ITS News

Kamis, 14 November 2024
20 April 2009, 21:04

Perjuangan Kartini Belum Usai Kawan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Sudah menjadi kebiasaan tahunan, bahwasanya tanggal 21 April diperingati sebagai hari Kartini. Dalam satu hari tersebut, banyak orang berlomba-lomba menyulap diri untuk menirukan salah satu pahlawan perempuan dari Jepara tersebut. Hampir semua perempuan yang turut merayakannya menghias diri dengan dandanan khas Jawa, menirukan dandanan sesosok Kartini.

Tak hanya itu saja, puluhan sajian entertainment pun langsung menyuguhkan refleksi balik perjuangan Puteri Keraton asal Jawa Tengah tersebut. Alasan klise yang selalu menjadi senjata pamungkas, yakni menghargai perjuangan sosok Kartini. Padahal bukan hal itu yang menjadi tujuan utama Kartini.

Sejenak mereview perjuangan yang telah dilakukan puteri pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dengan M.A. Ngasirah. Perempuan yang memiliki nama lengkap Raden Ayu Kartini ini menginginkan bahwa perempuan memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Karena pada jamannya, perempuan sering sekali terbelakang. Perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah, terutama dalam pendidikan. Bahkan seorang perempuan belum diijinkan menentukan jodoh atau suami sendirinya.

Oleh karena itu, perempuan kelahiran 1879 ini terus memperjuangkan hak-hak kaumnya lewat tulisan hingga mendirikan sekolah khusus perempuan pribumi. Dan kini tinggal sejarah, Kartini telah pergi meninggal kaumnya yang masih membutuhkan perjuangan untuk terlepas dari belenggu diskriminasi dan kebodohan.

Memang secara kasat mata, perjuangan yang telah dilakukan oleh RA Kartini telah dirasakan banyak perempuan, persamaan hak tersebut telah dirasakan banyak perempuan di kota-kota terbesar. Mereka telah mendapatkan haknya dalam pendidikan hingga kebebasannya untuk menentukan hidupnya sendiri. Perempuan-perempuan yang tinggal dikota telah mendapatkan posisi yang sama dengan kaum Adam. Hal ini dapat dilihat dari kemajemukan profesi yang telah ditekuni kaum Hawa di kota-kota. Bahkan sudah tidak menjadi sesuatu yang tabu lagi, jika suatu perusahaan dipimpin oleh seorang perempuan atau bahkan sebuah kendaran bus mikrolet disopiri oleh seorang perempuan.

Tapi hal itu akan menjadi berkebalikan jika melihat kondisi perempuan yang kini masih berada di daerah terpencil. Di salah satu tayangan televisi, di salah satu kota, menayangkan investigasi mengenai perempuan yang kerap diperdagangkan hanya untuk dijadikan pemuas nafsu birahi semata. Bukan karena kemauan sendiri, melainkan karena paksaan dari keluarga yang telah terdesak oleh ekonomi. Tak hanya itu saja, di luar sana, masih banyak perempuan yang kerap mendapatkan perlakuan yang kurang etis, baik dari pihak suami ataupun keluarga. Dan itu selalu menjadi konsumsi media untuk dipublish. Dan masih ada segudang bentuk diskriminasi lain yang dirasakan perempuan di luar sana.

Oleh karena itu, walaupun jaman telah terganti, tentunya negeri ini membutuhkan kartini-kartini lain yang dapat membantu kaumnya keluar dari jeratan kebodohan serta diskriminasi sosial. Tak perlu tindakan besar untuk menyulap keadaan menjadi lebih baik cukup berawal dari hal kecil.

Salah satunya, yang dilakukan oleh salah satu guru di daerah Keputih. Memang usia beliau tak lagi muda, tetapi beliau selalu saja menyempatkan diri untuk membina perempuan-perempuan yang berada di daerah TPA Keputih. Mulai dari belajar 3M (Membaca, Menulis serta Menghitung), beliau juga menyempatkan mengikuti beberapa seminar tentang perempuan kemuadian ditransfer ulang kepada murid binaannya. Nalurinya sebagai seorang guru tergerak. Hampir serupa dengan Kartini dimasa silam, alasan beliau mengajar karena tidak menginginkan di kaumnya masih berada dalam mata rantai kebodohan.

Sebuah tindakan kecil yang patut dijadikan suri teladan oleh perempuan lain sebagai calon-calon kartini selanjutnya. Hingga tak perlu lagi, ada cerita luka sembilu yang dirasakan perempuan diluar sana karena tertindas. Tentunya kita sebagai perempuan menginginkan hal yang sama, tidak menginginkan Kartini menangis, menagisi kaumnya yang masih berada dalam tekanan diskriminasi.

Hingga 21 April, tak hanya sebatas ceremony untuk mengenang jasa Kartini dalam membebaskan hak perempuan. Melainkan apel tahunan, yang dapat dijadikan saksi untuk hal apa yang telah kita lakukan untuk perempuan, tanpa perlu mengesampaingkan fitrah kita sebagai perempuan tentunya.

Siti Makktur Rohmah
Mahasiswa Fisika

Berita Terkait