ITS News

Jumat, 04 Oktober 2024
02 April 2009, 10:04

Kendala Stimulus Infrastruktur Jasa Konstruksi: Miskin Arsitek yang Bersertifikasi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Meski demikian, ada beberapa hal yang perlu dicermati dalam implementasi penyerapan anggaran dan kelanjutan efek stimulus. Dari dana awal Rp10,2 triliun yang menjadi Rp12,2 triliun, alokasi bidang PU dan perhubungan menduduki hampir 50% dari total anggaran stimulus infrastruktur. Ada pun anggaran untuk peningkatan pelatihan hanya 2,5% (sekitar Rp 300 miliar).

Pelatihan dalam hal itu dimaksudkan agar masyarakat yang semula tidak punya atau kurang memiliki keterampilan pertukangan di bidang konstruksi bisa bekerja di sektor konstruksi dengan baik.

Penguatan
Penguatan SDM di bidang industri konstruksi yang berhubungan dengan sertifikasi kompetensi belum teranggarkan. Sementara itu, anggaran yang ada berhubungan dengan pelatihan skill kompetensi di bidang industri konstruksi bagi masyarakat yang akan bekerja menyuplai proyek konstruksi infrastruktur.

Penguatan SDM konstruksi akan lebih ideal bila mengombinasikan antara perluasan lapangan kerja dan sertifikasi keterampilan. Perluasan kesempatan kerja sebagai dampak pragmatis dari peningkatan demand memang perlu bagi kondisi krisis yang stimulusnya diperkirakan juga berlangsung hingga 2010 ke depan.

Ada pun pentingnya sertifikasi bahwa sertifikasi pengusaha pelaksana jasa konstruksi merupakan syarat mutlak untuk menjamin mutu dan keamanan pengerjaan proyek di lapangan. Dengan kata lain, sistem sertifikasi akan lebih menjamin stimulus infrastuktur tidak bakal mengakibatkan dampak negatif seperti rendahnya kualitas infrastruktur yang akan membahayakan keamanan. Misalnya, rusaknya jalan dan runtuhnya jembatan sebelum dimanfaatkan.

UU No 18/1999 tentang Jasa Konstruksi telah mengamanatkan perlunya kompetensi tenaga ahli dalam pengerjaan proyek konstruksi. Meskipun, kenyataannya baru pada 2007 diterapkan implementasi bahwa setiap pekerjaan konstruksi harus ditangani tenaga yang bersertifikat.

Ketatnya perebutan ‘kue’ dan lemahnya kompetensi serta daya saing ”calon kontraktor” stimulus infrastruktur 2009 ini bisa digambarkan dari kondisi 2008 berikut. Pada 2008, besar belanja di jasa konstruksi berkisar Rp 350 triliun. Itu terbagi atas belanja di Departemen PU untuk prasarana dan lainnya sekitar Rp 95 triliun, ditambah dengan belanja dari departemen lain yang totalnya Rp135 triliun (38,5%).

Ada pun sisanya, 61,5% atau sekitar Rp 215 triliun, adalah belanja jasa konstruksi swasta untuk membangun perkantoran, mal, apartemen, properti, dll. Jasa konstruksi swasta tidak perlu patuh pada Keppres 80/2003 sebagaimana jasa konstruksi pemerintah. Namun, persyaratan/tuntutan kompetensi dan profesionalitasnya jauh lebih berat.

Di antara puluhan ribu perusahaan jasa konstruksi di Indonesia yang mampu ”masuk” ikut melaksanakan pekerjaan dipasar swasta itu, hanya puluhan yang berhasil. Dengan demikian, puluhan ribu sisanya harus berjuang setengah mati ”merebut” jumlah belanja konstruksi yang sedikit. Semua instansi pemerintah yang membelanjakan APBN/APBD/loan diharuskan untuk membuka peluang kerja kepada mereka sebagai bentuk ketaatan kepada Keppres 80/2003.

Ada pun data profesional konstruksi bersertifikat yang tercatat pada HAKI (Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia) menunjukkan hal sebagai berikut. Di antara 3586 orang anggota, hanya 20,65% yang bersertifikat dengan kualifikasi sebagai berikut: 11,21% profesional muda, 6,44% profesional madya, dan 3% profesional utama (HAKI, Jan 2007).

Data dari IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) yang mengeluarkan sertifikasi bagi keahlian tenaga ahli arsitek sebagai bagian komplemen pekerjaan infrastruktur menunjukkan hanya 10% dari 10.000 anggotanya bersertifikat. Itu pun dengan komposisi jumlah kualifikasi pemegang sertifikat dari kelas pratama (menjalani profesi setelah 4 tahun lulus kuliah), kelas madya (lebih dari 4 tahun), dan kelas utama (tingkat keahlian diakui setara arsitek asing) yang kurang proporsional. Untuk akhir 2008/awal 2009 ini diperkirakan kenaikan tenaga ahli bersertifikat tidak lebih dari 30% dari kondisi eksisting 2007.

Rendahnya kesadaran tenaga ahli dalam melakukan sertifikasi tersebut bisa jadi dipicu oleh aturan kualifikasi kontraktor pelaksana proyek yang lebih berbasis pada pengalaman perusahaan dalam melaksanakan proyek, bukan pada pengalaman ”berbasis aktivitas” tenaga ahlinya dalam melaksanakan proyek.

Akibatnya, nama satu orang tenaga ahli bersertifikat bisa dicantumkan atau dipinjam banyak kontraktor dalam durasi waktu pekerjaan yang relatif bersamaan. Dengan menggunakan pola itu, tim yang benar-benar mengerjakan proyek adalah tenaga ahli dengan kualifikasi yang berbeda.

Solusi Percepatan

Stimulus infrastruktur 2009 ini merupakan proyek percepatan dengan ”akselerasi” tinggi. Karena itu, agar hakikat stimulus yang sebenarnya menjaga perputaran uang dan daya beli secara ”merata” pada entitas di dalam negeri, maka dibutuhkan perencanaan keseluruhan, baik pada input dan proses agar output yang diharapkan menjadi optimal.

Dalam perencanaan input, kebutuhan belanja bahan infrastruktur benar-benar berdasarkan asas dahulukan industri komponen infrastruktur dalam negeri, termasuk UKM yang sudah siap.

Dalam perencanaan proses perlu diselaraskan antartarget penyelesaian dengan kontrol kualitas melalui perencanaan SDM tenaga ahli bersertifikat hingga penguatan skill pertukangan. Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) nasional maupun daerah, asosiasi profesi yang terakreditasi, dan Badan Sertifikasi (BSK) Institusi Pendidikan dan Pelatihan sebagai pihak yang memberikan sertifikat dan pelatihan bisa segera bekerja sama dengan seluruh perguruan tinggi dan politeknik yang kapabel untuk mempercepat realisasi ”keselarasan” tersebut. Termasuk juga mengizinkan tenaga pengajar perguruan tinggi yang biasa mengajarkan konsep Keppres 80/2003 untuk disertifikasi.

Ketimpangan perebutan ”kue” dan daya saing SDM itu telah lama terjadi. Jadi, harus segera ada penyelesaiannya. Sebab, jumlah tenaga profesional bersertifikat yang amat sedikit tak mungkin menyerap pembelanjaan konstruksi besar yang ada sekarang. Terlebih saat dilakukan stimulus.

*. Penulis adalah Priyo Suprobo , guru besar teknik sipil dan rektor ITS, Surabaya. Dewan Pertimbangan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Daerah (LPJKD) Provinsi Jatim

Link artikel di Jawapos Online : http://www.jawapos.com

Berita Terkait