ITS News

Kamis, 14 November 2024
24 November 2009, 13:11

Jalan Capek

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Suatu ketika dosen saya mendatangi saya dan teman-teman saya yang sedang cangkrukan di Plasa Perkapalan. Kami lagi menunggu asistensi, sementara dosen saya sedang menunggu ujian anak didiknya. Kemudian ia mengajak kami ber-curcolcurcol ria alias curhat colongan.

Kami larut dalam pembicaraan panjang. Termasuk membicarakan alasannya meninggalkan ruang ujian yang seharusnya tetap ia awasi. ”Saya ingin anak didik saya berintegritas, tidak pengaruh ada pengawas atau tidak,” katanya. Ia juga bercerita tentang pandangan hidupnya yang berubah drastis setelah pulang studi dari Inggris. Pokoknya pembicaraan kami tentang nilai-nilai kehidupan, sangat menarik bagi saya.

Satu dari banyak cerita yang mengubah hidupnya adalah ketika ia menjadi mahasiswa ITS. Ia mengaku, dulu ia adalah seorang yang mandiri, tapi cenderung apatis mendekati egois. Memang ia berasal dari keluarga berkecukupan, ia pun punya kendaraan motor untuk mobilisasi di kampus. Pada zaman itu, hanya secuil manusia yang mampu membeli sepeda motor. Beruntung.

Hingga suatu saat, perkataan dosennya merubah cara berfikirnya ketika ia masih mahasiswa baru.
”Kamu kalau ke kampus naik apa?”
”Motor Bu…”
”Sama siapa?”
”Hmmm…sendirian saja Bu!”
”Ah…alangkah egoisnya dirimu. Apa kamu tidak punya perasaan sedikitpun melihat temanmu berjalan kaki ke kampus, sementara kamu dengan lenggangnya memacu motormu?”
Tadinya, Ia menganggap bahwa orang lain tidak ada urusan dengannya. Jelas, karena motor itu dibeli dari uangnya (ayahnya). Perkataan terakhir dari dosennya, tak terlupakan. Sejak saat itu, ia selalu berusaha tidak membiarkan bagian belakang jok motornya menganggur. Minimal ia mengajak teman satu kosnya untuk berangkat bareng ke kampus.

Hati saya langsung terasa ditusuk-tusuk. Pikiran saya terlempar jauh ketika saya Maba dulu. Saat saya masih mengandalkan Lyn P untuk pulang-pergi Waru-ITS. Saya pernah merasakan capeknya berjalan setiap hari dari jurusan ke Gebang. Ditambah jalan dari jalan raya menuju gang rumah saya. Lengkap dengan asap pekat kota Surabaya. Hampir-hampir saya jatuh sakit.

Pernah saya menangis dalam hati, ketika ada orang yang memberi saya tumpangan. Pada malam gelap gulita dan dalam suasana yang agak mendung. Ia tak kenal saya, dan sebaliknya. Ia datang seperti pahlawan, persis saat saya sedang berkejaran dengan waktu. Lyn P juga punya jam malam: lewat jam 8 malam, mereka sudah hilang. Saya pun tak punya Handphone dan tak tahu betul kos teman-teman, maklum Maba.

Saya tidak mau dibilang heroik. Banyak mahasiswa yang lebih nelangsa dari saya. Ada teman saya yang bersepeda onthel dari rumahnya sekitar Kenjeran. Atau ada juga yang berjalan kaki dari Mulyorejo. Teman saya yang lain bersepeda pancal sampai Karang Pilang (terkadang Sedati, dekat Bandara Juanda) hanya sekedar memberi les privat. Yah…bantu-bantu meringankan beban orang tua, katanya.

Bahkan ada juga teman saya ketika Maba yang kalau kemalaman (tidak dapat lyn) harus berjalan sampai daerah Surabaya Barat. Ah…ini sih terlalu heroik, menurut saya. Dan anehnya, dari teman-teman yang saya kutip disini, mereka pasti bilang,”Syukuri apa yang ada saja…”.

Hujan
Jumat kemarin, hujan deras pertama di ITS pada sore hari. Derasnya tak terkira, langsung mengguyur tanpa woro-woro. “Ya Ampuuunn…Alhamdulillah…,” dua orang teman saya secara bersamaan tersentak mengucapkan kedua kata itu. Yang pertama mengucapkan sambil memegang kepalanya, yang kedua sambil menengadahkan kedua tangannya.

Yang pertama merasa bahwa kehadiran hujan, menyulitkannya untuk pulang. Sepertinya malas memakai jas hujan dan membuat motor kembali kotor padahal baru dicuci. Sementara yang lain bersyukur, karena sudah lama ia tidak bertemu hujan di Surabaya. Kehadiran hujan memberi suasana sejuk. Sampai teman saya bilang, kalau orang Surabaya itu punya satu doa khusus,”Ya Tuhan…berikanlah kami hujan (kalau perlu sekalian badai),” katanya sambil bercanda.

Nurani saya kembali dirobek-robek. Apa yang dilakukan para pejalan kaki, menghadapi hujan deras yang datang tiba-tiba ini? Mau tidak mau, bawa payung atau tidak, mereka pasti basah kuyup. Beruntung kalau segera menemukan tempat berteduh. Ia juga merasakan kedinginan yang menusuk, karena angin berhembus kencang. Dan saya pernah ”menikmatinya”, kurun beberapa bulan.

Sekarang saya punya kendaraan sendiri. Seketika itu saya lupa sama pejalan kaki. Padahal, ketika saya menjadi pejalan kaki, saya iri dengan mahasiswa yang punya kendaraan pribadi. Tentu lupa juga dengan orang yang dulu pernah memberi saya tumpangan. Ah…dasar pribadi egois.

Bahkan saya agak sewenang-wenang ketika berkendara, baik motor maupun mobil. Padahal saya tahu, hal itu membahayakan pejalan kaki. Saking maniaknya sama ngebut-ngebutan, teman saya pernah menyindir saya,”Bah..kamu itu lupa ya, kalau mobil ini ada pedal remnya?”. Larut dalam dinginnya AC, kedapnya jendela, dan besarnya audio musik, saya jadi orang yang anti sosial. Ah…dasar pribadi tak tahu diuntung.

Syukur
Akhirnya, peserta jalan sehat Dies Natalis pulang ke rumah masing-masing. Ada yang membawa doorprize seperti sepeda, magic jar, sampai laptop. Tapi kebanyakan pulang dengan tangan hampa. Semua mengaku senang. Teman saya bilang,”Tujuan kita kan bukan untuk cari hadiah, tapi untuk memeriahkan,”. Sepertinya mengelak karena tak dapat doorprize.

Tapi kebanyakan peserta kembali menunggangi kendaraannya masing-masing. Mobil dan motor yang terparkir rapih di sekitar Perpustakaan Pusat ITS, satu per satu hilang. Kenikmatan berjalan hilang sudah. Dan…Si Pejalan kaki, tetap menunggangi kakinya yang semakin berisi (betisnya). Kendaraan terkenal itu bernama Mercy. Mercy kil (Mer-sikil)

Saya sangat berharap, ITS punya kendaraan umum intrakampus. Seperti UI yang punya Bis Kuning. Bahkan ada sepeda yang bisa dipakai gratis untuk putar-putar di kampus UI Depok. Pertama untuk pelayanan bagi civitas yang tidak punya kendaraan. Kedua mengurangi volume kendaraan di dalam kampus, agar suasana kampus lebih ramah. Bahkan kalau bisa akses transportasi yang mudah untuk menuju dan keluar ITS. Baik ke terminal, stasiun, pelabuhan dan bandara.

Terakhir, Ibu saya sering bilang,”Kalau motormu nggak diservis, nggak dicuci (intinya nggak dirawat). Mama kasih aja ya ke temenmu yang nggak punya motor,”. Bagi yang punya kaki bersyukurlah bisa berjalan kaki ketimbang mereka yang cacat. Bagi yang punya sepeda, bersyukur lebih enteng ketimbang jalan. Bagi yang punya motor, syukurilah bisa berpindah dengan cepat tanpa keluar keringat. Dan…bagi yang punya mobil, tumpangannya dong

Bahtiar Rifai Septianyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Jalan Capek