ITS News

Kamis, 14 November 2024
08 November 2009, 11:11

Kemaluan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Eiits…jangan negatif dulu. Kemaluan yang saya maksud merupakan bagian dari morfologi, ilmu tata bahasa yang mempelajari proses pembentukkan kata. Konfiks ke-an menyatakan hal yang disebut dalam kata dasar. Sehingga bisa diartikan sebagai suatu hal yang berhubungan dengan rasa malu. Afiksasi (proses pengimbuhan) ini seharusnya benar. Namun karena kata ini sudah punya arti khusus, kata dengan maksud di atas sudah hilang dari peredaran.

Hampir saja saya tidak bisa menulis minggu ini. Ketika sumpek mencari ide, secara kebetulan saya menonton sebuah film yang diputar di sebuah saluran TV swasta: The Last Samurai. Walaupun sudah berkali-kali menonton, saya tetap terkesan. Kadang hati bergetar bangga, kadang pula hati terenyuh sendu. Film itu mengajarkan saya beberapa hal: keberanian, kesetiaan, kehormatan dan terakhir ya…kemaluan itu tadi.

Film ini berlatar kehidupan kaum Samurai di zaman restorasi Meiji. Saya belajar bagaimana seorang samurai menghargai rasa malu. Dengan begitu yakinnya mereka menusukkan pedang ke perutnya (harakiri) apabila melakukan kesalahan atau gagal dalam mempertahankan integritasnya atau tidak bisa menjalankan kepercayaan yang diberikan. “Inilah kehormatan yang sesungguhnya,” kata mereka. Itulah kelebihan mereka, mereka bisa bersahabat dengan hati nurani

Saya segera tersentak. Saya sering berkelakar tentang kebaikan kepada orang lain. Saya juga sering menyuruh orang lain untuk berbuat kebaikan. Tapi…ternyata yang saya lakukan tidak lebih seperti seorang pembual. Saya masih melakukan tindakan yang jelas-jelas melawan hati nurani saya. Bahkan juga mendzholimi orang lain. Saya merasa tidak ada orang yang melihat, sehingga tidak merasa malu. Seandainya hati nurani saya bisa berteriak, ia pasti berteriak,”Saudara-saudara, Ini dia pelakunya!” sambil menunjuk diri saya. Aduh…Dimana rasa malu saya?

“Orang Indonesia itu paling susah ya kalau mengakui kesalahan,” ujar teman saya ketika menonton pemutaran rekaman pada kasus korupsi di TV. Ia menganggap rekaman penyadapan telepon itu sudah jelas-jelas salah, tapi pelakunya tidak malu sama sekali. Ini bukan satu-dua kali terjadi di meja hijau. Seorang yang sudah jelas-jelas salah, masih saja diberi nafas. Sepertinya memang kemaluan orang Indonesia jauh lebih kecil dari orang Jepang.

“Kenapa nggak langsung dihukum saja pelakunya,” teman saya yang lain ikut menimpali. "Iya…ya, masak pahlawan sudah ketemu musuhnya adem ayem saja," timpal yang lain. Kami menonton acara yang berlangsung di Makamah Konstitusi itu seperti menonton pertandingan sepak bola antar kampung. Ramai…sekali.

Sinetron
Entah kenapa, dari kecil saya ini memang tidak punya bakat menonton sinetron. Tidak pernah ada ceritanya saya bisa nonton sinetron full dari awal sampai habis. Trauma sama sinetron Tersanjung yang mbulet ae. Belum lagi sinetron duplikasinya yang mirip dari judul sampai alurnya seperti Tersayang, Tersandung, Terjungkal, Tersungkur dan terakhir Becak ter…ter…ter… Bahkan yang lagi hits, sinetron Isabella dkk seperti Isamaca, Isaturu, Isamlaku, dan Isaisa ae. Tetap saya tidak minat.

Tapi sekarang saya berubah. Saya sedang jatuh hati dengan sinetron (cerita fabel) Cicak-Buaya. Berlatar di sebuah hutan belantara yang bernama konspirasi. Tokoh utamanya ya dua hewan itu. Sedangkan tokoh antagonisnya seekor kucing Anggora yang terkenal sangar, manja, punya jaringan luas dan disayangi oleh orang-orang oportunis. Terakhir ada tokoh figuran yang sedikit tidak jelas. Tapi bisa diibaratkan seperti musang berbulu tangkis. Eh salah…maksud saya berbulu domba.

Para penontonnya pun tegang dengan aksi dari para pemain sinetron ini. Walaupun beda ukuran, cicak punya banyak pasukan. Sementara buaya? Mereka dulu yang melahirkan cicak, jadi merasa punya kewenangan lebih untuk mengobrak-abrik kehidupannya cicak. Kemudian buaya berusaha menangkap cicak. Saya tidak tahu, bagaimana cara buaya menangkap cicak yang sedang merayap di dinding. Hanya sutradara yang tahu.

Cicak tidak sebodoh yang buaya kira. Ia balas dengan memutuskan ekornya dan lari menuju pasukannya. Buaya sedikit gentar. Ia lari ke para penghuni hutan yang sedang berkumpul, kemudian menangis di depan seluruh penghuni hutan. “Sumpah! Sebenarnya saya ini pahlawan, Cicaklah yang berkhianat!”. Penghuni hutan yang lain pun menepukinya,”Iya, saya tahu. Anda pahlawan,”. Sementara Sang Musang terus berkelit. Kalau ada buaya, ia bela buaya. Kalau tidak ada, ia berpaling ke cicak.    

Kucing (Anggora) hanya memperhatikan dari jarak jauh. Saat ini ia sedang berlibur di salah satu hutan di Singapura, disamping majikannya yang sedang menonton berita dari Indonesia. Sang majikan berkata pada kucingnya sambil mengelus bulu-bulunya yang tebal,”Ayoo..terus, fight, fight and keep fight! Indonesia vs Indonesia!” ucapnya dengan gembira. Setelah itu ia pergi ke kamarnya, mengambil buku tabungannya. Dari hari ke hari rekeningnya menggelembung bertambah besar. Keterangan transfer uangnya ternyata dari rekening di Indonesia. Tak tahu rekening siapa. Sementara itu, Sang kucing, Ah…dia tetap nyaman di sofa tebal sambil menikmati whiskey yang lezat. Yummy

Akhirnya mereka memang hanya berbicara saja. Tak mungkinlah Si Kucing bisa melawan Cicak, Si Cicak bisa melawan Si Buaya. Mereka semua beda habitat. Cicak di dinding, Buaya di air, Kucing di darat. Dan sepertinya ending story-nya adalah damai. “Yowes, damai ae lah Pak. Koyok cegatan nang dalan-dalan iku lho…,”

Kapok

Saya hanya tertawa melihat orang-orang tua di atas yang kelihatannya pintar ternyata tidak jauh beda dengan anak SD yang sedang bermain petak umpet. Masing-masing anak berusaha ngumpetin kesalahannya. Saya tidak tahu siapa yang benar. Saya juga bukan tipe orang yang suka ikut-ikutan mbelani KPK atau ikut bersimpati karena air mata seorang jenderal polisi atau malah membela Anggoro yang mengaku keluarganya stres gara-gara kasus ini.

Saya sudah terlanjur kapok dengan beberapa orang pintar hukum yang pura-pura jadi pahlawan anti korupsi. Ternyata mereka sama saja. Malah mereka menggunakan keahliannya di bidang hukum sebagai senjata berkelit. Saya juga kapok dengan tersangka korupsi yang minta berobat ke Singapura. Eh…malah betah di rumah sakit. Mau Anggoro, Anggodo, Anggonggong, Anggora, Anggaran atau bahkan Angguna, saya tidak peduli! Kalau terbukti bersalah, hajar bleh!.

Kalau orangnya sakit, rumahnya dan segala asetnya saja yang diincar. Sekali-kali koruptor hidup miskin kan tidak apa-apa. Lalu Polisi dan Kejaksaan? Setali tiga uang. Dulu Suyitno Landung, terus Rusdihardjo (polisi), terus Urip Tri Gunawan (jaksa), terus siapa lagi sekarang?. Saya bosan dikadalin. Kata anak muda zaman sekarang: saya sudah illfeel. Karena kebenaran hanya milik Tuhan semata.

Memang tak bisa digeneralisasi. Jangan sampai muncul anggapan SEMUA polisi, jaksa, KPK atau pengusaha, selalu kong kalikong untuk kepentingan pribadi. Tapi saya juga berharap, pimpinannya bisa memberi contoh yang baik. Saya hanya mengingatkan ya…jangan sampai tanggung dosa satu lembaga gara-gara mencontohkan keburukan.

Awal cerita itu dari Koran Tempo,
Wartawan    : Menurut Anda, kenapa ada pihak yang berprasangka negatif kepada Anda?
SD               :“Kalau orang berprasangka, saya tidak boleh marah, karena kedudukan ini (Kabareskrim) memang strategis. Tetapi saya menyesal, kok masih ada orang yang goblok. Gimana tidak goblok, sesuatu yang tidak mungkin bisa ia kerjakan kok dicari-cari. Jika dibandingkan, ibaratnya, di sini buaya di situ cicak. Cicak kok melawan buaya. Apakah buaya marah? nggak, cuma menyesal. Cicaknya masih bodoh saja. Kita itu yang memintarkan, tapi kok sekian tahun nggak pinter-pinter. Dikasih kekuasaan kok malah mencari sesuatu yang nggak akan dapat apa-apa,”

Saya menunggu kapan cecek jadi tekek (tokek), dan kapan boyo jadi nyambek (kadal). Biar jadi lawan yang seimbang dan tentunya tambah seru. Yah…saya cuma bisa bilang, beginilah nasib orang kecil nan bodoh seperti saya. Hanya jadi bulan-bulanan orang-orang pintar (berkelit). Walaupun begitu, saya hidup bahagia dengan keadaan apa adanya. Maksudnya ada nasi saya makan, kalau tidak ada ya…saya puasa, puasa Senin-Kamis. Maksudnya puasa dari Senin sampai Kamis. Yang penting halal. Sedang mereka (para koruptor)? Meneketehe

Dunia ini panggung sandiwara
Ceritanya mudah berubah
Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani

Setiap kita dapat satu peranan
Yang harus kita lakukan
Ada peran wajar dan ada peran berpura-pura

Mengapa kita bersandiwara…
oleh Nicky Astria

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan
Semoga Indonesia cepat lepas dari yang namanya Korupsi, Konspirasi dan Konstruksi. Maksud saya, Kolusi!

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Kemaluan