ITS News

Kamis, 14 November 2024
18 Juli 2009, 14:07

Bangku Kosong VS Status Agraris Indonesia

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Menanggapi fenomena SNMPTN tahun ini, sempat terbesit satu pertanyaan di benak saya, "Akankah ribuan bangku di PTN kosong lagi?" Khususnya untuk program studi Pertanian. Sebagaimana berita yang saya kutip dari kompas tahun lalu.

"Seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri menyisakan 2.894 kursi kosong pada program studi Pertanian dan Peternakan di 47 Perguruan Tinggi Negeri. Secara keseluruhan, SNMPTN menyisakan 9.019 kursi kosong di 47 PTN," (kompas.com,31 Juli 2008)

Kekosongan itu merata di hampir semua perguruan tinggi yang membuka program studi Pertanian. Bahkan, terjadi kekosongan kursi hingga 50 persen dari daya tampung program studi. Ironis.

Jujur, saya sempat tergelitik dengan berita tersebut. Bagaimana tidak, sejak sekolah madrasah tingkat dasar saya diajarkan bahwa Indonesia adalah negara agraris. Saya rasa karena memang mayoritas penduduk Indonesia adalah petani. Sebagian besar lahan pun dijadikan untuk pertanian atau perkebunan.

Fakta itu sungguh menyedihkan bila mengingat Indonesia selalu disebut negara agraris. Apalagi Indonesia pernah mendapat gelar sebagai negara swasembada pangan. Menurunnya minat generasi muda memilih bidang pertanian di jenjang pendidikan tinggi harus dipandang sebagai persoalan yang memprihatinkan bangsa. Apalagi persoalan krisis pangan menjadi perhatian serius secara global.

Seperti yang kita ketahui, kini Indonesia tidak lagi mampu berswasembada beras. Walaupun ada yang bilang kita sudah berswasembada. Ya, berswasembada dibantu dengan beras impor. Petani pun merana karena pemerintah lebih memilih impor karena harga yang lebih murah. Harga kebutuhan pokok memang sudah dipimpin negara maju. Ketika harga-harga dunia mulai merangkak naik, Indonesia pun tak mampu menahan kenaikan harga di dalam negri. Selain itu, kelaparan dan kekurangan gizi juga semakin merajalela di negeri yang subur ini.

Melihat fakta yang begitu mencekik tersebut, barangkali kurang tepat menyebut Indonesia sebagai negara agraris sebagaimana yang diajarkan guru SD kita. Saya lebih suka menyebutnya sebagai mantan negara agraris.

Terlepas dari itu, saya yakin bangsa ini masih mampu untuk berbenah. Memperbaiki keadaan ke arah yang lebih baik. Karena tidak ada kata terlambat  untuk melakukannya. Kalau di masa lalu negara kita bisa menyandang  gelar swasembada pangan, mengapa sekarang tidak?

Hanif Azhar
Mahasiswa Desain Produk Industri ITS

 

Berita Terkait