ITS News

Selasa, 03 September 2024
17 November 2009, 16:11

Pahlawan Tanpa Tanda-Tanda

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Bersama 25-an orang teman satu angkatan di Teknik Perkapalan, saya nekat meluncur ke Mojokerto. Bertaruh kaki di jalanan sejauh 55 kilometer selama 9 jam. Mata saya terbelalak, Stasiun Gubeng sudah penuh dengan peserta GJP dari beragam usia. Itu baru sebagian kecil dari 5000-an orang peserta. Mereka tampak ceria bahkan bersemangat. Terlihat dari kostum mereka yang unik. Dari kostum khas perempuran Surabaya, badut-badutan, sampai kostum tokoh perwayangan dll.

“Mbah mana?” kata teman baru saya yang masih belia. Saya penasaran dengan orang bernama Mbah itu. Setelah berjalan ke Gubeng lama, saya lebih dkejutkan lagi dengan kerumunan orang yang bercengkrama saling melepas tawa, seperti sahabat yang lama tak berjumpa. Mereka peserta GJP dari berbagai daerah di Surabaya. Tapi di tengah-tengah kerumunan itu, ada seorang wanita tua yang sepertinya sangat dihormati di kerumunan itu. “Tak pikir nggak ikut Mbah,” ujar seseorang sambil mencium tangannya.

“Mantap jaya!” sahut hati saya ketika melihat wanita tua itu yang seumuran dengan nenek saya, kira-kira umur 75 tahun. Niatnya semata-mata bernostalgia atas kejadian berpuluh-puluh tahun lalu. Ketika Surabaya diratakan dengan mortir dan Arek-Arek Surabaya bermandi darah. Kesalutan saya bertambah, ternyata ia ikut dalam kelas perorangan. Sementara saya dan teman-teman di kelas beregu. Kalau ada yang capai ya kita gantian. Nah, kelas perorangan? kalau capai ya ditanggung sendiri.

Seandainya saya berani menyarankan,”Mbah…mendingan pulang aja deh, ngurus cucu-cicit di rumah sambil mengunyah daun sirih terus nonton Take Him Out,”. Tapi sorot tajam matanya menggagalkan niat saya untuk menyarankan. Malah memberi saya sebuah semangat baru.

Tidak hanya dia. Selama perjalanan yang dimulai dari alun-alun Mojokerto itu, beberapa kali saya bertemu kakek-kakek dengan seragam veteran. Rambutnya putih salju, pipinya sudah bergelayut, jalannya terpapah, dan garis-garis di wajahnya tak bisa membohongi siapapun yang memandangnya. Tapi di balik itu, semangatnya masih seperti Bung Tomo. Nurani saya berdecak, sebenarnya apa sih yang mereka cari? Hadiah total 50-an juta itukah? Rasanya tidak.

Akhirnya lelaki sok jagoan seperti saya ini hanya mampu berjalan 4 jam sampai Pasar Krian, kira-kira 25 Km perjalanan. Setelah itu, kaki saya ngambek tidak mau jalan. Lalu saya naik motor (itulah untungnya kelas beregu) menuju Blauran. Menunggu “waktu yang tepat” untuk sampai di Tugu Pahlawan.

Selama perjalanan, saya memperhatikan orang-orang yang seharusnya jauh lebih lemah dari saya malah sekuat tenaga ingin mencapai garis finish. “Jaman perang dulu lho perjalanannya lebih jauh dan lebih sulit dari ini, masak kita kalah!” kata mereka. Saya jadi malu sendiri. Ternyata orang-orang tua peserta GJP yang alumni 10 November 1945 ini adalah sosok pahlawan terlupakan.

Gegar Otak
Adakah diantara anda yang mengenal Raden Mas Soetarto? Lalu apakah anda pernah melihat film dokumenter peristiwa 10 Nopember yang menggetarkan itu? Tahukah anda kalau film itu berhasil merubah paradigma dunia tentang negara kita yang katanya lahir prematur itu? Bahkan sukses membuat pasukan sekutu yang baru menang Perang Dunia II, ciut nyali.

Saya yakin hanya segelintir orang yang kenal dia. Sepertinya kita memang gegar otak, lupa dengan para pendahulu kita. Ia memang jarang memanggul senjata. Tapi di bawah bendera Berita Film Indonesia (sekarang perusahaan film nasional), ia bersama kawan-kawannya mendokumentasikan dan memfilmkan perjalanan awal bangsa ini. Terutama masa-masa paska proklamasi. Mereka melakukannya tanpa dana, tanpa menunggu perintah dan tanpa peralatan memadai. Kemudian ia sebarkan ke Amerika dan Eropa.

November 2002, Tempo mengeluarkan edisi khusus tentang hari Pahlawan. Menjadi pahlawan itu mudah. Syaratnya, peka dengan keadaan sekitar dan berani melawan arus. Tempo mengangkat “pahlawan-pahlawan kecil” yang dianggap berjasa. Seperti Abubakar Riry dan Daniel Mariolkossu, mantan panglima perang saudara di Maluku yang berusaha mengembalikan kedamaian di Maluku.

Atau Sainah, seorang pembantu rumah tangga di apartemen Tommy Soeharto yang dengan lugunya bersaksi tentang dosa-dosa Tommy Soeharto. Tommy sampai gelagapan bilang,”Saya tidak menjamin keselamatan saksi,”. Saya tahu, berurusan dengan Tomy itu seperti berurusan dengan malaikat pencabut nyawa. Lihat saja nasib Syafiudin Kartasasmita, hakim jujur nan sederhana itu.

Atau La Ode Manarfa, seorang yang amat berjasa bagi berdirinya universitas-universitas di Sulawesi. Kemudian Loir Botor, Kepala Adat Dayat yang berani berhadapan dengan tengkulak kayu sekelas Bob Hasan, hanya sekedar mempertahankan hutan yang amat ia cintai.

Lalu Agus Gunarto yang menciptakan kakus gotong royong dengan sanitasi yang amat baik. Ia hanya merasa kasihan melihat tetangganya yang mati akibat buruknya sanitasi di desanya. Karena kakus itu, namanya terukir di Museum Emperor Inggris bersanding dengan nama besar Thomas Alva Edison. Terakhir, Yon Daryono, pelatih lari yang benar-benar ikhlas memberikan hidupnya untuk mencetak atlit lari yang akan mengharumkan nama bangsa. Walaupun semua itu dengan keterbatasan dan tanpa perhatian dari bangsa yang dibelanya.

Mereka itu pahlawan. Lihatlah bagaimana mereka memperjuangkan apa yang dianggapnya benar. Menjadi pahlawan, berarti berhadapan dengan caci maki dan bentuk teror lainnya. Sehingga jangan pernah berangan untuk menjadi seorang pahlawan. Karena mereka bukan terlahir dari angan-angan kosong. “Sekali berarti, sudah itu mati!” kata Chairil Anwar.

Sepuluh Nopember
Saya baru sadar. Ternyata kampus tempat saya belajar, berdiri di atas darah para pahlawan. Kelahiran ITS dirayakan secara meriah. Tapi saya melihat jadwal Dies Natalis tak mengakomodasi pahlawan pendahulu kita. Misalnya seperti kunjungan ke makam pahlawan sebagai bentuk penghormatan atau menyantuni veteran perang yang hidup susah atau bahkan memberi kesempatan mereka bercerita agar kami terinspirasi. Apakah kita tidak kebacut menyandang Sepuluh Nopember, tapi tak ada space untuk para pendahulu kita?

Tidak usah jauh-jauh. Siapa sih orang-orang yang berjasa mendirikan ITS dan membuat ITS sampai besar seperti saat ini? Coba sesekali beliau dan keluarganya diundang. Beri suatu perhatian atau penghargaan bagi mereka. Dan bagi saya, generasi penerus, hubungkanlah tali silaturahmi antara kami (para generasi penerus) dan generasi awal. Agar kami meresapi maksud keinginan mereka, Mengapa engkau rela berkorban untuk berdirinya sebuah nama: ITS?

Menurut Campbel, untuk menjadi seorang pahlawan, seseorang harus melalui 6 tahapan: innocence, called, initiation, allied, breakthrough dan celebration. Pada tahapan innocence, mereka memposisikan diri seperti orang pada umumnya. Mereka belum tahu (belum peduli) tentang permasalahan yang ada di sekitarnya.

Kemudian pada suatu momen, jiwanya merasa terpanggil (called). Kejadian itu menjadi inspirasi baginya di sepanjang hidupnya. Lalu mereka menghadapi permasalahan besar yang tidak bisa diselesaikan oleh orang pada umumnya (initiation). Mereka banyak belajar dari permasalahan yang terjadi bertubi-tubi.

Dengan permasalahan ini ia mencari solusi dengan mengumpulkan orang-orang di sekitarnya untuk bersama-sama membantunya (allied). Dan selanjutnya muncul sebuah terobosan sebagai solusi nyata dari permasalahan. Akhirnya ia mulai mandiri dalam menyelesaikan masalah, bahkan ia menjadi tauladan bagi orang-orang yang berada pada masalah itu.

Dunia moderen tidak lepas dari pemikiran sosial Freud dan Marx. Keduanya banyak menyinggung tentang kepahlawanan. Ada orang yang jasanya sebenarnya tak banyak, tapi karena pencitraan yang kuat, dia dianggap pahlawan. Mereka adalah orang-orang yang bergerak pragmatis. Kalau ada untungnya bagi saya, maka saya akan melakukan itu. Freud bertanya, Nafsu apa gerangan yang berkecamuk dibawah sadarnya? Sementara Marx bertanya, Kepetingan apa yang hendak diperjuangkannya? Terakhir saya bertanya, Seperti apa bentuk hati nurani seorang pahlawan?

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan
“Cara paling gampang mengukur kepahlawanan adalah menghitung banyaknya orang yang menangis merasa kehilangan ketika calon pahlawan itu pergi meninggalkan dunia,” kata saya.

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Pahlawan Tanpa Tanda-Tanda