikit nurani pembaca.

Oh iya, sebelumnya saya iseng-iseng googling dengan kata Situ Gintung. Penemuan saya adalah sebuah syair di www.situgintung.com.

”Ketika kepenatan metropolitan semakin sesak. Ketika tiada lagi tempat menghirup udara pagi. Disini, di Pulau Situ Gintung. Kami memberikan kebebasan kepada anda untuk menghirup segarnya udara kami. Di tengah-tengah rimbunnya hutan kota yang dikelilingi oleh riak air danau. Disini, tempat burung-burung bernyanyi riang dan harum rumput masih tercium,”

Sayangnya, situs ini belum di-update

Akhirnya saya merenung. Kematian itu tidak pernah ada yang menduga. Apalagi masalah musibah. Lagi…lagi Si Bah. Sadarlah, manusia hanya dikaruniai Tuhan sebuah otak yang penuh perkiraan dan pendekatan. Belum ada rumus pasti tentang musibah, bencana alam, atau kecelakaan. Karena yang pasti-pasti itu milik Tuhan dan selamanya akan menjadi rahasia-Nya.

Tiga menit air bah, 100 orang di Situ Gintung. Satu menit gempa, 5000 orang di Yogya. Sepuluh menit tsunami, 200.000 orang di Aceh. Coba dibuat grafik kemudian dicari regresinya, optimasinya atau apalah. Paling-paling hasil-hasil itu hanya pendekatan…


Disarikan dari berbagai sumber

Terutama: paper ’Kritisnya Kondisi Bendungan di Indonesia’ oleh Ir M Donny Azdan, MA, MS, PhD dan Chandra R Samekto, MSc

B. Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Bah…