Tulisan ini diawali dari sebuah renungan yang cukup serius. Apa yang sudah saya berikan untuk bangsa Indonesia? Untuk masyarakat? Apa hanya sebatas mendapat nilai A pada tiap mata kuliah? Seharusnya bukan sekedar itu. Saya menulis ini sekaligus untuk menyadarkan diri saya sendiri. Seharusnya saya dan teman-teman bisa melakukan sesuatu bagi bangsa dan masyarakat Indonesia. Karena kita seorang mahasiswa. Sekali lagi, mahasiswa.
Mahasiswa ITS mana yang tak hafal Peran dan Fungsi Mahasiswa (PFM)? Iron stock? Paham. Agent of change? Mengerti. Moral force? Sangat paham. Social control? Sangat mengerti. Hafal, paham, dan mengerti ternyata memang tidak sulit. Yang sulit adalah aplikasinya. Bukan begitu, teman-teman? Atau tentang Tri Dharma Perguruan Tinggi, pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Pengabdian masyarakat, teman-teman. Sudahkah kita melakukan poin terakhir itu?
Ya, jika boleh saya melebih-lebihkan, mahasiswa (baca : kita) bukan manusia biasa. Saya ingat perkataan seorang pembicara pada acara School of ITS Leader (diberitahu oleh seorang teman saya yang berpatisipasi sebagai peserta) bahwa ada tiga lapisan penduduk Indonesia, yaitu rakyat, mahasiswa, dan pemerintah. Lapisan itu sebenarnya sudah menjelaskan satu hal, bahwa mahasiswa seharusnya bisa menjadi jembatan antara masyarakat dan pemerintah. Mahasiswa-lah yang bertugas memperjuangkan kepentingan rakyat di hadapan wajah-wajah petinggi negara kita.
Karena kita mahasiswa, maka kita mempunyai peran dan fungsi. Sebagai generasi penerus bangsa Indonesia, sebagai agen perubahan, sebagai pengontrol sosial, dan sebagai penggerak moral rakyat Indonesia. Zaman dahulu, pergerakan mahasiswa bersama rakyat sangat gencar. Masa-masa itu adalah masanya kaum intelektual berkuasa, bahkan pemerintah pun tunduk di bawah tangan-tangan kaum itu. Ya, kaum itu adalah mahasiswa.
Perjalanan Pergerakan Mahasiswa
Sebelum kemerdekaan, mahasiswa menjadi penggerak bersama rakyat melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Semangat menegakkan cita-cita demokrasi dan kesejahteraan rakyat yang dilalui membuahkan hasil signifikan, kemerdekaan yang dideklarasikan Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1945.
Pergerakan mahasiswa pulalah yang pada akhirnya menumbangkan rezim Soekrano pada tahun 1965an. Salah satu tokohnya adalah Soe Hok-Gie. Siapa yang tak kenal sosoknya? Bahkan buk tentangnya kini beredar dimana-mana. Dari buku-buku itulah saya pun mencoba mencari tahu sosok Soe Hok-Gie. Sikapnya yang berani melawan ketidakadilan pemerintah demi membela rakyat Indonesia, membuat bulu kuduk saya merinding saking kagumnya.
Berakhir tampuk kepemimpinan ke tangan Soeharto, secara tak langsung Indonesia jatuh ke tangan imperialis. Di tengah rezim Soeharto yang memberi angin segar kepada para pemilik modal, gerakan mahasiswa bukan lantas tiarap, sebagian tetap melakukan aksi bawah tanah. Meski rezim Soeharto sering melakukan tindakan represif terhadap gerakan mahasiswa yang mengkritik kebijakan yang ada terutama di awal 70-an, namun semangat juang mereka tetap menyala.
Krisis ekonomi 1997 menimbulkan guncangan dahsyat bagi kehidupan bangsa Indonesia. Pemerintah tak dapat berbuat banyak. Malah meminta bantuan International Monetary Found yang ternyata tak gratis, tapi melalui syarat berat yaitu pencabutan subsidi semua kebutuhan barang pokok. Sontak masyarakat, khususnya mahasiswa menjerit. Akhirnya berbagai kalangan dan mahasiswa bersatu melakukan demontrasi, bentrok antara aparat dan pendemo tak terhindarkan, peristiwa tragis 12 Mei 1998 pecah di kampus Trisakti. Enam mahasiswa gugur dalam insiden itu.
Rezim Soeharto pun berakhir berganti era Reformasi dipimpin mulai dari Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan sekarang SBY. Pertanyaannya mampukah gerakan mahasiswa yang notabene kaum intelektual besama rakyat melakukan perubahan sosial di tengah himpitan imperialisme global?
Kita Memang Bukan Soe Hok-Gie
Zaman memang telah berubah. Pergerakan mahasiswa era milenium memang tak segencar dan semembara dahulu. Kita tak harus menjadi Soe Hok-Gie dan kawan-kawan yang membela Indonesia dengan cara yang keras. Karena kita memang bukan Soek Hok-Gie yang tumbuh di era 1960-an. Sekarang 2010, dan saya rasa banyak cara yang bisa kita lakukan untuk berkontribusi pada bangsa dan rakyat Indonesia sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.
Saya tidak pernah menyalahkan teman-teman yang memilih untuk study oriented (SO). Yang harus teman-teman lakukan adalah berbuat lebih. Saya tahu, teman-teman yang memilih untuk SO biasanya adalah orang-orang yang pintar dan cerdas di mata kuliahnya. Kalau begitu, harumkanlah nama Indonesia di ajang olimpiade internasional. Olimipade matematika, fisika, kimia, atau biologi. Ikutilah kontes robot, debat ilmiah, sampai menembus level internasional. Harumkanlah nama bangsa Indonesia. Jadilah peneliti atau penemu yang nantinya berguna bagi bangsa terlebih lagi rakyat Indonesia. Buatlah karya tulis yang mampu direalisasikan demi perubahan Indonesia. Tunjukkan kalau nilai A teman-teman juga bisa membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Jika teman-teman adalah seniman, perkenalkanlah budaya Indonesia ke semua negara-negara di dunia. Tunjukkanlah tarian Bali, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua. Bawa kebudayaan Indonesia hingga dikenal penduduk dunia. Sekalipun teman-teman dalah seorang atlet, teman-teman bisa melakukan sesuatu yang berarti. Berjuanglah untuk bisa masuk tim nasional masing-masing cabang olahraga yang teman-teman sukai, sepak bola, basket, bulu tangkis, dan yang lainnya. Jika sudah, buatlah Indonesia berjaya di berbagai ajang keolahragaan. Buat Indonesia minimal bisa main di Piala Dunia. Rebut kembali piala Thomas dan Uber yang pernah menjadi piala tetap Indonesia selama beberapa tahun.
Apalagi jika teman-teman adalah seorang jurnalis atau penulis. Buatlah tulisan yang mampu mencerdaskan rakyat Indonesia. Buatlah tulisan yang dapat mengedukasi rakyat. Tulislah kritikmu terhadap pemerintahan. Terlebih lagi jika teman-teman adalah seorang aktivis pergerakan mahasiswa. Bergerak dan bersuara untuk rakyat melalui berdemo saya rasa tidak salah. Yang penting tujuan dan arahnya jelas. Dan yang terpenting lagi tanpa kekerasan dan menghasilkan sesuatu.
Siapapun kita, kita bisa mengabdi kepada bangsa dan rakyat Indonesia. Tak hanya aktivis pergerakan saja yang mampu berjuang untuk Indonesia. Peneliti, seniman, atlet, jurnalis, atau apapun bisa melakukan sesuatu yang lebih berarti bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Karena kita adalah mahasiswa. Dan mahasiswa adalah kaum intelektual yang merupakan jembatan antara rakyat dan pemerintah. Yang terpenting adalah kita mau dan berusaha untuk menjadi berarti, saya rasa itu tidak sulit. Saya pun sedang berusaha untuk menjadikan diri saya berarti. Ayo, sama-sama belajar dan berjuang demi bangsa Indonesia dengan cara terbaik yang kita miliki masing-masing. Tenang, kita tak harus menjadi Soe Hok-Gie untuk bisa berkontribusi bagi bangsa dan rakyat Indonesia.
Ni Luh Putu Satyaning Pradnya Paramita
Mahasiswa Jurusan Statistika ITS angkatan 2008
*tulisan ini sekaligus peringatan yang saya tujukan untuk diri saya sendiri
Kampus ITS, ITS News — Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) terus memantapkan komitmennya dalam berkontribusi menjaga lingkungan dengan mengurangi sampah
Kampus ITS, ITS News — Sejak ditemukan pada 1862, plastik telah digunakan secara masif di dunia dan telah melahirkan
Kampus ITS, ITS News — Proses pembuatan batik sebagai warisan tanah air seringkali melibatkan penggunaan zat pewarna sintetis yang
Kampus ITS, ITS News — Terdapat lebih dari 13.000 sumur minyak terbengkalai di Indonesia yang memiliki potensi sebagai sumber energi