"…..Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,…."
Sepintas, kutipan dari pembukaan Undang-undang Dasar tahun 1945 itu sudah akrab di telinga. Tapi, adakah yang mau meresapi makna dari kata terakhir kutipan tersebut ? Mungkin selama ini perhatian kita luput dari sesuatu yang penting yaitu bahwa pendidikan juga merupakan tujuan yang ingin dicapai bangsa ini.
Permasalahan seolah tak pernah berhenti menghantui dunia pendidikan kita. Salah satunya adalah adalah kasus anak putus sekolah yang hampir terjadi di semua wilayah negeri ini.
Pernahkah Anda bayangkan bahwa jumlah anak putus sekolah di negeri tercinta ini ternyata sudah puluhan juta ? Menurut data resmi yang dihimpun dari 33 Kantor Komnas Perlindungan Anak (PA) di 33 provinsi, jumlah anak putus sekolah pada tahun 2007 sudah mencapai 11,7 juta jiwa. Jumlah itu pasti sudah bertambah lagi di tahun 2009 ini, mengingat keadaan ekonomi nasional yang kian memburuk.
Bayangkan, gairah belajar 12 juta anak di luar sana terpaksa dipadamkan. Dan 12 juta harapan yang melambung kini kandas karena kerasnya realitas negeri. Ini bencana nasional dengan implikasi yang sangat luas, dan bahkan mengerikan akan kelangsungan pendidikan bagi mereka yang kurang beruntung !
Anak-anak itu ada di sekitar kita. Mungkin beberapa di antaranya adalah anak tetangga kita. Dan siapa tahu, salah seorang di antaranya masih kerabat kita , tapi mungkin berada di tempat yang jauh.
Hal ini jadi mengingatkan penulis pada sebuah ironi yang hampir setiap hari tersaji. Bisa dipastikan tiap berangkat menuju kampus, selalu ada anak-anak kecil berkeliaran menjual koran di perempatan-perempatan lampu merah. Sepintas, pemandangan seperti itu terlihat biasa. Namun, tak akan biasa jadinya jika menyadari, mereka semua adalah tunas-tunas harapan bangsa yang juga berhak mendapatkan pendidikan seperti kita.
Realitas yang ada adalah banyak anak-anak SD drop out. Memang bukan cuma lantaran kesulitan membayar SPP tapi juga karena tak punya uang untuk membeli seragam, tidak punya ongkos naik angkot ke sekolah dan paling memilukan orang tuanya tak sanggup lagi menyediakan sarapan pagi. Jadi, persoalannya tidak lagi hanya di seputar institusi pendidikan, tapi sudah bergeser ke arah persoalan sosial lainnya.
Inilah potret buram dunia pendidikan Indonesia hari ini. Kalau ternyata Anda tiba-tiba diliputi rasa bersalah, prihatin dan cemas setelah melihat potret jelek itu, beryukurlah, ternyata Anda masih normal dan memiliki moral yang tinggi. Dan bersyukurlah, karena bukan Anda atau kerabat dekat Anda yang hari ini terpaksa putus sekolah.
Banyak kasus pendidikan yang sempat menjadi keprihatinan kita bersama. Kasus-kasus tersebut secara tidak langsung menjadi indikasi bagi keberlangsungan Pendidikan Nasional yang masih terseok-seok. Proses penyelenggaraan Pendidikan Nasional masih sering terbentur dengan berbagai kendala, baik dari segi kebijakan (policy), sistem sosial, dan kesadaran kita sendiri.
Beberapa kasus di atas hanyalah sedikit contoh yang sempat terdeteksi oleh media massa. Bukan tidak mungkin jika masih ada ribuan kasus serupa yang luput dari pengamatan kita. Oleh karena itu, sudah sewajarnya kita sebagai bangsa Indonesia yang konsisten dengan Pendidikan Nasional menyikapi berbagai kasus yang ada secara bijaksana.
Apakah saya, Anda, dan kita semua berhak untuk terus bersikap masa bodoh, dan berdalih bahwa itu adalah tanggungjawab pemerintah lalu melanjutkan cara hidup kita yang boros dan selfish ? Selalu larut dalam rutinitas harian tanpa mau ambil pusing dengan lingkungan sosial di luar? Adakah yang bisa kita lakukan selain mewartakan bencana ini melalui sebuah tulisan ? Dan tidak adakah yang bisa kita lakukan selain merasa prihatin sejenak, lalu meninggalkan komentar, kemudian mencari artikel lain yang lebih menyenangkan dan menghibur hati ?
Langkah nyata
Tidak semua pihak mau berdiam diri dan berkutat dengan permasalahan yang ada. Seperti yang dicontohkan oleh Departemen Sosial Masyarakat BEM ITS (SOSMAS BEM ITS) yang tengah menyiapkan langkah pasti berusaha mengubah potret buram wajah pendidikan kita.
Adalah Surabaya Goes To School, nama program tersebut. Berkonsentrasi pada penggalian dana dan pendampingan sembilan belas anak putus sekolah, kegiatan ini diharapkan dapat mengentas sedikit permasalahan putus sekolah daerah Surabaya, demikian keterangan Anggoro Harry S , Menteri SOSMAS BEM ITS.
Hal berbeda namun bertujuan sama juga dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Kenjeran dalam upaya menekan angka putus sekolah. Tiap anak putus sekolah di kawasan Kenjeran didatangi dan diajak kembali bersekolah. Selain membebaskan seluruh bea pendidikan, pemerintah juga menyediakan baju seragam hingga sepatu. Keluarga putus sekolah hanya dibebankan uang saku sekolah.
Seandainya saja, perhatian akan pendidikan tidak hanya terhenti di daerah Kenjeran, dan pemerintah di daerah lainnya melakukan hal yang sama, pasti lebih banyak anak yang kurang beruntung dapat menikmati pendidikan.
Semoga, ke depan, potret dunia pendidikan kita menjadi lebih baik dengan adanya rasa peduli dan kontribusi nyata dari semua elemen bangsa.
Lutfia
Mahasiswa Teknik Kimia ITS 2009
Sumber pendukung :
– detik.com
– gambar : http://aciepsuccess.files.wordpress.com
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi