Dalam sebuah pertemuan yang melibatkan seluruh jajaran pengurus Ikatan Alumni ITS (IKA ITS) tahun 2009 kemarin, Pak Probo pernah berujar bahwa 20% lebih dari seluruh mahasiswa ITS ter-cover oleh beasiswa. Tentunya hal ini merupakan sinyal positif untuk para calon mahasiswa ITS. Setidaknya ada solusi praktis untuk memantapkan pilihan ke dunia pasca sekolah yang identik dengan high cost.
Keberadaan beasiswa dipercaya menjadi salah satu alternatif untuk meminimalisasi dampak negatif dari status Badan Layanan Umum (BLU) yang sudah diterapkan di ITS. Selain itu, ada beberapa beasiswa yang menyediakan program-program plus yang tidak bisa didapatkan mahasiswa di lingkungan kampus. Tengok saja beasiswa model asrama, pesantren, komunitas atau yang khusus ditujukan para aktivis organisasi.
Namun keberadaan beasiswa saat ini ada yang cenderung aneh dan unik. Bukan pada model beasiswanya namun dari penerima beasiswa tersebut. Jika memang keberadaan beasiswa ditujukan sebagai salah satu alternatif pembiayaan kuliah. Tentunya prioritas pertama dan paling utama bagi penerimanya adalah mahasiswa yang kurang mampu dan dibawahnya. Jika hal ini dibenarkan, maka fenomena di bawah ini sungguh ironi.
Beasiswa Konglomerat
Sebagian besar beasiswa yang ada bekerjasama dengan ITS memberlakukan syarat IPK minimal 3, surat keterangan tidak mampu, tidak sedang menerima beasiswa dari pihak manapun serta persyaratan administratif lainnya. Semua persyaratan ini merupakan fungsi seri, artinya kesemuanya harus terpenuhi. Namun pada kenyataannya, banyak penerima beasiswa tidak memenuhi semua persyaratan di atas bahkan menurut saya ada yang seharusnya tidak berhak menerimanya.
Sering saya dapati ada mahasiswa yang dana beasiswa yang ia dapatkan bukan untuk memenuhi kebutuhan kuliahnya. Namun untuk membeli Handphone baru atau menduakan atau mentigakannya, membeli laptop baru atau bahkan ada yang digunakan untuk ber-shopping ria di Mall. Saya kira itu bukanlah kebutuhan primer seorang mahasiswa, malah cenderung pada kebutuhan tersier.
Menurut pengakuan mereka sendiri, tujuan mereka mengajukan beasiswa adalah untuk menambah uang saku. Atau untuk sekedar mengisi kuota beasiswa yang masih kosong. Tentunya hal ini sudah menyeleweng dari tujuan utama adanya beasiswa dalam institusi pendidikan. Atau memang ada model beasiswa untuk konglomerat?
Cerita Lain di ITS
Sementara itu masih banyak kisah ironi yang dialami mahasiswa ITS. Ada mahasiswa yang sudah mendapatkan beasiswa namun hanya menutupi kebutuhan SPP-nya saja. Sedangkan untuk kebutuhan pokok selama hidup di Surabaya, dia harus bekerja sampingan. Sejak awal kuliah, orang tuanya sudah tidak bisa membantu keuangan kuliahnya karena biaya sekolah adik-adiknya lebih utama. Ah, andai saja ada dua beasiswa yang bisa dia ambil, tentunya dia bisa fokus pada kuliahnya.
Cerita lain dari teman saya. Semenjak semester pertama kuliah, dia harus merangkap tanggung jawab sebagai kepala keluarga dengan tiga adiknya yang masih sekolah. Selain kuliah, ngemong ketiga adiknya, dia juga harus bekerja membantu Ibu setiap harinya. Saat musim pergantian semester tiba, dia harus cari pinjaman sana sini untuk membayar SPP-nya. Dia bercerita bahwa tidak mungkin mencari beasiswa karena IP-nya tidak mencukupi. Ah, andai saja IP rendah juga bisa mendapatkan beasiswa.
Pengalaman lain dari kawan saya. Dia bercerita bahwa kuliah ini dia hanya bermodal nekat. Orang tuanya yang sudah sepuh, tidak memungkinkan lagi untuk bekerja. Dia adalah anak bungsu sementara kakaknya yang semuanya perempuan sudah berkeluarga. Tentunya kakak perempuannya dinafkahi oleh suaminya alias tidak bekerja. Alhasil tidak ada pihak keluarganya yang bisa dijadikan sandaran biaya kuliahnya. Hingga saat ini beasiswa dia peroleh sejak awal kuliah mulai tidak bisa mencukupi kebutuhan kuliah yang semakin kompleks. Akhirnya, mau tidak mau dia harus mancari alternatif biaya kuliah dengan bekerja walaupun harus sering pulang larut malam.
Masih banyak cerita seperti itu di kampus perjuangan ini. Bukan bermaksud untuk mendramatisasi kenyataan yang ada. Namun jika diurutkan dalam skala prioritas, pastinya sudah jelas siapa yang semestinya jauh lebih berhak dan lebih membutuhkan uluran dari dua realita kontradiktif di atas. Jangan sampai yang jatuh malah diinjak-injak. Sementara yang diatas justru berjingkrak-jingkrak ria.
Jika adanya surat keterangan tidak mampu saja bisa dilangkahi, kenapa justru yang benar-benar tidak mampu malah dilangkahi? Setali tiga uang, syarat IPK pun demikian. Angka 3 seolah menjadi barang keramat yang tidak bisa diganggu-gugat. Dua mahasiswa yang mempunyai kemampuan sama dengan fasilitas dan kesempatan yang berbeda tentunya tidak akan bisa menghasilkan output yang sama. Seperti kata dosen saya, “Ada dua siswa yang sama-sama pandai. Yang satu anak seorang petani yang belajar di bawah lampu teplok, sedangkan satunya lagi hidup di kota dan mengambil les privat. Secara rasional, nilai ulangan dari keduanya pun pasti tidak samaâ€.
Klasifikasi Sesuai Tujuan
Saya jadi teringat dengan terobosan baru yang dilakukan oleh Bu Risma (Kepala Bappeko Surabaya). Beliau membuat klasifikasi penduduk miskin dengan banyak parameter. Indikasi tersebut antara lain kesehatan rumah, kecukupan akses pendidikan, kecukupan akses kesehatan, dan kecukupan akses informasi. Kurang salah satu akses itu saja, orang dikategorikan miskin. Hal ini dilakukan karena semakin banyaknya warga Surabaya yang mendadak miskin.
Dan sebenarnya kategori penerima beasiswa pun bisa diklasifikasikan sama seperti atau mirip dengan di atas. Dibuat detail dan merujuk pada tujuan utama. Misalkan dengan menggunakan parameter kondisi finansial keluarga, nilai akademik, kemajuan belajar, kecukupan kebutuhan pokok dan lain-lain. Jika salah satu kondisi tersebut tidak memenuhi, maka dia berhak mendapatkan beasiswa. Andai kondisi ini bisa diterapkan, tentu tidak akan ada cerita mahasiswa yang bingung mencari pinjaman untuk membayar SPP sambil menunggu adiknya yang akan operasi gegar otak.
Nur Huda
Mahasiswa Teknik Mesin 2007
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi