ITS News

Selasa, 03 September 2024
20 Mei 2009, 09:05

Menanti RI 1 Lulusan ITS

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

"Memilihmu perlu persiapan dan mental, bagai memilih masuk ke sekolah unggulan". Itu adalah sepenggal lagu Memilihmu dari Aditya Sofyan. Sebuah lagu yang bisa mengambarkan bagaimana situasi dan gejolak dunia politik negeri ini. Di mana para pemain ‘panggung’ politik mulai saling sikut dalam mengejar ambisi sebagai orang yang berkuasa di negeri ini. Disadari atau tidak inilah realita dari dunia politik kita. Tak ada kawan abadi di sini. Setiap pribadi dan kelompok elite politik sibuk memilih kawan untuk koalisi. Perhitungan cermat sangat mereka perlukan dalam memilih, agar tidak kalah dalam kompetisi.

Koalisi menjadi strategi utama dalam pilpres kali ini. hal ini disebabkan aturan pengajuan capres hanya boleh dilakukan oleh partai atau gabungan partai yang memperoleh 25% suara nasional atau 20% kursi parlemen. Sehingga mau tidak mau koalisi menjadi sebuah pilihan untuk melanggengkan kekuasaan. Tak heran sempat terjadi kisruh di internal partai akibat perbedaan pendapat di kalangan anggotanya tentang arah koalisi. Saya mencatat ada sekitar 5 partai besar yang sempat limbung akibat hal ini. Namun semakin dekatnya pilpres membuat arah koalisi setiap partai semakin jelas

Seperti yang kita lihat saat ini, 3 orang pasangan capres dan cawapres telah siap bertarung dalam pilpres kali ini untuk memperbutkan kursi RI 1 dan RI 2. masing-masing adalah Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dengan jargon "Lanjukan!", kemudian Megawati dengan Prabowo mengusung jargon "Wong Cilik". Serta tak ketinggalan pasangan Jusuf Kalla bersama Wiranto lewat jargon "Lebih Cepat Lebih Baik". Ketiga-tiganya sama-sama menawarkan sebuah perubahan yang lebih baik untuk Indonesia lewat ‘kampanye’ yang mereka lakukan melalui komentar-komentar, baik di media massa maupun cetak. Tapi terkadang ‘kampanye’ itu tak mereka lakukan dengan jiwa sportifitas layaknya sebuah kompetisi. Itu dapat kita lihat lewat pernyataan saling sindir dan mejelek-jelekkan. Hal seperti ini tentunya bukan sebuah pelajaran politik yang baik bagi masyarakat luas.

Jika kita telisik lebih jauh, diantara 3 capres-cawapres yang bertarung pada pilpres kali ini tidak ada yang merupakan alumnus ITS. Ini tentu saja sangat memiriskan, mengingat ITS merupakan salah satu kampus terbaik di Indonesia, harusnya mampu memasok kader-kader yang mampu menjadi pemimpin bangsa. Tetapi mengapa dari dulu hingga sekarang civitas akademika ITS, baik yang telah menjadi alumni maupun aktif sebagai warga ITS hanya bisa menjadi penonton dan menjadi seorang rakyat yang baik. Apakah kita tidak memilki kapasitas dan kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin bangsa?ataukah memang kita sudah puas dapat menjadi seorang pemimpin di daerah sendiri? Kalau memang itu yang terjadi harusnya kita malu, karena tidak mampu memberikan kontribusi yang lebih besar lagi untuk bangsa.

Saya mencatat bahwa tidak ada alumnus dari ITS yang menjadi presiden, bahkan wakil presiden pun tidak ada. Paling banter kontribusi kita untuk bangsa hanyalah menjadi seorang menteri, seperti yang saat ini tengah di sandang oleh bapak M.Nuh. Ini sangat ironis bila kita melihat alumnus dari Univesitas Hasanudin yang notabene masih di bawah kita dalah hal akreditasi telah melahirkan sosok wakil presiden yang ada pada sosok bapak Jusuf Kalla. Hal seperti ini sempat pula menjadi bahan guyonan, seperti yang saya baca dari buku Ir.soegiono. ketika itu rektor dari ITB bercanda dengan Ir. Sugiono. ”Tuh…alumni IPB jadi presiden (SBY, Red).” Lalu ia balas dengan canda. ”Tuh…DO-nya ITS aja bisa jadi presiden (SBY pernah kuliah di Teknik Mesin ITS, Red),” ujar Ir. Soegiono.

Lalu apa salah kita sehingga tidak mampu melahirkan seorang yang mempunyai kapasitas untuk menjadi seorang RI 1 atau RI 2. Saya berpendapat masalah paradigma kehidupan setelah lulus kuliah yang membuat kita kalah. Pengalaman dan soft skill yang kita miliki memang masih kalah jika dibandingkan ITB atau UI yang telah melahirkan banyak pemimpin bangsa. Kelemahan ini perlu kita hapus secara perlahan, karena menjadi pemimpin berarti harus mempunyai kemampuan untuk bertindak tegas dan tanggap dalam menghadapi berbagai situasi. Selain itu sikap untuk tidak cepat berpuas diri juga sangat diperlukan untuk memacu kita agar terus maju. Dan terus berjuang untuk kemajuan bangsa.

Pemira yang saat ini tengah menjadi topik pembicaraan hangat di lingkungan ITS harusnya dapat menjadi sebuah momentum untuk berusaha menciptakan sosok-sosok yang kelak menjadi pemimpin bangsa. Empat orang capres BEM yang maju dalam pemira kali ini sama-sama memiliki kapasitas dan kualitas dalam menjadi seorang pemimpin ITS dalam setahun ke depan. Namun sayangnya isu yang diangkat dalam pemira kali ini masih tetap sama dengan tahun-tahun sebelumnya, yaitu tentang sinegitas dan integralistik ITS, apakah ini menandakan kinerja BEM beberapa tahun belakangan gagal, sehingga para capres ini tetap mengusung tema dan hal yang sama dalam setiap kampanyenya.

Meskipun begitu saat ini yang paling penting adalah peran aktif dari civitas akademika ITS untuk ikut mensukseskan pesta demokrasi ITS ini. karena dengan ikut memilih pada pemira kali ini, kita juga ikut andil dalam membentuk seorang pemimpin yang harapan kecilnya bisa memajukan ITS dan harapan besarnya kelak dapat menjadi pemimpin bangsa. Syukur-syukur bisa menjadi seorang presiden.

Jika itu tekabul penantian kita akan seorang pemimpin bangsa dari kampus pejuangan tidak akan lama. Selain itu hal ini juga bisa menjadi tonggak keberhasilan kita dalam menelurkan seorang kader-kader bangsa yang hebat. Sehingga apa yang diamanatkan oleh pendiri ITS agar kita mewarisi semangat para pahlawan 10 Nopember yang gigih dalam mencintai dan memajukan tanah airnya dapat terwujud. Semoga saja penantian itu tidak lama. Jika tidak sekarang, kapan lagi. Vivat!.

Junaidi Abdillah
Mahasiswa D3 Teknik Sipil ITS

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Menanti RI 1 Lulusan ITS