ITS News

Selasa, 03 September 2024
19 Agustus 2009, 21:08

Segitiga Rengasdengklok, Revolusi dan Ramadhan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

”Sekarang Bung, Sekarang! Malam ini juga kita kobarkan revolusi!” Kata Chaerul Saleh, tokoh kelompok Ika Daigaku (sekolah kedokteran tinggi), sambil meyakinkan Bung Karno bahwa kondisi Jakarta sudah mencekam. Kelompok pemuda pimpinan Sukarni dan Wikana (Kaigun/Angkatan Laut) pun ikut berapi-api.

”Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami, ayo segera rebut kekuasaan! Jika Bung tidak mengeluarkan pengumuman malam ini juga, maka akan ada pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari!” gertak Wikana, Saleh, Sukarni dan beberapa pemuda lainnya.

Mendengar ancaman ini, Bung Karno pun naik pitam. Ia berdiri menuju Wikana sambil memuntahkan kata-kata. ”Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potong leherku malam ini juga!, tidak usah menunggu esok hari!” tegasnya sambil mengacung-acungkan tangannya dihadapan para pemuda.

Kewibawaan Soekarno membuat para pemuda ”menyerah”. Akhirnya, pukul 23.30 para pemuda bubar dari rumah Bung Karno dengan perasaan kecewa. Namun mereka bertekad untuk terus mendesak kemerdekaan kepada Dwi Tunggal.

Semua berawal dari Rengasdengklok
Kelompok Menteng 31 pimpinan Chaerul Saleh dan Sukarni membuktikan janjinya, tepat setelah sahur, Bung Karno dan Bung Hatta diculik dari rumahnya masing-masing untuk dibawa ke Rengasdengklok. Rengasdengklok sendiri cukup strategis dan aman karena Daidanco PETA Jakarta dan Purwakarta kuat dalam penjagaan militer. Kelak salah satu Daidanco, Kasman Singodimejo, itu jadi politisi disegani (bahkan jadi musuh politis) di masa Soekarno,. Ia yang menjamin keselamatan Dwi Tunggal.

Bung Karno dalam wawancaranya dengan Cindy Adams mengaku sangat kecewa dengan aksi penculikan itu. Ketika itu para pemuda membawanya bersama Fatmawati dan Guntur (baru berusia satu tahun) dengan maksud ”mengamankan” Dwi Tunggal. Tapi Soekarno memang sempat berfikir untuk mendeklarasikan kemerdekaan saat sekutu datang membersihkan Jepang. Bisa jadi, tanpa Rengasdengklok tak ada yang namanya tujuh belasan.

Suasana rumah panggung di siang hari itu pun semakin mencekam. Sukarni kembali mendesak, ”Revolusi berada di tangan kami sekarang, dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu…”

”Lalu apa?!!” tantang Bung Karno sambil beranjak dari kursinya dengan kemarahan yang menyala-nyala. Para pemuda kaget, tidak menyangka dengan keteguhan sikap dari Bung Karno. Mereka jadi berfikir rendah,”Jangankan sama pemuda, sama bedil pun Soekarno tak gentar,”. Tapi tak percuma, desakan para pemuda otomatis sudah masuk ke alur berfikir Soekarno.

Ramadhan bulan keberkahan bangsa Indonesia

Suasana kembali tenang, setelah Soekarno duduk. Dengan suara rendah, ia kembali berbicara. Sepertinya bulan Ramadhan yang penuh berkah mengajak golongan tua dan muda untuk berpikir jernih tentang kemerdekaan. ”Yang paling penting dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan untuk dijalankan tanggal 17,” ujar Bung Karno dengan suara lirih.

”Lalu kenapa tanggal 17, kenapa tidak sekarang atau tanggal 16?” tanya Sukarni.

Soekarno dengan sigap menjawab, ”Saya merasakan dalam kalbuku bahwa itu adalah saat yang baik, 17 adalah angka yang suci. Pertama kita sedang berada dalam bulan Ramadhan, waktu kita sedang berpuasa semua. Ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok adalah Hari Jum’at legi (manis), Jum’at yang berbahagia. Al Qur’an pun diturunkan tanggal 17. Orang Islam bersembahyang 17 rakaat. Oleh karena itu, kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,”. Dikutip dari Lasmidjah Hardi (1984:61).

Dialog Rengasdengklok jarang diungkap sejarah. Dialog manis antara Bung Karno dengan sifat kebapakannya sedang menjelaskan kaum muda dengan sangat bijaksana. Ramadhan ternyata mampu menjernihkan golongan yang berbeda secara umur untuk menyatukan visi dan misi.

Lupa
Sudah beberapa minggu saya jarang melihat televisi. Sekali melihat kotak ajaib itu, saya disuguhi iklan. Iklan yang persis dengan tulisan saya. Inti dari iklan tersebut: jangan lupakan 16 Agustus. Ya jelaslah, tanpa 16 Agustus mana ada 17 Agustus. Tapi bukan itu, maksudnya adalah peristiwa Rengasdengklok. Ketika ada adegan dimana Sukarni sedang menegaskan kepada Bung Karno,”Revolusi…,”. Saya kembali dari kealpaan,”Oh iya, saya punya tulisan tentang itu,”.

Akhirnya tulisan ini terbit. Kelihatannya basi memang. Tapi dari dulu saya yakin sejarah tak pernah basi. Umur tulisan ini tepat satu tahun. Alasan tidak dipublikasikan, pertama karena mencari momen dan kedua karena lupa. Niatnya mau sekalian tahun depan saja. Lebih tepat karena 17 Agustus 2010 pas di bulan Ramadhan. Tapi tidak ada yang berani menjamin umur saya sampai ke sana. Mumpung masih ada kesempatan, saya beranikan untuk di-publish. Lagipula saya senang kok dengan angka 64 (HUT RI). Jadi teringat angkutan umum di kampung halaman saya, ”Enam…Empat…Enam…Empat…Mas, kiri enam-kanan empat,”. Beda dengan lyn Surabaya, tujuh-empat.

Karena lupa itulah kita dianjurkan untuk saling mengingatkan. Seandainya tidak ada Ramadhan, mungkin para pemuda juga sudah ke-bablas-an dalam mengartikan perjuangan revolusi. Para pemuda sudah mendahulukan emosinya dan menumpahkan darah Soekarno, Hatta beserta golongan tua lainnya yang mereka anggap kontrarevolusi.

Segitiga
Revolusi sendiri bermakna perubahan tatanan dasar sosial kemasyarakatan secara cepat, baik yang terencana atau tidak maupun yang menggunakan kekerasan atau tidak (Wikipedia). Tapi lebih menarik definisi revolusi moralis Leo Tolstoy. Bahkan seorang teman pernah bercerita, ketika Lenin sekarat, ia minta dibacakan novel-novel Tolstoy. Katanya, lambang tobat dari revolusi yang ia pahami selama ini. Saya cuma ngangguk-ngangguk saja. Maklum bukan Leninis seperti teman saya.

Soekarno telah berulang kali mendengungkan ”Jas Merah”. Tanpa sejarah, negara ini tidak akan menghormati arti pengorbanan dalam menggapai cita. Sudah 64 kali kita merayakan agenda tahunan tujuh belasan. Apakah bangsa ini telah menangkap esensi dari kemerdekaan? Lanjut, sudah berapa kali kah Ramadhan menghampiri kita? Apa sudah ada perubahan?

Ramadhan tiba. Apakah semangat perjuangan kemerdekaan akan diteruskan pada bulan Ramadhan nanti? Kalau ketika Ramadhan semangat turun, seharusnya kita malu. Karena para founding father justru berhasil menorehkan sejarah besar bangsa ini di bulan suci Ramadhan. Saya bukan chauvinist dalam hal ini, tetap saya taruh hormat dan kagum juga kepada pejuang seperti J. Leimena dan I.J Kasimo. Setuju atau tidak, Ramadhan memang berkah tersendiri bagi bangsa ini.

Ramadhan ibarat waktunya revolusi seperti kata Sukarni yang di masa mudanya pernah membentuk Comite Van Aksi. Sebuah lembaga revolusioner pendukung internasionalisasi kemerdekaan RI. Atau karena kata revolusi terlalu berkesan negatif, banyak orang yang malu untuk menjungkir-balik hidupnya. Dari buruk menuju baik. Sementara Rengasdengklok ibarat sebuah Masjid. Ia menaungi aktivitas perubahan. Mereka saling berhubungan ibarat segitiga. Ini waktu untuk merubah diri. Yang muda jangan tunggu tua. Yang tua jangan tunggu renta. Yang renta jangan tunggu tiada. Siapa cepat dia dapat.

“Berapa banyak orang yang melaksanakan ibadah puasa, tapi mereka tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga”

Inspirasi : Prof. Dr. Dadan Wildan, M.Hum, www.setneg.go.id
Alwi Shahab’s blog, Pengungkapan Sejarah Proklamasi

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan

Berita Terkait