ITS News

Selasa, 03 September 2024
15 Februari 2010, 10:02

Catatan Harian Seorang Hakim

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Dear Diary
Senin
Wajahku tampil hampir di seluruh media massa, kecuali majalah Bobo. Walau tidak tampan-tampan amat, rating beritaku jauh melebihi Samuel Simorangkir atau Sammy Kerispatih. Kadang sedih kadang senang. Apalagi anakku sering bercerita bangga di sekolahnya. “Itu…papaku lho?! Yang sering masuk TV” pamernya pada temannya. Tapi kalau berita lagi negatif, yang kasihan ya keluargaku juga. 

Selasa
Semua laporan dan bukti persidangan kukumpulkan dengan rapih. Satu demi satu kubaca dan kuresapi. Aku pun memutar memoriku ke belakang. Bersama anggota majelis hakim yang lain, mulutku berbusa membicarakan kasus tersebut. Ini memang pekerjaanku. Sepuluh bulan sudah kasus ini bergulir, banyak kejadian yang membuatku geleng-geleng kepala. Pembunuhan tingkat tinggi ini ternyata hanya bersumber pada satu persoalan: wanita. Wanitanya juga tidak cantik-cantik amat, masih cantik istriku, hehehe. Jaksa pun menuntut mati. Tapi aku harus adil, aku juga harus melihat pledoi terdakwa. Sepertinya meringankan.

Rabu
Pulang kantor, capek! Kulihat anak-anak sudah tidur. Istriku sedang merapihkan baju yang akan kupakai besok. Saatnya mandi, menikmati kesegaran. Besok hari yang penting. Karena besok pagi tak ada waktu, aku coba berlatih. Anggap saja Shower sebagai pengeras suara. Lalu sabun, pasta dan sikat gigi yang berjejer bisu kuanggap sebagai penonton. ”Ehem-ehem…Atas pertimbangan dan bukti yang terungkap dalam persidangan, maka menjatuhkan saudara XXX dengan hukuman CERAI!” Lho, salah. Maklum, keseringan lihat infotainment. Coba lagi ya. ”Cek-cek sound, ehem…Dengan ini, maka menjatuhkan saudara XXX dengan hukuman MA…,”. Aduh ada apa lagi ini, ”Mah…mah…mata papa perih kena sabun. Kok shower-nya mati ya?!” Istriku menimpali dari luar. ”Pah…masak lupa sih. Kita kan sudah nunggak rekening air dua bulan,”.

Kamis
Hari itu tiba juga. Teman-temanku di Kejaksaan dari berbagai daerah berdatangan. Tiba saat keputusan. ”Maka dengan ini, menjatuhkan hukuman pada Saudara karena terbukti bersalah. Dengan hukuman pidana…,” Otakku berputar cepat. Nuraniku diuji. Atasanku atau keluarga Si korban. Berapa ya? Mati nggak ya? Aku masih berfikir. Sementara itu, penonton bernafas dalam-dalam dan menahannya. Tiba-tiba ada wangsit lewat. Bukan tukang pangsit lho ya. Katup mulutku akhirnya terbuka, ”Delapan belas tahun penjara. Dok, dok, dok!” Semua orang berdiri setelah palu kuketuk. Yang pasti, banyak orang kecewa dengan putusanku. Aku mencoba sebijak-bijaknya. Dulu aku pernah ”tega” menghukum mati bandar Narkoba. Kemudian aku juga pernah mengganjar anak mantan penguasa besar dengan 15 tahun penjara. Kurasa ini adil.

Jumat
Tadi malam aku tak bisa tidur pulas. Polisi pun menjaga ketat rumahku. Jelas, aku juga tak mau nasibku seperti Pak Syafiudin Kartasasmita. Tapi aku bersyukur, sahabatku yang lain malah menjatuhkan vonis ke mantan perwira menengah polisi. Iiih..takut. Kalau diriku, paling-paling diejek sama teman-teman seprofesi. Bahkan aku lihat di berbagai media massa dan blog-blog lepas yang isinya menyudutkan diriku. Sudah biasa. Tak ada sesuatu di dunia ini yang tak mengundang kontroversi. Mudah-mudahan putusanku bisa mendekati keadilan.

Sabtu
Seumur-umur aku tak pernah mendapat kasus seberat ini. Kadang-kadang aku berfikir, beban yang berat tak seimbang dengan gajiku. Gaji resmiku hanya 2 jutaan. Tapi jujur, aku terkenal sebagai hakim berintegritas tinggi. Aku pun tak mempan disogok. Hanya saja, aku sering ikut ajakan teman-teman pengacara untuk makan bareng di restoran mewah. Habis lapar sih, lagipula saya kan ditraktir mereka, hehehe.  

Minggu
Saatnya aku menemani anak-anakku menonton Doraemon di rumah mungilku. Jangan ganggu. Daaaghhh

Aku berfikir dalam. Jangan sekali-kali meremehkan Tuhan. Apalagi meminta bukti keberadaan-Nya. Lihat saja, apa yang aku alami sendiri. Orang yang seharusnya kuberi hormat ketika bertemu, eh…ternyata sekarang duduk di pesakitan. Dulu, ia atasanku di institusi tempatku bernaung. Sekarang, masa depannya tak lebih seperti debu bertebangan, diombang-ambing angin. Dan saya lah angin itu. Mau hukuman mati atau penjara 18 tahun bahkan bebas sekalipun, terserah diriku. Ia dan pendukungnya hanya bisa ngedumel. Hahaha. Tapi jangan senang dulu. Begitu cepat Tuhan merubah garis hidup seseorang. Jangan-jangan, kasus bosku ini de javu pada diriku.

Terinspirasi tulisan Zaim Uchrowi dalam kolom Resonansi Republika, sekitar 15 tahun yang lalu, dengan judul yang sama persis. Tetapi tulisan Zaim tetap jauh lebih baik daripada tulisan saya.

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Catatan Harian Seorang Hakim