ITS News

Selasa, 03 September 2024
27 April 2009, 12:04

Budaya Aji Mumpung di Lalu Lintas

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Salah satu hal yang mengusik pikiran saya adalah ketika saya sedang melaju di sebuah jalan, hampir melewati perempatan dengan lampu yang masih menyala hijau. Dari pengalaman-pengalaman saya sebelumnya yang acap kali melewati jalan tersebut, kecepatan motor saya tidak akan mampu melewati perempatan tersebut sebelum lampunya berubah warna.

Benar saja. Kurang dari lima meter lampu lalu lintas berubah berwarna kuning. Saya pun mengerem dan berhenti tepat ketika lampu berubah menjadi merah. Namun di kiri kanan saya menderu-deru kendaraan yang melaju kencang, memanfaatkan waktu sebelum pengemudi dari sisi yang berlawanan mulai melaju. Jumlahnya tidak satu. Banyak. Bahkan ada di antaranya yang terang-terangan ikut nunut melaju walaupun lampu sudah berganti merah. Saya catat dalam hati; mungkin inilah yang disebut budaya aji mumpung.

Saya yakin orang-orang yang telah membuat sistem lampu lalu lintas telah mempelajari betul maksud dan tujuan dibuatnya lampu lalu lintas. Mengesampingkan fakta bahwa lampu lalu lintas bertujuan untuk menertibkan para pengendara, saya ingin kita melihat lebih dulu mengenai ketiga warna yang dipergunakan sebagai lampu lalu lintas.

Pertama merah.  Merah dalam lalu lintas didefinisikan bersama sebagai tanda bahaya, sebuah simbol larangan. Warnanya yang manyala menyiratkan bahwa ya, saat itu kita harus berhenti. Tidak boleh tidak. Saya rasa mengenai ini sudah dipahami betul oleh para pengemudi.

Berikutnya ada warna hijau. Seperti lingkaran hijau dalam kemasan obat yang menandakan bahwa obat tersebut aman dipergunakan bahkan tanpa resep dokter, hijau pada lampu lalu lintas juga menyatakan bahwa saat itu kita bebas untuk lewat. Kita bebas untuk menyeberangi jalan yang sebelumnya ditandai dilarang dilewati oleh si lampu merah. Mengenai hal inipun saya rasa sudah dipahami di luar kepala oleh kita yang bahkan selalu menunggu-nunggu kapan lampu merah berganti warna menjadi hijau.

Diantara keduanya kita punya lampu kuning. Lampu kuning menyala tepat setelah lampu warna hijau. Dalam jeda sekitar tiga detikan itu lampu kuning menyala sebelum tergantikan oleh lampu merah. Kemudian lampu merah menyala lalu berikutnya berganti lampu warna hijau. Lampu kuning adalah transisi antara menyalanya lampu hijau dengan lampu merah. Tetapi tidak pernah menjadi jeda antara menyalanya lampu merah ke hijau.

Filosofi Lampu Lalu Lintas
Mungkin kita di sini termasuk saya pernah mengalami hal di bawah ini. Ketika lampu berganti menyala kuning sedangkan perempatan belum terlewati muncul dalam pikiran kita pemikiran serupa ini ’mumpung masih kuning belum merah, jalan aja’. Pada sebagian dari kita pemikiran itu hanya berhenti di situ saja. Namun sebagian besar lain akan benar-benar mengaplikasikannya.  

Saya yakin semua pengguna lalu lintas di manapun sebenarnya paham, fugsi lampu kuning adalah persiapan. Mengapa warnanya kuning, cerah tapi tidak mencolok seperti merah, karena ia mengirimkan pesan serupa waspada. Serupa siap-siap. Belum awas seperti warna merah. Mengapa ia menyala setelah lampu warna hijau? Ia menyampaikan pesan bahwa sekian detik kemudian lampu akan berganti menjadi merah, yang tandanya kita para pengemudi yang sedang mengemudi harap bersiap-siap menghentikan kendaraan karena lampu akan segera menyala merah.

Inilah what to say dari lampu kuning. Inilah alasan mengapa lampu kuning menyala sesudah lampu hijau bukannya sesudah lampu merah, karena pengemudi tidak membutuhkan sebuah peringatan untuk melaju; kita pasti sudah cukup sering menoleh-noleh ke arah lampu merah berharap kapan ia berganti hijau. Tidak demikian dengan lampu hijau yang durasinya cukup singkat sehingga diperlukan sebuah tanda peringatan bahwa nyala lampunya akan segera berganti.

Sayangnya pesan nilah yang rupanya sering sengaja disalahartikan. Kita seringkali bersikap mumpung masih kuning ayo jalan. Akibatnya lampu kuning menyala bukannya memperlambat laju kendaraan yang ada kendaraan makin dipacu kencang. Padahal lampu kuning dibuat agar kita tidak mendadak menghentikan kendaraan karena tiadanya peringatan. Padahal lampu kuning dibuat sebagai toleransi waktu bagi pengemudi yang kadung menyeberang saat lampu menyala hijau di detik-detik terakhir. Padahal lampu kuning dibuat untuk menghindari tabrakan.

Bayangkan saja kalau setelah lampu hijau mendadak lampu merah menyala. Betapa carut marutnya pengendara yang masih menyeberang beradu dengan pengemudi arah lain yang keburu ingin melaju. Betapa kagetnya kita, betapa dibutuhkannya sebuah sistem untuk mengatasi hal itu! Sayangnya justru hal ini yang terjadi sekarang. Berawal hanya dari sebuah pemikiran mumpung, yang terjadi berikutnya adalah kesemrawutan lalu lintas, bahkan tak jarang kecelakaan, yang tentu saja bukan tujuan dari lampu lalu lintas tiga warna itu diciptakan!


Kembali Pada Sikap Mental

Karena aji mumpung ini telah menjadi semacam budaya maka mungkin agak susah dihilangkan. Tapi mari kita bersama-sama mengambil satu langkah kecil untuk memulainya. Jangan sampai jargon peraturan dibuat untuk dilanggar benar-benar kita jadikan acuan. Ini baru contoh kecil, baru bicara soal pelanggaran kecil di jalan raya. Sebenarnya kalau kita mau, tidak berat bukan menunggu satu setengah menit lagi untuk menegakkan peraturan negara kita sendiri?  Apakah kita menunggu terjadi kecelakaan fatal karena menyeberang di waktu yang tidak tepat agar insaf? Kedengarannya memang sepele tapi kalau untuk hal yang sepele saja kita belum bisa bagaimana menghadapi godaan yang lebih besar?

Lebih jauh mengenai ajian mumpung yang membudaya ini bisa kita lihat dari pejabat yang korupsi. Mereka semua menerapkan budaya mumpung. Mumpung ada kesempatan, mumpung masih jadi pejabat, mari mengeruk kekayaan. Budaya mumpung yang mengakar nilah yang membuat kasus korupsi di Indonesa masih menjadi salah satu yang tertinggi di dunia. Karena semuanya berangkat dari sikap mental yang salah, sikap serba mumpung dalam artian negatif, yang membawa kita belum bisa menjadi bangsa yang besar.

Jadi, yuk, sama-sama mulai taat lalu lintas. Kita kurangi mumpung-mumpung yang tidak bermanfaat dari hal yang paling remeh. Semua untuk diri kita sendiri, pada akhirnya!

Tyzha Inandia
Mahasiswi Desain Komunikasi Visual
Jurusan Desain Produk Industri ITS

Berita Terkait