ITS News

Selasa, 03 September 2024
26 Februari 2010, 11:02

China, Siapa Takut?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Telah datang jagoan baru. China, negara berpenduduk semiliar lebih ini telah lahir menjadi raksasa ekonomi baru. Menurut data World Trade Organization (WTO), besarnya nilai ekspor China sudah mampu menggeser Jerman di urutan pertama. Produk China tidak hanya membanjiri Asia, tapi sudah mampu membuat penguasa pasar kapitalis di barat sana ketar-ketir. Agaknya pemain-pemain lama di Eropa dan Amerika benar-benar sempoyongan akibat krisis global tahun 2008 kemarin.

Bahkan Jepang mengaku khawatir dengan ekspansi produk China. Terlihat dari pusat-pusat perbelanjaan di Jepang yang tidak malu-malu lagi menjual produk China. Kata penjualnya, selain harganya murah, kualitasnya juga masih bisa bersaing. Padahal selama ini, Jepang sebagai macan Asia yang tak terkalahkan. Prediksi saya, hal itu semakin menjadi dan Sang raksasa akan semakin kekar setelah dideklarasikannya pasar bebas dunia. Kehadiran China mirip ekspansi ekonomi Jepang pada pasar dunia sekitar tiga dekade lampau. Waktu itu, Jepang berhasil ”mengusir” barang-barang Eropa yang terkenal mahal dari pasar Asia. Kemudian perlahan menguasai pasar Eropa dan Amerika melalui inovasi teknologinya.

Bagaimana China sukses?
China sukses menggoda investor kelas kakap untuk membiayai industrinya. Hal itu sangat meyakinkan karena beberapa sebab. Pertama, pasar China sangat besar dilihat dari penduduknya. Penduduk yang besar juga memberi sumber daya manusia ”tak terbatas” bagi industri. Belum lagi jaringan etnis China yang menyebar di seluruh sudut bumi. Sebuah keuntungan geografis-ekonomis untuk melebarkan sayap.

Kedua, stabilitas negara yang menjamin keamanan berinvestasi. Saking amannya, kekuatan perlawanan yang dinilai menganggu, benar-benar dikunci mati. Di tingkat makro, pemerintah China bekerja sama dengan bank sentralnya bahu membahu menstabilkan tingkat inflasi. Bank-bank China juga terkenal dengan suku bunga kredit perbankan kecil, hanya 3-7 persen per tahun. Di Indonesia bisa 12-15 persen per tahun.

Belum infrastruktur yang menggegerkan, selama tiga dekade, China membangun jalan raya dengan total panjang 3,5 juta kilometer yang menghubungkan kota dengan pelosok desa dan hampir 4 ribu pelabuhan angkut tersebar di seluruh pesisir pantai China. Lantas, bagaimana Usaha Kecil Menengah (UKM) kita mau maju, wong buat nyaur utang ke bank saja sudah beratnya minta ampun ditambah distribusi terhambat karena jalan raya lubang-lubang.

Ketiga, visi kepemimpinan. Deng Xiapoing pada dekade 80-an mulai membuka keran untuk pembangunan ekonomi. Deng pernah menghadapi reses ekonomi selepas turunnya pamor komunisme/etatisme puritan. Akhirnya pemerintah menelurkan ide Township and Village Enterprise (TVEs), sebuah gerakan usaha kecil menengah. Hasil penelitian dan riset dari universitas dan lembaga penelitian, tak dibiarkan mengendap jadi sebuah buku. Pemerintah China menggelontorkan dana ke desa-desa untuk mewujudkan inovasi dari penelitian itu.

China juga melawan pattern negara komunis, dengan membuka diri pada investasi asing dengan perjanjian ketat tentang transfer teknologi apabila investor luar membuka lahan di China. Sehingga tak butuh beberapa dekade, akan berdiri puluhan perusahaan sejenis yang asli China, datang menyaingi dengan modal ”kreatif”. Mereka benar-benar membangun sebuah sistem apik untuk mendukung berdirinya negara berkonsep komunistik terbuka.

Ditambah peningkatan kualitas sumber daya manusia. China adalah negara yang paling giat mengirim warganya ke luar negeri untuk belajar dan berlatih. Tenaga akademisi dan teknisi tentulah menjadi modal besar menarik investor. Silahkan anda lihat data mahasiswa internasional yang ada di kampus bergengsi dunia macam Harvard, MIT ataupun Stanford. Urutan terbanyak pertama hampir dipastikan adalah mahasiswa China. Dari tangan-tangan orang yang berpendidikan dan terlatih itu pulalah lahir beragam inovasi. Termasuk beberapa energi alternatif yang sedang diusahakan mereka.

Produk China menyerbu, proses PHK massal akan terjadi lagi. Para pengusaha akan cari jalan pintas mencari keuntungan. Melihat harga barang China yang jauh lebih murah, tentu pengusaha lebih memilih untuk memotong proses produksi. Pengusaha seperti itu tidak lain seperti makelar barang, hanya bermain pada selisih harga dan mematikan eksistensi kreativitas produk (dalam negeri). Pekerja produksi tak lagi dibutuhkan karena semua barang dipasok dari China. Yang dibutuhkan hanyalah orang-orang administrasi, pemasaran, dan pelayanan dalam hal ini perawatan atau service.

Saya jadi ingat, dulu ada mobil Teknologi Industri Mobil Rakyat (Timor) yang digadang-gadang jadi mobil produksi dalam negeri. Mencoba meniru Volkswagen, idenya Hitler, yang artinya mobil rakyat dan memang cocok untuk rakyat. Terlanjur punya pola pikir pragmatis, Tommy Soeharto akhirnya mengambil jalan pintas, membeli mobil orang dengan menempelkan nama Timor. Ternyata, yang didatangkan tak lebih dari mobil rongsok asal Korea yang tadinya berlabel KIA. Lihat, harga Timor di pasaran sedan bekas, paling murah meriah, karena kualitasnya yang memang pas-pasan.  

Tempo hari, seorang pejabat kita mengatakan, ”Jangan terlalu khawatir dengan ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area),”. Menurutnya, ada juga produk kita yang bisa bersaing dengan produk China dan produk negara lain di pasar dunia. Kira-kira apa katanya? Dengan agak berbangga ia bilang ya seperti kelapa sawit, kakao, karet, batu bara. Kamar Dagang Indonesia (Kadin) memberi bukti lain, Indonesia hanya mengekspor kurang lebih 15 item yang kesemuanya barang mentah seperti Migas, CPO, Karet, kayu dll. Balasannya apa? China mengekspor ribuan item, dari sandal jepit sampai laptop.

Masya Allah…Dari zaman nenek moyang saya main kelereng, ya begitu. Itu sebabnya Indonesia dijajah. Kompeni hanya mengincar bahan-bahan baku itu untuk dinaikan nilainya dan kemudian dijual dengan perbedaan angka yang luar biasa tinggi. Bodohnya kita (saya), tidak pernah terbesit pikiran untuk mengolah bahan baku tersebut menjadi lebih bernilai.

Saya juga teringat, baru saja kemarin kejadian. Ketika itu teman-teman sedang ada pesta di kantor redaksi. Biasa, pesta kelulusan. Kami pun mengundang ”tetangga-tetangga” salah satunya JICA (Japan International Cooperation Agency) yang memang berkantor di lantai 6 Perpusatakaan juga. Ngobrol ngalor ngidul dengan bahasa Inggris yang akhirnya sampai pada sebuah pertanyaan.

Wanita Jepang itu menanyakan pada teman saya. Berhubung TOEFL saya jelek, jadi kira-kira artinya begini.
”Dek, mau kemana setelah lulus nanti,”
“Mau bekerja dulu Tante,” kata teman saya sambil senyum-senyum kegirangan. Biasa, freshgraduate syndrome, lagi senang-senangnya membayangkan pekerjaan nyaman, gaji besar, rumah tipe 200, punya mobil mewah dan tentunya istri cantik.
“Terus, nanti kerjanya dimana? Tidak ingin melanjutkan S 2 ta?” katanya sambil sesekali mengunyah nasi kuning bancaan yang katanya lezat itu.
“Yah…nanti dulu lah Bude. Ada pikiran sih mau S 2. Tapi saya mau kerja dulu. Mudah-mudahan dapet perusahaan minyak multinasional," tuturnya sambil mempertahankan senyum sampai giginya kering.
“Oh…ngono toh le!" Hening sejenak.
 Kemudian teman saya balik bertanya. ”Jeng…kalau di Jepang itu, apa ya nama perusahaan minyaknya?”
Sambil mesam-mesem, Mbak Jepang ini menjawab,”LeTole…Jangankan perusahaan minyak. Wong…minyak ae awak dhewe iki sek impor kok. Kita beli dari Indonesia dan negara-negara middle east. Terus kita olah lagi. Baru deh kita ekspor,” tutupnya.
”Oh…,”.

Akhirnya kita hanya berani menggertak. ”China, Siapa takut?” diucapkan dengan bibir dan anggota tubuh lainnya bergetar. Ya, Indonesia tidak akan berani dengan hegemoni China, mengingat begitu kuatnya mereka membangun sistem. Jangankan China, India saja tak mampu kita langkahi. Jangankan India, Malaysia yang penduduknya hanya 10 persen dari kita pun tak mampu kita saingi. Mudah-mudahan, tulisan ini adalah retorika pesimisme konstruktif.

Tuntutlah ilmu walau ke negeri China

Bahtiar Rifai Septiansyah
Mahasiswa Teknik Perkapalan
Terinspirasi dari tulisan Andi Suruji dalam kolom politik-ekonomi Kompas.

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > China, Siapa Takut?