ITS News

Selasa, 03 September 2024
18 Desember 2009, 15:12

Timang-Timang Ibuku Sayang

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Beberapa hari yang lalu, seorang wanita yang biasa saya panggil Mama, menelpon saya sekitar pukul 9 malam waktu Surabaya. Artinya, pukul 10 malam waktu Denpasar. Alat canggih bernama handphone, hasil modifikasi dari alat bikinan Alexander Graham Bell, sukses membuat percakapan jarak jauh antara si anak Denpasar yang kini sudah jadi arek Suroboyo (tapi tetep 100% darah Bali) dengan sang mama yang ada di Denpasar nun jauh di mato.

Merasa tumben ditelpon malem-malem begitu, refleks saya bertanya, “Kenapa, ma?”. Sedetik kemudian saya baru menyadari bahwa pertanyaan saya tidak sopan. Sepertinya pertanyaan saya itu adalah versi halus dari “Mama kok ganggu aku malem-malem gini sih?”. Sambil tertawa mama menjawab di ujung sana, “Nggak apa-apa. Kepingin tau aja kakak (panggilan orang rumah untuk saya) lagi ngapain.”

Satu hal yang saya sadari ketika itu, mama sayang saya. Bahkan ketika waktunya tidur pun, mama memikirkan saya sampai-sampai menelpon saya selarut itu.

Antara Pelit, Lupa, dan Sibuk
Pertanyaannya, seberapa sering mama menelpon kita?  Mayoritas pasti akan menjawan hampir setiap hari. Sepertinya ada saja bahan yang dibicarakan mama ketika menelpon kita. Dari mulai “Sudah makan belum?”, “Gimana kuliahnya?”, “Kipas anginnya masih rusak?”, “Kapan pulang?”, sampai “Masih bertengakar sama pacar?”.

Pertanyaan lagi, seberapa sering kita menelpon mama atau ibu atau bunda atau mami (ups, adakah yang menyebut mami?) kita? Mayoritas pasti akan menjawab dua bulan sekali, awal dan akhir bulan. Kok awal dan akhir bulan? Awal bulan untuk ngingetin mama transfer uang bulanan ke rekening. Akhir bulan untuk melas-melas minta duit tambahan, karena duit bulanan sudah habis sebelum waktunya.

Itulah perbedaan mama dan kita. Mama tidak akan pernah takut kehabisan pulsa untuk sekedar tau hal-hal sepele tentang kita. Mama tidak pernah lupa untuk mencari tau keadaan kita. Dan mama tidak pernah menjadikan kesibukannya sebagai alasan untuk tidak menelpon kita. Bagaimana dengan kita sendiri? Kita sering menjadikan minimnya pulsa sebagai alasan untuk tidak menghubungi mama. Kalau bukan karena minim pulsa, ujung-ujungnya lupa dan sibuk yang dijadikan alasan. Perbedaan yang signifikan. Benar-benar berbanding terbalik.

Selagi Bisa
Selagi bisa, saya ingin membahagiakan mama. Di mulai dari hal-hal sederhana saja, seperti menghubungi mama terlebih dahulu. Masa harus mama duluan yang menelpon? Yah, kalau memang telpon itu berat diongkos, bisa diakali dengan mengirim SMS. Sekali-sekali kirim SMS yang mesra untuk mama. Jangan cuma waktu butuh duit.

Belakangan saya juga sering mengirim SMS ‘tidak penting’ untuk mama. Seperti “miss u, ma” atau “love u, ma”. Sederhana memang. Tapi, dijamin sukses membuat mama kita terharu setengah mampus.

Seperti kata Peterpan bahwa tak ada yang abadi, begitulah kebersamaan kita dengan mama. Kebersamaan yang sementara ini hendaknya kita isi dengan membalas semua jasa-jasa mama. Dari mulai menunjukkan kasih sayang sampai menunjukkan prestasi.

22 Desember
Bersukurlah untuk teman-teman yang saat ini sedang di rumah bersama mama tercinta. Kalau tidak sedang serumah, bersyukurlah untuk teman-teman yang saat ini sedang telpon-telponan dengan mama. Kalau tidak bisa telpon-telponan, bersyukurlah untuk teman-teman yang saat ini sedang SMS-an dengan mama. Kalau tidak bisa SMA-an, bersyukurlah untuk teman-teman yang saat ini masih memliki mama sebagai orang yang paling mengasihi kita. Dimanapun kita dan apapun caranya, hal wajib yang harus kita lakukan hari ini adalah berkomunikasi dengan mama. Beri penghargaan setinggi-tingginya untuk mama (walaupun sebenarnya mama tak pernah menginginkan penghargaan).

Sebenarnya saya berharap hari ini saya bisa berada di rumah. Memeluk mama dan mengucapkan “Selamat hari Ibu”. Sayangnya, hari ini saya justru harus berkutat dengan UAS. Dan mengingat wajah mama saat UAS, menambah samangat saya untuk do the best.

Kasih ibu kepada beta.
Tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi.
Tak harap kembali.
Bagai sang surya menerangi dunia.

Ni Luh Putu Satyaning Pradnya Paramita
Mahasiswa Statistika 2008
Ayo sama-sama belajar untuk lebih menghargai Ibu. Sebelum menyesal dan terlambat. ^^

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Timang-Timang Ibuku Sayang