ITS News

Kamis, 14 November 2024
09 Februari 2010, 17:02

Isu Pluralisme, Pancasila Dipertaruhkan

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Konsep pluralisme sebenarnya sudah ditekankan sejak bangku sekolah dasar. Di sana kita diberi pengetahuan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beranekaragam budaya, bahasa, suku, agama dan kepercayaannya. Tapi, keberagaman itu bukanlah hambatan untuk menjalin persatuan. Dikatakan, Indonesia bersatu dalam semangat pluralisme.

Berangkat dari konsep inilah kemudian muncul satu kerangka yang menuntut adanya interaksi antar kelompok yang berbeda dengan landasan saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Ringkasnya, seluruh komponen plural yang terlibat di dalamnya memiliki kedudukan yang sama. Sama dalam artian sama-sama berhak untuk dihormati, sama-sama berhak untuk dihargai, dan sama-sama berhak untuk diayomi oleh negara. Sampai di sini, kita dapat melihat dengan jelas, keberadaan posisi pluralisme sejatinya adalah dalam ranah sosial, bukan yang lain.

Akan tetapi, beberapa tahun belakang, istilah pluralisme malah mengalami pembiasan. Agama yang notebenenya merupakan salah satu faktor keberagaman, menyeruak menjadi isu utama dan memonopoli istilah pluralisme. Muncullah kemudian apa yang disebut "pluralisme agama".

Gawatnya, pluralisme disini memiliki arti yang bertentangan dengan yang seharusnya. Ia diposisikan terlalu jauh dengan mengintervensi komponen pluralitas itu sendiri, yakni agama. Pemahaman terhadap pluralisme pun melenceng, berbelok tajam dari ranah sosial ke ranah teologi.

Jelas ini merupakan kemunduran yang membahayakan. Pancasila terbentuk dengan latar belakang pluralisme. Hal tersebut tercermin dalam semboyan negara kita, Bhinneka Tunggal Ika. Jika konsep pluralisme dibelokkan, maka ancaman serius terhadap Pancasila. Ada apa ini ? Penulis curiga, jangan-jangan ada pihak tertentu yang berusaha mengutak-atik NKRI dengan mengarahkan persepsi masyarakat bahwa pluralisme itu berbahaya.

Yang mengkhawatirkan, asumsi salah kaprah terkait pluralisme ini sudah terlanjur mewabah. Tak jarang, dalam situs-situs jejaring sosial muncul komentar ajakan untuk menentang pluralisme, kajian-kajian agama turut memberikan sorotan miring, dan khutbah Jumat pun ikut-ikutan melakukan brain storming. Kekhawatiran makin bertambah, seiring maraknya dengung gerakan fundamental keagamaan, penulis merasakan adanya indikasi upaya islamisasi NKRI. Praktis, isu keagamaan dengan mudah dapat dimanfaatkan sebagai kendaraan.

Dan skenario isu pluralisme ini benar-benar menuai sukses besar. Cukup dengan pernyataan : "Semua agama adalah sama", masyarakat kita kalang kabut tak karuan. Menyusul keluarnya fatwa MUI kemudian, pluralisme akhirnya mengalami peyorasi di tengah masyarakat.

Selamat kepada si empunya skenario, anda selangkah telah berhasil merongrong nilai dasar negara. Dan pelajaran buat kita semua, janganlah mudah-mudahnya melahap umpan sembarangan. Dalam urusan terprovokasi, kita terlalu gampangan.
 
Padahal bila dikaji lebih mendalam, pernyataan "semua agama adalah sama" ini masih terkesan ambigu. Sama dalam hal apa ? Kalau konteksnya sosial, tentu bisa dibenarkan. Sebaliknya, bila konteks yang dimaksud adalah teologi (baca:konsep beribadah kepada Tuhan), tentu saja salah besar.

Selain itu, mengingat ambiguitasnya, kita juga harus melihat siapa yang mengucapkan dan kapasitasnya sebagai apa. Pernyataan tersebut akan memiliki makna berbeda jika diucapkan oleh seorang atheis. Begitu pula apabila yang mengucapkannya adalah seorang negarawan, arti mengayomi semua agama adalah makna yang lebih pas untuk pernyataan itu. 

Sejenak, mari kita membaca sambungan dari semboyan negara kita. Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa, apa arti "tan hana dharma mangrwa"? Banyak arti harfiah yang ditawarkan, diantaranya  tidak ada kerancuan dalam kebenaran, dharma tak dapat dibagi-bagi, tiada kebenaran ganda, dan tidak ada agama yang tujuannya berbeda. Nah, mengejutkan bukan ? Ternyata sambungan semboyan Pancasila memiliki arti harfiah yang hampir mirip dengan pernyataan yang kita perdebatkan.

Kesimpulannya, kerancuan pengertian original pluralisme dan pemahaman sekilas para awamlah yang kemudian memicu memanasnya pertentangan dalam wilayah berlabel "pluralisme agama". Dan penyebabnya sederhana, kemalasan untuk melakukan kajian mendalam. Kita cenderung tahu sedikit akan banyak hal namun tidak tahu banyak akan sedikit hal.

Lestarikan pluralisme Indonesia
Agus Maftuh Abegebriel, dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga sekaligus peneliti terorisme dan ideologi gerakan transnasional, dalam opininya di harian Jawa Pos 28 Juli 2009 menegaskan, ada semacam perselingkuhan internasional yang bertujuan mengembangbiakkan virus religious extremist di dunia. Hasil dari perselingkuhan tersebut adalah sebuah desain international Islamic front untuk mengimbangi kekuatan NATO dan Pakta Warsawa.

Sewajarnya, kekuatan pengimbang ini tak sekedar bergerak dibidang kemiliteran, tapi juga ideologi. Inilah yang patut diwaspadai. Jika dalam lingkup global saja agama bisa digembosi, bukan tidak mungkin bila terdapat pihak yang berusaha menggembosi Pancasila dengan bertopeng agama.

Di tengah banyaknya deraan konflik dunia, sebenarnya Indonesia berpotensi untuk tampil ke depan. Indonesia bisa menjadi guru dan teladan dalam pluralisme. Kita bisa membuktikan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa yang santun, kita bisa membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang berpendidikan dan menghargai perbedaan, kita bisa membuktikan bahwa keberagaman bisa hidup berdampingan, dan kita pun bisa membuktikan bahwa dalam keberagaman, persatuan Indonesia tidak tergoyahkan.

Akhirnya, cukuplah apa yang telah diperjuangkan oleh para sesepuh bangsa kita. Kita tinggal melanjutkan, jaga harmoni pluralisme di Indonesia. Sekecil apapun bentuk rongrongan, baik itu pemikiran atau gerakan makar, baik melalui jalan agama, kesukuan, ras, atau pun lainnya, jika nyata-nyata mengancam Pancasila maka wajib ditentang. Sebagaimana fatwa almarhum KH Hasyim Asy’ari melalui Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah final.

Labib Fayumi
Teknik Informatika ITS
Jurnalis ITS Online

Berita Terkait