ITS News

Selasa, 03 September 2024
22 Januari 2010, 19:01

Warisan Budaya Sejenak Terlupakan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Menutup tahun 2009, satu lagi budaya asli negeri ini, keris, mendapat pengakuan di mata dunia. Para pecinta keris di Indonesia pun patut lega dan berbangga. Sebab, keris kini sudah diakui sebagai warisan atau pusaka budaya dunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO). Keris diakui sebagai sebuah karya yang tidak saja indah wujudnya tapi juga memiliki makna filosofis tinggi tentang kehidupan manusia.

Sepintas hal tersebut tidak berdampak besar bagi kehidupan kita secara langsung. Toh, tanpa keris pun kita juga masih bisa hidup. Tapi tanpa kita sadari, hal sekecil itu sudah menggerogoti akar kebudayaan kita. Karena pemikiran apatis sekecil apa pun akan berdampak besar bila melanda sekian juta penduduk negeri ini. Lantas apa yang bisa terjadi ? Sudah bisa ditebak, sekian juta kepala kelak akan lupa pada kebudayaannya sendiri.

Dan bisakah kita melihat akar-akar kebudayaan sendiri lapuk sementara jutaan bibit kebudayaan asing tumbuh liar di ladang tempat kita berbudaya? Diakui atau tidak, kecintaan terhadap budaya sendiri sudah mulai pudar.

Berbicara mengenai budaya, Indonesia memiliki jutaan warisan leluhur yang sudah seharusnya dilestarikan keberadaanya, seperti wayang, reog, batik, makanan khas, dan masih banyak lagi budaya khas bangsa Indonesia lainnya. Namun sangat disayangkan, hingga kini masih banyak peninggalan nenek moyang kita yang belum dioptimalisasi dalam hal paten.

Dan jika kita mau sedikit menilik ke belakang, telah banyak kejadian yang mewarnai perjalanan mereka dalam menjaga eksistensinya. Pada Oktober 2009 lalu, salah satu keberhasilan yang dicapai dalam upaya melestarikan peninggalan nenek moyang, batik ditetapkan sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia. Batik dinilai sebagai ikon budaya yang memiliki keunikan dan filosofi mendalam, serta mencakup siklus kehidupan manusia. Tentu bukan hal yang mudah memperjuangkan paten. Apalagi untuk mendaftarkan paten atas sesuatu agar diakui di dunia internasional. Bisa dikatakan tergolong sulit dan tidak sesederhana yang dibayangkan.

Langkah untuk mengoptimalkan peninggalan budaya bukan pula tanpa hambatan. Sekali lagi flash back ke tahun 2007 lalu, dimana banyak rakyat Indonesia berkoar-koar meneriakkan “Reog kebudayaan asli kami. Milik bangsa Indonesia!!!” Bangsa ini terusik, tak mau kebudayaan miliknya dirampas siapa pun , para pendemo berjuang keras dalam upaya mempertahankan haknya, hak yang dimiliki bangsa ini untuk tetap mewarisi peninggalan para leluhurnya.

Bisa dilihat ada dua sisi di balik kasus yang terjadi di tahun 2007 silam. Di satu sisi kita patut berbangga hati melihat semangat kawan-kawan memperjuangkan reog Ponorogo sebagai warisan budaya asli Indonesia. Mereka geram melihat negara tetangga mengklaim budaya kepunyaan mereka, dan itu adalah tindakan yang wajar. Namun di sisi lain, ada keprihatinan tersendiri di mata penulis. Kenapa harus menunggu diklaim pihak lain dulu baru kita mau ambil pusing? Teriak sana-sini menghujat berbagai pihak? Ah, benar ternyata kalau penyesalan itu datang belakangan.

Apresiasi budaya
Wah, penulis jadi teringat keluhan seorang teman SMA dulu yang berprofesi sebagai dalang. “Sekarang yang nanggap wayang sedikit. Belum lagi kalau saat pementasan, yang nonton sedikit, itu pun mereka-mereka yang sudah sepuh. Anak muda zaman sekarang, mana mau meluangkan waktu semalam suntuk hanya untuk nonton wayang,” tuturnya.

Bisa dibayangkan, untuk pementasan lakon wayang di sebuah desa saja keadaannya sudah demikian. Lalu apa jadinya jika wayang dipentaskan di kota ? Bukan mustahil jumlah peminatnya justru jauh lebih sedikit.

Perlu diketahui, apresiasi masyarakat sangat diperlukan untuk menunjang kelestarian budaya. Wayang atau budaya lainnya akan bernasib “hidup segan mati tak mau” jika masyarakat tidak bisa menghargai keberadaan mereka.

Salah satu wujud penghargaan tertinggi adalah mau mengenal. “tak kenal maka tak sayang”. Selama ini kita kurang mencintai budaya katena kita belum mengenalnya dengan baik. Pernah mendengar berita tentang seorang warga negara Amerika yang datang ke Indonesia untuk melakukan riset tapi kemudian dia menjadi sangat sayang meninggalkan Indonesia karena terlanjur cinta pada budaya kita ? Dia merasa enggan meninggalkan Indonesia dan lebih memilih menetap. Setelah ditanya, ia hanya menjawab, "Saya sudah kerasan di sini".

Belajar dari pengalaman si turis tadi, mengenal ternyata merupakan langkah yang tepat untuk memulai berapresiasi terhadap budaya. Kalau orang asing saja bisa berlaku demikian, penulis yakin kecintaan masyarakat Indonesia sendiri jauh lebih besar dibanding turis mana pun.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia, yang mewarisi budaya para leluhur, terus berupaya dan mengembangkan budaya sendiri, menghargai sesuatu yang kita miliki bersama, dan turut membantu upaya pemerintah mematenkan budaya kita sebagai wujud apresiasi terhadap budaya bangsa. Bukankah UNESCO juga menilai perilaku masyarakat kita jika hendak mengupayakan paten atas suatu karya ?

Jadi, mari memulai dengan mengubah pola pikir : nggak ngaruh tuh ama aku!, menjadi sebuah slogan AKU CINTA BUDAYA INDONESIA.

Lutfia
Mahasiswa Teknik Kimia 2009

 

Berita Terkait