ITS News

Selasa, 03 September 2024
24 Mei 2010, 02:05

Analisa Pencurian

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Jika kita menganalisa tentang kasus pencurian ini, memang tidaklah mudah. Oleh karena itu mari kita analisa kata “pencurian “ dalam kamus bahasa Indonesia. Dalam KBRI, kata dasar “curi” berarti mengambil yang bukan hak miliknya. Sedangkan kata yang bersinonim dengannya yaitu tipu yang berarti membohongi, sedangkan rompak memiliki arti mengambil paksa dan jarah yang bermakna mengambil semuanya.

Pencurian often happen alias sering terjadi. Jika kita sekolah di zaman SD dulu hingga sekarang, aksi  pencurian masih berkeliaran. Maka tidak heran jika pelaksana aktivitas buruk tersebut masih terdapat di skala institusi. Pencurian tidak hanya terjadi di skala antar personal, tetapi juga skala institusi (sekolah, lembaga bahkan negara ). Untuk kasus kecil biasanya mereka cenderung membiarkan, menginterogasi bahkan menyumpahi. Hal ini biasa kita jumpai. Sebut saja di lingkungan asrama mahasiswa ITS, anda mungkin akan menjumpai kalimat berikut di salah satu blok. “Saya sumpahi si maling miskin, kudisan tujuh turunan,“ Yah… itulah fakta yang terjadi di negeri kita.

Sedangkan untuk kasus besar, mungkin masih banyak yang belum terekpsos di tingkat lembaga (sekolah, perusahaan, pabrik dll ). Dan jikalau terjadi mereka hanya akan memanggil aparat dan melakukan tindakan preventif. Tetapi untuk skala institusi negara, kayaknya ini adalah biang atau muara pencurian terbesar di sepanjang sejarah Indonesia. Bagaimana tidak uang rakyat 300 T melayang oleh segelintir orang hanya di Departemen Perpajakan. Belum yang lain.

Inilah fakta yang paling mengerikan. Bagaimana mungkin pencurian dijadikan aksi untuk memperkaya diri yang notabene-nya adalah sesuatu yang sangat memalukan bahkan haram. Dari berbagai fakta yang telah dibeberkan, yang perlu digaris bawahi yaitu baik pencurian skala kecil maupun besar wajib diadili atau dikenai hukum jika benar telah terbukti.

Pemimpin negara harus tegas dalam menghukum pelaku pencurian baik personal maupun jaringan. Dan hukuman harus sesuai keputusan, apakah hukuman mati atau permanen. Jumlah hasil korupsi yang besar harus menunjukkan hukuman yang lebih besar pula. Bukan seperti sekarang! pencuri 3 biji kakao dihukum 5 tahun. Sedangkan Anggodo mencuri 3 M dihukum 13 tahun. Sebuah perhitungan yang tidak sesuai dengan biji kakao seharga dua ribu rupiah.

Oleh karena itu jika kita melempar pertanyaan ke masyarakat tentang hukuman para koruptor (pencuri besar  kira – kira akan muncul jawaban demikian, “Mereka telah memakan uang rakyat, mati saja mereka !“.

Jika hukuman para koruptor = mati. Saya juga setuju. Tapi berapa batasan antara hukuman mati dengan  permanen Jika kita melihat sistem sanksi dalam Islam, maka kita akan menemukan jawaban yaitu jika telah melebihi kadar 42,5 gram emas alias lebih dari  8, 5 juta maka akan dikenakan sanksi cacat permanen pada tangan (sebagai bentuk peringatan bagi yang lain dan jera bagi diri sendiri ). Sedangkan untuk hukuman mati, jika ia memakan harta negara jauh melebihi kadar tersebut dan pertimbangan pemimpin menyatakan demikian, maka hukuman mati pantas bagi mereka. Banyak pula masyarakat yang meresahkan hukuman “sel” karena memang tidak terbukti efektif mencegah tindak kejahatan berikutnya. Seperti halnya yang dilansir di harian umum tentang aksi bandar narkoba yang dapat mengatur kegiatan pengedaran dalam sel.

Memang, ada 2 penyebab pelaku pencurian yaitu kelaparan dan kemiskinan, dan untuk memperkaya diri. Sehingga pemimpin negara harus jeli menangkap realita. Jangan sampai masyarakat kelaparan hingga mencuri. Oleh karena itu seorang pemimpin harus dapat melihat miss factor ( faktor yang hilang ) dalam sebuah sistem kemasyarakatan.

Memang, hidup di zaman sekarang serba tidak tenang !

Nuryati
Mahasiswa Biologi angkatan 2006

Berita Terkait

ITS Media Center > Opini > Analisa Pencurian