ITS News

Jumat, 04 Oktober 2024
28 Januari 2010, 08:01

Menuju Surabaya Lebih Manusiawi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Dengan tegas, UU tersebut menyatakan ‘barang siapa yang tidak menyediakan aksesibilitas dan tidak memberikan kesempatan dan perlakuan yang sama bagi difabel sebagai peserta didik pada satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan dikenakan sanksi administrasi.” Dengan kata lain, ada jaminan dan kepastian perlindungan hak bagi mereka yang berkebutuhan khusus (difabel) untuk dapat menikmati laju pembangunan.

Surabaya sebagai kota metropolis, tak bisa begitu saja mengabaikan mereka yang berkebutuhan khusus. Keberadaan infrastruktur yang bisa dinikmati semua kalangan adalah mutlak dan menjadi salah satu tolok ukur untuk mengetahui apakah Surabaya sudah layak menjadi kota yang manusiawi. Pemerintah Kota Surabaya telah menyediakan beberapa fasilitas tersebut agar hasil pembangun bisa ikut dinikmati kaum difabel. Salah satunya menyediakan ubin pemandu bagi mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan (tunanetra). Namun, apakah infrastruktur tersebut sudah maksimal dan tepat guna, hal yang perlu dikaji ulang. Di beberapa lokasi pejalan kaki (Jalan Rajawali, Jalan Raya Gubeng) telah tersedia jalur untuk para tunanetra ini. Namun, pemandu yang berupa ubin bergaris vertikal dan berwarna hitam itu terkesan dipasang ala kadarnya dan kurang memerhatikan tanda-tanda pendukung yang seharusnya ada.

Lebih Manusiawi

Berbicara jalur pejalan kaki adalah membicarakan sebuah ruang. Ruang, sesuatu yang umumnya dipersepsikan secara visual. Penelitian Setyo Adi Purwanto menyebutkan, indera visual pada manusia normal berkontribusi menyampaikan 85 persen informasi. Namun bukan berarti mereka yang memiliki keterbatasan visual tak berhak untuk menerima informasi. Sangat mungkin mereka yang memiliki keterbatasan visual justru mampu menerima informasi dengan memaksimalkan kemampuan non visualnya (penciuman, peraba, perasa, pendengaran). Kuncinya adalah tersedianya informasi yang memadai, bisa dimengerti, diorganisasi dan diingat. Dalam hal ini media informasi yang informatif menjadi kuncinya.

Beberapa alternatif cara yang bisa digunakan salah satunya dengan memaksimalkan sistem sentuhan yang dimiliki. Aristoteles mengategorikan kemampuan menyentuh ini dalam lima kelompok (tekanan, kehangatan, dingin, sakit, kinestasia). Sementara Sven Hesselgren dalam The Language of Architecture membaginya menjadi tiga, yaitu: tactile surface sensation, kemampuan merasakan dengan cara menyentuh menggunakan jari-jari tangan melalui medium (misal tongkat); haptic perception or form, kemampuan merasakan dengan cara meraba menggunakan telapak tangan dan berguna untuk mengetahui bentuk dan ukuran sesuatu; kinesthetic, pengalaman akan pergerakan tubuh yang dipengaruhi pergerakan otot. Hal ini berhubungan erat dengan ketajaman sudut atau kurva, kecepatan bergerak, perubahan arah gerak, kasar-halusnya tekstur lantai dan naik-turunnya level lantai.

Untuk memaksimalkan kemampuan sentuhan, diperlukan media bantu. Media pertama merujuk pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. Permen PU tersebut menyebutkan media bantunya berupa pemanfaatan tekstur dari ubin pengarah dan ubin peringatan. Ubin pengarah dan peringatan memiliki dua tekstur berbeda yaitu garis dan titik. Informasi mengenai arah dan jalur yang aman ditempuh disampaikan ubin pengarah melalui tekstur garisnya. Sedang tekstur titik-titik akan memberi informasi tentang adanya perubahan situasi di sekitarnya. Misalnya ada belokan, simpang tiga maupun empat.

Jalur pemandu dari ubin pengarah dan peringatan dapat dimanfaatkan pada beberapa fasilitas publik. Misal di depan jalur lalu lintas kendaraan, fasilitas persilangan dengan perbedaan ketinggian lantai, pintu keluar/masuk maupun area penumpang pada terminal transportasi umum, pedestrian yang menghubungkan jalan dan bangunan serta pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi umum terdekat. Untuk membedakannya bisa melalui warna kuning atau jingga.

Media kedua berupa denah timbul, yang berfungsi untuk membantu proses menemukan jalan. Prinsip denah timbul sama dengan peta biasa yaitu menunjukkan keberadaan atau posisi. Informasi yang disampaikan berupa fitur timbul yang berisikan kata-kata dalam huruf braille, simbol serta keberadaan ubin pengarah-peringatan. Media ketiga adalah penanda timbul. Penanda ini dipasang pada fasilitas umum, misalnya, halte. Penanda timbul ini berisikan informasi nomor, tujuan dan jadual kedatangan bus. Penanda tersebut bisa juga dilengkapi dengan informasi suara (audio).

Keberadaan fasilitas publik dan ruang khalayak yang bisa dinikmati seluruh warga tanpa terkecuali akan membuat Surabaya menjadi kota yang lebih manusiawi dan beradab. Di sisi lain, adanya jalur pejalan kaki yang tidak diskriminatif, bisa dinikmati semua khalayak, aman dan nyaman, akan menggairahkan (kembali) aktivitas berjalan kaki. Sebuah aktivitas kecil yang dapat menjadikan manusia lebih peka dalam memahami lingkungan sekitarnya. Semoga.

Aji Prarismawan
Arsitek Independen/Alumnus Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya

Berita Terkait