ITS News

Kamis, 14 November 2024
22 Juni 2010, 16:06

Hijau Indonesiaku, Hijau ITS-ku

Oleh : Dadang ITS | | Source : -

Universitas Trunojoyo? Saya memang mengenal tempat itu dengan baik. Sejak masih bernama Universitas Bangkalan (Unibang) kampus tersebut telah menjadi tempat bermain saya. Yang membuat saya tertegun adalah kata-kata ‘asri’. Benarkah itu?

Universitas Trunojoyo, dengan koleksi pepohonan tinggi di sekitar jalan raya yang menuju ke sana, serta pohon-pohon flamboyan di sekitar kampus dengan diameter begitu lebar mereka tampak seperti sebuah payung warna-warni raksasa. Kampus tersebut berbatasan dengan sebuah hutan jati di bagian belakangnya. Ada pula lapangan tempat para mahasiswa maupun orang sekitar bermain bola dengan rumput yang hijau dan lebat. Ya, tempat itu memang asri.

Tidak lama saya berpikir,“Ah, tapi di ITS juga banyak pohonnya," ITS juga termasuk salah satu areal Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Surabaya. Bagi beberapa orang, kampus kita ini terkenal dengan area ‘hutan’nya. Teman saya pernah menyebut istilah ‘mbabat alas’ untuk mendeskripsikan rute berjalan kaki dari gedung PWK menuju Despro. Tetapi apakah mahasiswa ITS sendiri menganggap kampusnya asri?

Ternyata banyaknya jumlah tanaman masih belum cukup untuk mendukung apresiasi sebagai kawasan yang ‘asri’. Padahal seharusnya eksistensi berbagai keanekaragaman hayati selaras dengan jiwa alamiah kita sebagai makhluk hidup.

Seperti kata-kata Ridwan Kamil, seorang arsitek terkenal dalam kunjungannya beberapa waktu lalu ke ITS, “Konsep green (kehidupan hijau) sebenarnya sudah harus menjadi bagian dari hidup kita sejak lahir.” Namun generasi Indonesia telah mengalami sebuah krisis kebudayaan sehingga tidak mampu mengapresiasi alam sekitar mereka, tidak bisa mewujudkan kehidupan yang selaras dengan alam.

Ia benar. Semasa kecil kita mungkin memang telah hidup dengan bermain-main di alam terbuka, tetapi lambat-laun kita diperkenalkan pada budaya kehidupan serba kendaraan bermotor, membuang sampah kita ke sepetak tanah kosong dan membakarnya, menggunakan banyak sekali produk dari plastik… bahkan untuk membungkus makanan kita perlu selembar kertas tahan air dan kadang ditambah dengan koran (padahal kita punya banyak godong pisang, yang selain lebih higienis juga lebih murah dan jelas ramah lingkungan).

Tampaknya alam di Indonesia, meskipun melimpah dan banyak variasinya, sering disia-siakan. Padahal bila kita ke luar negeri kita sering terheran-heran dengan kepiawaian penduduk negara tersebut dalam menata alamnya, tanpa menyadari kekayaan alam kita sendiri. Mereka justru iri dengan kita yang tongkat kayu dan batu pun jadi tanaman, sementara mereka bersusah-payah mencari-cari teknologi agar sekedar tanaman mereka dapat bertahan hidup selama setahun penuh. Sungguh ironis.

Memang cukup lucu, bila kita melihat kembali, berbagai usaha kita memusnahkan alam kita sendiri. Sejak dahulu, nenek moyang kita hidup bersama alam. Selalu ada tradisi adanya semacam kebun di setiap petak hunian, dengan penataan yang bermacam-macam untuk tiap daerah, seperti misalnya taneyan lanjeng khas orang-orang Madura.

Lalu mengapa kini kita begitu bersemangat untuk menumpuki tanah kita dengan pasir dan batu, bahkan permukaan tanah pun kita tutupi rapat-rapat dengan paving. Gedung-gedung tinggi, mall, penthouse, apartemen, hingga rumah-rumah minimalis bermunculan, dengan hanya strip tanah kecil bagi tanaman, itupun hanya sekadar penghias.

Padahal para arsitek dari luar negeri yang membangun di negara kita bersusah payah menciptakan bangunan yang ramah lingkungan. Seperti gedung Intiland yang hingga puncak tertingginya tidak sepi dari tanaman. Sayangnya, ya, arsiteknya adalah Paul Rudolph, seseorang berkebangsaan Amerika Serikat. Atau juga Green School di Ubud, Bali, yang sepenuhnya terbuat dari bambu, didirikan oleh tim dari luar negeri.

Terbayang kembali ketika saya pernah berkesempatan menyaksikan kehidupan di sebuah negara di luar negeri. Sejak kecil, anak-anak diajari untuk mencintai alam. Hampir di setiap wilayah perumahan terdapat sebuah taman. Taman tersebut terbuka, dan sangat luas, dapat digunakan untuk bermacam permainan, berlari-lari, atau sekadar berpiknik. Ada pula yang dilengkapi dengan areal permainan anak-anak.

Banyak keluarga di sekitar perumahan tersebut yang menghabiskan waktu mereka bersama anak-anak, maupun kawan mereka sendiri di taman-taman tersebut. Kadang mereka juga membawa binatang peliharaan mereka, umumnya anjing.

Tidak diperlukan perawatan khusus untuk taman tersebut. Di sekeliling taman ditanami pohon-pohon besar, yang dapat tumbuh sendiri. Selebihnya hanyalah rumput yang sesekali dipangkas pendek. Di musim panas, mesin-mesin penyemprot di permukaan tanah memastikan agar rumput-rumput taman itu tetap hijau dan segar.

Di sekolah-sekolah, bahkan di playgroup, diadakan kegiatan rutin di alam terbuka. Kegiatannya bisa bermacam-macam. Kadang-kadang guru yang menyaksikan murid mereka bosan belajar di dalam kelas akan mengajak mereka untuk mengadakan kelas di luar.

Pada saat istirahat, tidak ada murid yang berdiam di dalam kelas. Semuanya diajak untuk bermain di luar. Sehingga sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk menghabiskan waktu di luar dan sekaligus belajar untuk mengapresiasi alam sekitar, seperti tidak membuang sampah sembarangan, atau merusak tanaman yang ada.

Kebiasaan tersebut berlanjut hingga mereka dewasa. Di kampus-kampus selalu ada beberapa taman yang digunakan para mahasiswa untuk mengisi waktu senggang mereka. Ada yang bermain bola, makan bersama, belajar, membaca, atau hanya tidur-tiduran di taman-taman tersebut. Orang-orang yang bekerja juga bisa menghabiskan waktu istirahatnya, atau waktu setelah mereka habis bekerja di taman-taman tak jauh dari tempat kerja mereka.

Adalah Tri Rismaharini, Walikota Surabaya terpilih, yang dikenal sebagai orang yang gigih memperjuangkan RTH dan taman-taman di sekitar Surabaya ketika ia menjadi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Pemkot Surabaya. Usahanya berhasil membuat Surabaya mempunyai total taman dan RTH sebanyak 3 hektar lebih yang dipuji-puji oleh para ahli tata kota Kyushu, Jepang. Kini taman-taman mulai menjadi kawasan bagi kegiatan penduduk Surabaya, bukan hanya sebagai show-off beberapa petak tanah hijau saja.

Namun ternyata itu saja belum cukup. Membangun taman dan RTH memang merupakan hal yang sangat penting. Tetapi yang perlu diingat, seperti kata Ridwan Kamil, adalah membentuk budaya mencintai alam, itulah yang lebih penting. Bila perlu, kita sebaiknya mengadopsi filosofi hidup para masyarakat Bali pecinta alam sebagai sebuah budaya nasional.

Sehingga taman bisa saja menjadi pusat berbagai macam aktifitas; orang bisa berjualan, berjalan-jalan, berolahraga, bermain-main di taman. Tetapi tanpa harus meninggalkan sampah di sekitarnya, atau merusak tanaman yang ada. Taman dan ruang hijau di manapun seharusnya bisa menjadi sesuatu yang membahagiakan, yang melegakan, bahkan inspiratif, bagi masyarakat sekitarnya.

Kehijauan alam tidak harus mengalah pada kebutuhan-kebutuhan kita. Sekarang, dengan teknologi yang sedemikian rupa, dengan ilmu desain yang sedemikian berkembang, kita mampu mewujudkan unsur alam di manapun. Entah itu melalui green garden (bukan sekadar green roof lagi) pada atap sebuah bangunan perkantoran, atau sepetak lahan hijau di tengah-tengah sebuah mall (Singapura telah melakukan hal yang serupa di bandara Chang-I); the possibility is endless.

Lalu saya berpikir kembali, alangkah baiknya bila lapangan di depan perpustakaan ITS tidak hanya sekedar lapangan untuk upacara atau kegiatan formal lainnya. Alangkah rindangnya bila pohon-pohon besar di dekat tikungan jurusan Teknik Elektro dan jurusan Teknik Material dan Metalurgi tidak ditebangi. Seperti menurut dekan FTSP, Prof Ir Joni Hermana MscES PhD, yang juga seorang pecinta dan pemerhati lingkungan, mengapa tidak jalan-jalan tersebut saja yang mengalah pada keberadaan pohon-pohon di sekitarnya.

Selama ini, alam telah memberikan sedemikian banyak ruang bagi kita untuk membangun semua impian, kebutuhan, dan kenyamanan kita. Tidak bisakah kita memberikan sedikit ruang bagi alam untuk berkembang juga?

Lisana Shidqina
Mahasiswa jurusan Arsitektur angkatan 2009

Berita Terkait