ITS News

Selasa, 03 September 2024
07 Februari 2010, 12:02

Korelasi Antara Pelajaran Sejarah dan Korupsi

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Saya mencoba mengaitkan pelajaran sejarah dengan korupsi dan menemukan beberapa  keterkaitan. Diantaranya sejarah korupsi di Indonesia, sejarah dan korupsi sama-sama  diajarkan di semua jenjang sekolah yang saya alami. Secara pribadi menurut saya sebenarnya keduanya adalah pelajaran yang membosankan. Hal itu mungkin terjadi karena ketika kita berbicara mengenai korupsi di Indonesia seolah bagai jalan yang tak berujung. Jauh sekali sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, korupsi sudah mendahului  keberadaannya dan menjadi bagian dari sejarah bangsa.

Saya masih sedikit ingat pelajaran IPS kelas 4 SD dulu tentang Kerajaan Singosari yang  didirikan Ken Arok pada 1222 M. Tradisi korupsi dan balas dendam lah yang melatari pergantian raja-rajanya. Ken Arok mati dibunuh Anusapati (anak tirinya). Anusapati mati dibunuh Tohjaya (anak Ken Arok dari selir). Tohjaya mati akibat pemberontakan Ranggawuni (anak Anusapati). Hanya Ranggawuni yang digantikan Kertanagara (putranya) secara damai.

Baiklah, itu masa lalu. Saya tidak ingin mengulas pelajaran sejarah yang saya sendiri  
sering mengantuk ketika dijelaskan oleh guru. Tapi mari kita sedikit mundur beberapa  
tahun ketika bergulingnya pemerintahan orde baru. Presiden yang telah berkuasa selama 32  tahun dipaksa lengser dari jabatannya pun juga karena kasus korupsi.

Mengutip dari Koran Tempo edisi Jumat, 26 Maret 2004 yang mengatakan Soeharto sebagai  koruptor terkaya di dunia. Berdasarkan laporan Transparency International, Bapak  Pembangunan itu telah merampok uang rakyat mencapai US$ 15-35 miliar. Jika kurs US$ 1=Rp  9000, mengambil nilai terkecil saja 15.000.000.000 x 9.000= Rp 135triliun !!! Dua puluh  kali lipat dari bailout Bank Century yang ‘hanya’ Rp 6,7 triliun.

Jika menengok masa sekarang, era  pemerintahan SBY yang selama enam tahun terakhir ini  berhasil menekan tingginya Corruption Perceptions Index (CPI) Indonesia menjadi 2,8 pada  2009, dimana tahun 2004 masih di angka 2,0 dari skala 10 (hasil lengkap di www.transparency.org).

Puaskah? Tentu tidak! Masih belum. Coba kita bandingkan dengan Singapura yang mencapai  9,2 (semakin mendekati 10, semakin kecil tingkat korupsinya), Brunai, Malaysia dan  Thailand juga masih di atas kita. Kita masih sangat jauh dari angka CPI yang memuaskan.

Kalau boleh saya mengutip lagi, kali ini dari iklan: Tanya kenapa (korupsi masih melekat  kuat bagai lem ataupun permen karet yang tertempel di rambut)? Menurut saya karena kita  sudah diajari ilmu korupsi sejak kecil baik secara langsung maupun tidak langsung.  Celakanya, kita tidak seperti polisi yang mempelajari kriminologi untuk memberantas  tindakan kriminal, tapi malah belajar untuk berbuat kriminal yaitu korupsi.

Mata Pelajaran Korupsi di Sekolah

Pelajaran korupsi yang saya dapat di SD tidak tercantum dalam jadwal pelajaran seperti  matematika atau PPKn. Guru saya menetapkan harga fotokopi lembar soal ulangan yang lebih  mahal dari harga biasa. Bahkan ada juga guru yang secara tidak langsung memaksa siswanya  untuk les di rumahnya, teman-teman yang les di sana nilainya akan lebih baik dari yang  tidak.

Semakin beranjak ke tingkat SMP-SMA, modus korupsi terselubung pun semakin inovatif.  Mulai setiap siswa diharuskan membeli buku penunjang melalui guru tersebut, hingga  ‘sumbangan pembangunan’ yang nilai minimalnya telah ditentukan tanpa ada bukti kongkret  penggunaannya untuk pembangunan.

Siswa menjadi korban? Awalnya iya! Tapi selanjutnya akan berkembang menjadi pelaku.  Contoh mudahnya, setiap proposal program yang diajukan organisasi siswa mayoritas akan  terjadi penggelembungan dana, dengan cara penggelembungan data. Yang tanpa kita sadari  itu merupakan salah satu upaya korupsi.

Sadarkah kita bahwa hal-hal di atas sudah begitu jamak terjadi. Hal itu berarti  
pendidikan korupsi telah berhasil penerapannya di Indonesia. Bahkan jika dianalogikan  
seperti penyakit gagal ginjal. Pilihannya hanya dua, transplantasi ginjal atau cuci darah  
seumur hidup.

Dan nampaknya yang lebih disukai pemerintah saat ini adalah pilihan kedua, walaupun  
biayanya lebih mahal. Pemerintah lebih suka memelihara beberapa pejabat korup daripada  memusnahkannya, padahal jelas ‘transplantasi ginjal’ lebih ampuh. Satu lagi masalahnya,  sulit sekali mencari ‘ginjal’ yang cocok.

Rian Indra Manggala

Teknik Elektronika PENS ITS
ITS Online Journalist

Berita Terkait