ITS News

Selasa, 03 September 2024
16 April 2010, 19:04

Emansipasi atau Ironi?

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Ibu kita kartini, putri sejati, putri Indonesia, harum namanya…
Ibu kita kartini, pendekar bangsa, pembela kaumnya, untuk merdeka….

Cuplikan lagu ini saya dengar sewaktu saya menjemput adik saya di TK kecil barat kota Blitar. Lagu  yang ini didendangkan oleh sekelompok anak TK ini mengingatkan saya pada Peringatan Hari Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April nanti.

Siapa yang tak kenal sosok R.A Kartini yang hidup di abad ke 19? Riwayat hidup pengarang buku Habis Gelap Terbitlah Terang ini mampu mengubah kehidupan wanita Indonesia, membuat wanita kelahiran Jepara ini mempunyai tempat tersendiri di hati kaum hawa Indonesia.

Sebenarnya, tidak hanya Kartini saja pahlawan yang mengangkat derajat wanita, masih ada .Dewi Sartika,yang berhasil mendirikan sekolah pertama untuk wanita (sekolah istri)di tahun wafatnya Kartini. Kegigihan mereka untuk menjadikan wanita mempunyai posisi terbaik bukan hanya omongan belaka, namun diwujudkan dengan tetesan peluh yang mengiringi kerja keras mereka.

Lalu, bagaimana kelanjutan perjuangan mereka saat ini ? Kedudukan wanita saat ini setara dengan pria. Tidak ada perbedaan gender yang membatasi. Contoh riilnya dapat kita temui di kampus perjuangan kita.

Dulu, banyak yang mengatakan bahwa ITS adalah kampusnya lelaki, namun seiring bejalannya waktu, pendapat itu mulai goyah, kaum hawa mulai merambah di setiap jurusan yang ada, bahkan di jurusan Teknik Mesin yang sejak beberapa tahun lalu memberdayakan mahasiswa perempuan dalam seleksi PMDK.

Fenomena Wanita Karir

Fenomena wanita karir atau wanita  pekerja dan bahkan menjadi tulang punggung keluarga memanglah bukan hal baru. Banyak wanita yang mulai berdedikasi tinggi dalam peranannya di keluarga, masyarakat bahkan bangsa dan Negara.

Beberapa tokoh wanita, telah merajai dunia politik dan pemerintahan, mulai dari Megawati, dan beberapa menteri wanita lain sampai Maria Eva yang mencalonkan driri sebagai Bupati Sidoarjo dan yang tidak kalah menghebohkan yaitu pencalonan Julia Peres sebagai Wakil Bupati Pacitan.

Fenomena ini (termasuk dua fenomena heboh terakhir) telah menunjukkan bahwa peranan wanita di Indonesia telah merangkak naik. Namun, kita tidak bisa menilai dari satu sisi saja. Tengoklah dari sisi perjalanan “wanita karir” lain, yaitu nasib wanita yang menjadi pahlawan devisa negara. Mereka rela merantau ke negeri orang, meninggalkan sanak famili dan berkelana dengan nasib  yang tidak menentu.

Jika ada bahaya yang mengancam, siapa yang melindungi mereka ? apakah suami atau keluarga mereka ? tentunya bukan, atau PJTKI yang mengirim mereka ? itu mustahil, apalagi menggantungkan keselamatan mereka pada pemerintah, yang sejauh ini belum bekontribusi nyata dalam mengatasi bahaya laten ini.

Ironi Wanita Karir

Wanita bagaikan sebuah bola kaca, apabila didekap terlalu kuat, maka bola kaca itu akan pecah, namun apabila kita membiarkannya, ia akan menggelinding. Perumapamaan itulah yang menggambarkan sisi lain kehidupan wanita yang perlu dilindungi.

Kekerasan pada wanita masih banyak kita dengar. Apalagi saya sempat membaca artikel di Jawa Pos edisi Minggu, 11 April 2010 yang berjudul “ Rela Patah Tulang demi Jaga Kehormatan.” Sungguh dramatis perjuangan Tenaga Kerja Wanita (TKW) dalam mengarungi cobaan hidupnya di negeri orang.

Dikisahkan, terdapat klinik khusus di bandara Soekarno Hatta yang bertugas memberi pertolongan pertama pada buruh migran yang datang. Dan diantaara ratusan buruh migran yang datang, terdapat tiga orang ibu – ibu yang menunggu rujukan dari Rumah Sakit Polri, ketiganya mengalami patah tulang di pergelangan kakinya. “Ibu – ibu ini rela mengelami patah tulang demi menjaga kehormatan agar tidak diperkosa majikan.”

Di luar sana, masih banyak wanita – wanita Indonesia lain yang mendapat perlakuan kasar dari majikannya. Lantas apakah langkah nyata yang dilakukan oleh pemerintah?

Wanita, hingga kini belum mendapatkan haknya untuk memperoleh jaminan hukum sebagai pekerja. Padahal TKW dan TKI pada umumnya adalah penghasil devisa terbesar bagi pemerintah negeri ini, setelah devisa dari sektor Minyak dan Gas Bumi (Migas). Namun, nyata – nyata pemerintah masih menelantarkan mereka. Dari hari ke hari, permintaan tenaga kerja semakin naik, tak heran jika jumlah penyalur tenaga kerja mulai menjamur dan tidak semuanya mempunyai izin alias illegal.

Ironi yang sangat nyata, mengingat kontribusi nyata pahlawan devisa ini bisa dinikmati oleh negara. Bank Indonesia selama tahun 2009 melaporkan devisa dari pengiriman tenaga kerja Indonesia mencapai Rp82 triliun. Bahkan, menurut Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNT2TKI), Moh Jumhur Hidayat, angka ini tidak termasuk gaji pekerja yang dibawa langsung saat pulang maupun yang dititipkan kepada kerabat dekatnya di tanah air.
 
Harapan yang tentunya terbesit di benak wanita adalah lebih ditekankannya perlindungan terhadap kaumnya, baik di luar ataupun di dalam negeri. Undang – undang yang mengaturnya pun harus jelas dan disertai dengan sanksi konkret bagi yang melanggarnya.

Teringat kata – kata mutiara yang yang diucapkan salah seorang kawan, mengapa wanita diciptakan dari rusuk kiri ? Karena bila diciptakan dari tulang ubun, terlalu berbahaya membiarkannya dalam sanjung dan puja. Tidak diciptakan dari tulang kaki, karena terlalu nista untuk diinjak dan diperbudak. Tetapi diciptakan dari rusuk kiri yang dekat hati untuk dicintai dan dekat tangan untuk dilindungi.

Untuk Kartini, Dewi Sartika dan pahlawan – pahlawan wanita lainnya, terimakasih atas perjuangan dan tetes peluhnya, engkaulah salah satu alasan mengapa kami bangga menjadi seorang wanita.

Kurnia Luthfi Wahyu Fendini

Mahasiswa Teknik Informatika PENS-ITS
 

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Emansipasi atau Ironi?