Gugatan terhadap Unas bermacam-macam landasan permasalahannya. Mulai dari tingkat pendidikan yang tidak setara di tiap daerah yang ‘dipaksa’ untuk menjadi setara setiap pelaksanaan Unas.
Bahkan ternyata materi yang dipelajari untuk Unas tidak sama dengan yang selama ini dipelajari di sekolah. Akibatnya, menjelang semester kedua di tahun terakhir SMA, sekolah menggiatkan bimbingan belajar kusus untuk Unas. Sementara itu, siswa tetap belajar sesuai kurikulum sekolah untuk persiapan Ujian Akhir Sekolah (UAS).
Terkadang, sekolah menerapkan biaya tambahan untuk bimbingan tersebut. Ini berarti, bagi siswa yang mungkin untuk membayar SPP saja sudah susah, dipersulit lagi dengan biaya bimbingan tersebut. Tetapi yang jelas, banyak calon peserta Unas yang kehilangan waktu untuk beraktifitas di luar pelajaran sekolah.
Pernah mendengar kisah para siswa yang menjadi ‘korban’ Unas? Beberapa siswa yang sudah diterima melalui beberapa jalur non-reguler, seperti PMDK, di tingkat perguruan tinggi ternyata tidak lulus Unas, sehingga gagal memasuki perguruan tinggi tersebut. Padahal tak jarang dari siswa-siswa tersebut yang menduduki peringkat tinggi di kelas mereka. Ternyata, Unas gagal untuk merangkum hasil belajar mereka selama tiga tahun terakhir.
Permasalahan ketiga, penilaian Unas sangat terbatas, hanya pada lima mata pelajaran. Itu pun tidak mencakup praktek, hanya teori. Standar penilaian Unas yang terus ditingkatkan dari tahun ke tahun juga menciptakan suasana belajar yang memberatkan bagi para siswa. Alih-alih menjadi sebuah momen terakhir bersekolah yang bisa dibanggakan, Unas justru menjadi sebuah momok bagi siswa.
Permasalahan keempat dilihat dari biaya yang dikerahkan untuk Unsa. Tahun lalu, di tingkat nasional sendiri total biaya untuk pengawasan mencapai Rp 139 miliar, dengan anggaran yang dikeluarkan sekitar Rp 83 miliar. Di Jatim, anggaran yang dinyatakan ideal berkisar sekitar Rp 20 miliar, dengan dana yang turun sebesar Rp 8,25 miliar. Ini masih disertai wanti-wanti bagi sekolah untuk tidak memungut biaya tambahan untuk pelaksanaan Unas. Bagi sebagian pihak, mahalnya biaya pengawasan ujian saja menguatkan keraguan terhadap kredibilitas Unas.
Sebenarnya ada permasalahan lain yang terkadang tidak dikaji, atau mungkin enggan dikaji karena sudah menjadi sebuah persoalan yang meluas. Biaya yang begitu besar ternyata masih belum cukup untuk membeli kejujuran para siswa maupun pelaksana. Meskipun dengan penjagaan yang ketat di dalam maupun di luar kelas, bahkan mendatangkan dosen dari perguruan tinggi, berbagai kecurangan tetap saja terjadi saat ujian.
Sebagian dari kita mungkin sudah mengalami sendiri ketidakjujuran menjelang Unas. Siswa yang berhasil mendapat bocoran jawaban, jawaban yang sengaja diedarkan oleh guru maupun pengawas sendiri, atau situasi-situasi yang sengaja di-setting untuk ‘memungkinkan’ saat ujian. Belum lagi lembaga bimbingan belajar yang jaminan kelulusan ujiannya ternyata merupakan seperangkat jawaban ujian.
Penulis Iman Supriyono, dalam bukunya Guru Goblok Ketemu Murid Goblok, bercerita bahwa dalam sebuah kesempatan ia pernah menanyakan perwakilan dari beberapa SMP dan SMA, berapa banyak dari mereka yang berani menerapkan seluruh ujian di sekolah tanpa pengawas? Jawaban mereka sangat mencengangkan, hanya dua atau tiga dari sekitar 50 orang.
Bahkan, begitu meluasnya permasalahan tersebut, para siswa tidak menganggapnya sebagai sebuah bentuk kecurangan lagi, melainkan sebagai sebuah kebutuhan. Lama setelah ujian tersebut berhasil ditaklukkan, keberhasilan mereka masih dikenang dari bagaimana mereka bisa sukses memperoleh ‘jawaban dari sumber-sumber yang tepat’.
Persoalan kejujuran ini menjadi sangat penting karena menyangkut pribadi dan perilaku yang melekat pada sumber daya manusia, pada sebuah generasi. Kalau di ujian sebesar Unas saja kita berani berbuat curang, maka jangan heran dengan tingkat kecurangan di lapangan kerja.
Kita bisa menelaah kembali akar kecurangan saat ujian ini. Persoalan tersebut datang dari keputusasaan siswa dan para pelaksana. Sebuah anggapan, bahkan mungkin kepercayaan bahwa siswa tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melaksanaan ujian, meskipun telah digembleng oleh para guru. Padahal bagi mereka Unas adalah kriteria wajib untuk lulus.
Jadi, persoalannya kembali pada sistem. Benarkah sistem Unas pada dasarnya memang bukan yang paling tepat?
Beberapa pasal dari UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 jelas menyebutkan bahwa pendidikan nasional juga meliputi proses pembelajaran, bukan hanya hasil akhir. Selain itu sebenarnya telah ditetapkan pula bahwa penilaian terhadap siswa dilakukan oleh para pendidik sendiri.
Namun apa yang terjadi? Penilaian terakhir siswa dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak pernah berhubungan dengan siswa secara langsung. Para guru kecolongan hak mereka untuk menentukan keberhasilan siswa mereka sendiri.
Ini berarti, Ujian Akhir Sekolah (UAS) sebenarnya lebih penting daripada Unas. UAS-lah yang seharusnya menjadi patokan kelulusan siswa. Ini sebenarnya juga masuk akal bila mengingat Indonesia adalah negara yang sangat besar. Belum lagi jarak geografis yang membatasi dan belum sama ratanya standar di setiap daerah. Apalagi ditambah dengan kondisi sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda-beda.
Negara Australia yang ukuran geografisnya lebih kecil dari Indonesia tidak memberlakukan sebuah uijian kelulusan nasional bagi para siswanya. Ujian akhir ditentukan sendiri oleh setiap state atau negara bagian. Kadang-kadang memang terjadi perbedaan standar antar state sehingga pada beberapa kasus tertentu, siswa yang ingin menempuh pendidikan tinggi di state yang berbeda terlebih dahulu mengikuti sebuah ujian penyetaraan.
Indonesia sudah menetapkan otonomi daerah. Apakah tidak mungkin masalah pengujian pendidikan tingkat menengah diserahkan langsung pada setiap daerah? Untuk ujian penyetaraan masuk perguruan tinggi, bukankah kita sudah punya ujian SNMPTN (disamping beragam ujian mandiri yang ditawarkan oleh pihak institusi).
Banyak pihak yang menentang pelaksanaan UNAS menyarankan diberlakukannya kembali sistem EBTA dan EBTANAS. Salah satunya adalah Darmaningtyas, seorang pengamat pendidikan nasional. Alasannya karena kedua ujian tersebut menanggapi dengan baik kebutuhan baik pemerintah maupun masyarakat (siswa). EBTANAS menjadi patokan bagi pemerintah untuk menetapkan standar pendidikan, sementara EBTA menjawab kebutuhan siswa untuk lulus sekolah.
Sekarang, bila sistem alternatif tersebut telah mulai dikaji, pertanyaan yang tersisa adalah, siapkah masyarakat kita? Beranikah para murid, pelaksana ujian dan seluruh pekerja di bidang pendidikan melaksanakan sistem dengan penuh kejujuran?
Lisana Shidqina
Mahasiswi Jurusan Arsitektur angkatan 2009
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi
Kampus ITS, ITS News — Dalam upaya memperkenalkan pentingnya sertifikasi halal, tim Kuliah Kerja Nyata pengabdian Masyarakat (KKN Abmas)